| Judul | PEDOMAN PELAKSANAAN PRINSIP DAN NORMA EKUMENISME |
| Deskripsi | Dikeluarkan oleh Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristiani. |
| Tahun Terbit Dokumen | 25 Maret 1993 |
| Harga | Rp 25.000,- |
| Tebal Buku | 118 halaman |
| Ukuran Buku | 15 x 22 cm |
PEDOMAN
PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP DAN NORMA-NORMA EKUMENISME
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
— Alasan-alasan mengapa perlu diperbaharui
— Pedoman ini ditujukan kepada siapa saja
— Tujuan dari Pedoman Ekumenisme
— Garis Besar dari Pedoman
BAB I
MENCARI PERSATUAN KRISTIANI
— Gereja dan kesatuannya dalam rencana Allah
— Gereja sebagai Persatuan
— Perpecahan di antara orang-orang kristen dan pemulihan kesatuan
— Ekumenisme dalam hidup orang-orang kristen
— Macam-macam tingkat kegiatan ekumenisme
— Rumitnya dan beraneka ragamnya situasi ekumenis
— Sekte-Sekte dan Gerakan-Gerakan keagamaan yang baru
BAB II
ORGANISASI DALAM GEREJA KATOLIK UNTUK MELAYANI PERSATUAN KRISTIANI
— Pendahuluan
— Petugas Keuskupan untuk Ekumenisme
— Komisi Ekumenisme Keuskupan atau Sekretariat
— Komisi Ekumenis dari Sinode-Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi-Konferensi Waligereja
— Struktur Ekumenis dalam Konteks Gerejawi lainnya
— Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Kerasulan
— Organisasi Kaum Beriman
— Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani
BAB III
PEMBINAAN EKUMENIS DALAM GEREJA KATOLIK
— Pentingnya pembinaan ekumenis dan tujuannya
— Penyesuaian pembinaan pada keadaan konkret orang-orang
A. PENDIDIKAN SEMUA UMAT BERIMAN
— Sarana-sarana pembinaan
— Lingkungan-Lingkungan yang cocok untuk pembinaan
B. PEMBINAAN MEREKA YANG TERLIBAT DALAM KARYA PASTORAL
— 1. Para Pelayan Tertahbis
— 2. Para pelayan dan rekan kerja yang tidak tertahbis
C. PEMBINAAN KHUSUS
— Peranan Fakultas-Fakultas gerejawi
— Peranan Universitas-Universitas Katolik
— Peranan Lembaga-Lembaga khusus yang ekumenis
D. PEMBINAAN TERUS MENERUS
BAB IV
PERSATUAN DALAM KEHIDUPAN DAN KEGIATAN ROHANI DI ANTARA ORANG-ORANG YANG DIBAPTIS
A. SAKRAMEN BAPTIS
B. SALING MEMBAGIKAN (SHARING) KEGIATAN-KEGIATAN ROHANI DAN SUMBER-SUMBER ROHANI
— Prinsip-prinsip umum
— Doa bersama
— Saling berbagi dalam Ibadat Liturgis yang bukan sakramen
— Saling berbagi dalam hidup sakramental, lebih-lebih Ekaristi
— Saling berbagi sumber-sumber lainnya untuk kehidupan dan kegiatan rohani.
C. KAWIN CAMPUR
BAB V
KERJA SAMA EKUMENIS : DIALOG DAN KESAKSIAN
— Bentuk dan Struktur Kerja sama Ekumenis
— Dewan Gereja-Gereja dan Dewan Umat Kristiani
— Dialog Ekumenis
— Karya Bersama dalam Kitab Suci
— Teks-Teks Liturgi Bersama
— Kerja sama Ekumenis dalam Katekese
— Kerja sama dalam Lembaga-Lembaga Pendidikan Tinggi
— Di Seminari-Seminari dan tingkatan mahasiswa
— Dalam penelitian teologis dan studi Pasca Sarjana
— Kerja sama Pastoral dalam Situasi-Situasi Khusus
— Kerja sama dalam Kegiatan Misioner
— Kerja sama Ekumenis dalam Dialog dengan Agama-Agama lain
— Kerja sama Ekumenis dalam Kehidupan Sosial dan Budaya
a) kerja sama dalam studi bersama mengenai persoalan-persoalan sosial dan etis
b) kerja sama dalam bidang pengembangan kebutuhan manusiawi dan pengaturan alam ciptaan
c) kerja sama dalam bidang pengobatan
d) kerja sama dalam media komunikasi sosial
1. Mencari persatuan umat Kristiani merupakan salah satu perhatian utama dari Konsili Vatikan Kedua. Pedoman Ekumenisme, yang disebutkan selama Konsili dan telah diterbitkan dalam dua bagian, yang pertama pada tahun 1967 dan yang lainnya pada tahun 1970,[1] “telah memberikan bantuan yang sangat berharga di dalam mengarahkan, mengkoordinir dan mengembangkan usaha ekumenisme.”[2]
Alasan-alasan mengapa perlu diperbaharui
2. Di samping penerbitan Pedoman Ekumenisme tadi, ada banyak dokumen-dokumen lain yang berisi tentang Ekumenisme yang telah diterbitkan oleh para pembesar yang berwewenang dalam hal ini.[3]
Diundangkannya Kitab Hukum Kanonik yang baru bagi Gereja Latin (1983) dan Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur (1990) telah menciptakan suatu situasi penuh tata-tertib dalam hal-hal yang menyangkut ekumenisme bagi Umat Katolik, yang dalam beberapa hal merupakan sesuatu yang baru.
Demikian pula halnya, Katekismus Gereja Katolik yang baru-baru ini diterbitkan (1992), mencantumkan juga segi-segi ekumenis sebagai bagian dari ajaran dasar untuk semua kaum beriman dalam Gereja.
3. Lebih lanjut dapat disebutkan bahwa sejak Konsili Vatikan Kedua hubungan persaudaraan dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi yang tak bersatu secara penuh dengan Gereja Katolik semakin lama semakin intensif. Telah diadakan dialog-dialog teologis dan jumlahnya semakin meningkat. Di dalam pidatonya kepada Sidang Paripurna Sekretariat Untuk Persatuan Kristiani (1988), yang dikhususkan untuk merevisi Pedoman Ekumenisme, Santo Bapa mengemukakan “semakin meluasnya gerakan ekumenis, semakin banyaknya pernyataan-pernyataan tentang dialog, semakin dirasa mendesaknya dan perlunya Umat Allah ikut ambil bagian dalam gerakan ini. Juga pentingnya memberikan informasi yang tepat mengenai ajaran Gereja dalam hal ini, dengan maksud agar orang dapat terlibat secara benar. Semua hal ini menuntut agar pembaharuan pedoman-pedoman yang diberikan tidak ditunda-tunda lagi.”[4] Dalam semangat inilah dan dalam terang cahaya dari perkembangan-perkembangan tadi, maka telah diadakan pembaharuan Pedoman Ekumenisme ini.
Pedoman ini ditujukan kepada siapa saja?
4. Pedoman ini ditujukan kepada para Pastor Gereja Katolik, tetapi juga kepada semua umat beriman, yang dipanggil untuk berdoa dan bekerja demi persatuan orang-orang Kristen, di bawah bimbingan para Uskup mereka. Para Uskup, secara pribadi bagi Dioses mereka masing-masing, dan secara kolegial untuk seluruh Gereja, di bawah kewenangan Takhta Suci, bertanggung jawab mengenai kebijakan dalam ekumenisme dan pelaksanaannya.[5]
5. Sekaligus juga diharapkan bahwa Pedoman ini juga berguna bagi para anggota Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejani,yang tidak bersatu secara penuh dengan Gereja Katolik. Bersama dengan umat Katolik mereka juga ingin meningkatkan kualitas kegiatan ekumenis. Bergunalah bagi mereka mengetahui arah yang menuntun gerakan ekumenis Gereja Katolik dalam kegiatan ekumenis, serta kriteria yang secara resmi telah disetujui di dalam Gereja. Ini akan membantu mereka untuk mengevaluasi prakarsa-prakarsa dari orang-orang Katolik, sehingga dapat menanggapinya dengan tepat.
Pedoman ini juga akan membantu mereka untuk memahami dengan lebih baik tanggapan-tanggapan dari orang-orang Katolik terhadap inisiatif mereka. Namun hendaknya tetap diingat bahwa Pedoman ini tidak bermaksud untuk membicarakan hubungan antara Gereja Katolik dengan Sekte-Sekte atau Gerakan-gerakan keagamaan yang baru.[6]
Tujuan dari Pedoman Ekumenisme
6. Diterbitkannya Pedoman yang baru ini dimaksudkan agar dijadikan suatu sarana untuk membantu seluruh Gereja dan lebih-lebih mereka yang secara langsung terlibat dalam kegiatan ekumenis di dalam Gereja Katolik. Pedoman ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi, menerangi dan membimbing kegiatan ekumenis ini, dan dalam beberapa kasus khusus juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk yang mengikat, sesuai dengan kewenangan yang khas yang dimiliki oleh Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani.[7]
Berdasarkan pengalaman Gereja di dalam tahun-tahun sejak Konsili dan dengan memperhitungkan situasi ekumenisme sekarang ini, maka Pedoman Ekumenisme ini mengumpulkan semua norma yang telah diadakan untuk melaksanakan dan mengembangkan keputusan-keputusan Konsili hingga saat sekarang ini dan memperbaharuinya bila perlu. Pedoman ini meneguhkan struktur-struktur yang telah dikembangkan untuk mendukung dan membimbing kegiatan ekumenis pada setiap tingkatan dalam Gereja. Dengan tetap menghormati sepenuh- penuhnya wewenang dari para pembesar pada macam-macam tingkat dapat diterapkan secara universal untuk membimbing umat Katolik yang ikut ambil bagian dalam kegiatan ekumenisme. Penerapan dari hal tadi akan memberikan kesinambungan dan koordinasi bagi macam-macam praktik ekumenisme, dengan mana Gereja-Gereja khusus[8] dan kelompok-kelompok dari Gereja khusus menyesuaikan diri dengan keadaan setempat yang bermacam-macam. Pedoman ini akan menjamin bahwa kegiatan ekumenisme di seluruh Gereja Katolik sesuai dengan kesatuan iman dan dengan tata tertib yang mengikat orang-orang Katolik bersama-sama.
Pada zaman sekarang di sana-sini muncul suatu kecenderungan tertentu terjadi kekacauan dalam hal doktrin atau ajaran. Juga sangatlah penting dalam bidang ekumenisme, seperti halnya dalam bidang-bidang lain, dihindarkan penyalahgunaan yang dapat membantu atau menimbulkan indifferentisme atau sikap acuh tak acuh dalam hal doktrin atau ajaran. Tidak dilaksanakannya petunjuk-petunjuk Gereja dalam hal ini akan menciptakan suatu hambatan untuk maju dalam mencari secara autentik persatuan yang penuh di antara orang-orang Kristiani. Merupakan tugas Waligereja setempat dan Konperesi Para Waligereja serta Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik untuk memperhatikan agar prinsip-prinsip dan norma-norma yang termuat dalam Pedoman Ekumenisme ini dengan secara setia diterapkan, dan dengan keprihatinan pastoral diperhatikan agar segala penyimpangan yang mungkin terjadi dapat dihindarkan.
7. Pedoman dimulai dengan suatu pernyataan mengenai keterlibatan Gereja Katolik kepada ekumenisme (Bab I). Hal ini kemudian diikuti dengan uraian mengenai langkah-langkah yang diambil oleh Gereja Katolik untuk melaksanakan keterlibatan ini dalam praktik.
Hal tersebut dilaksanakan dengan mengorganisir dan membina anggota-anggotanya sendiri (Bab II dan III). Hal-hal yang termuat dalam Bab IV dan V mengenai kegiatan ekumenis ditujukan kepada mereka yang telah terorganisir dan telah dibina.
I. Mencari Persatuan Kristiani.
Keterlibatan ekumenis Gereja Katolik berdasarkan pada prinsip doktriner Konsili Vatikan Kedua.
II. Organisasi dalam Gereja Katolik untuk melayani Persatuan Kristiani.
Pribadi-pribadi dan struktur-struktur yang terlibat dalam memajukan ekumenisme pada semua tingkat, dan norma-norma yang menuntun kegiatan mereka.
III. Pembinaan Ekumenis dalam Gereja Katolik.
Kategori orang-orang yang harus dibina, mereka yang bertanggung jawab terhadap pembinaan; tujuan dan metode-metode pembinaan; segi-segi doktriner dan praktis.
IV. Persatuan dalam kehidupan dan kegiatan rohani di antara orang-orang yang dibaptis.
Persatuan yang ada dengan orang-orang Kristen lain berdasarkan ikatan sakramental karena Baptis, dan norma-norma untuk ikut ambil bagian dalam doa dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya, termasuk dalam kasus khusus, ikut ambil bagian secara sakramental.
V. Kerja sama Ekumenis; Dialog dan Kesaksian.
Prinsip-prinsip, bentuk yang bermacam-macam dan norma-norma untuk bekerja sama antara orang-orang Kristiani dalam kerangka dialog dan kesaksian bersama dalam dunia.
8. Demikianlah dalam masa yang semakin ditandai dengan semakin meningkatnya sekularisasi, yang memanggil orang-orang Kristiani untuk melakukan kegiatan bersama di dalam pengharapan mereka akan Kerajaan Allah, maka disusunlah norma-norma yang mengatur hubungan antara orang-orang Katolik dan orang-orang Kristiani yang lainnya dan bentuk-bentuk kerja sama yang bermacam-macam yang mereka laksanakan. Dengan demikian usaha memajukan persatuan yang diinginkan oleh Kristus, dapat dicari dengan secara seimbang dan berkesinambungan, segaris dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Konsili Vatikan Kedua.
BAB I
9. Gerakan ekumenis berusaha untuk menjawab karunia rahmat Tuhan yang memanggil semua orang Kristiani untuk mengimani misteri Gereja, menurut rencana Tuhan yang ingin membawa umat manusia kepada keselamatan dan persatuan dalam Kristus melalui Roh Kudus. Gerakan ini memanggil mereka kepada pengharapan bahwa doa Yesus “agar mereka semua bersatu” akan terlaksana sepenuhnya.[9] Gerakan ini memanggil mereka kepada kasih yang merupakan perintah Kristus yang baru dan karunia dengan mana Roh Kudus mempersatukan semua orang beriman. Konsili Vatikan Kedua dengan jelas meminta orang-orang Katolik agar dalam kasih menjangkau juga semua orang Kristen yang lain dengan cinta kasih yang menginginkan dan bekerja aktif untuk mengatasi di dalam kebenaran apa saja yang memisahkan mereka satu dari yang lain. Menurut Konsili, orang-orang Katolik harus bertindak penuh pengharapan dan doa untuk memajukan persatuan kristiani. Mereka akan didorong dan diajar oleh iman mereka ke dalam misteri Gereja, dan kegiatan ekumenis mereka akan diilhami dan dibimbing oleh suatu pemahaman yang benar mengenai Gereja sebagai “suatu sakramen atau tanda yang berdaya guna dari persatuan mesra dengan Tuhan dan persatuan dari seluruh umat manusia.”[10]
10. Ajaran Gereja mengenai ekumenisme, yang merupakan dorongan untuk berharap dan juga ajakan untuk mengasihi, diungkapkan secara resmi dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan Kedua dan lebih-lebih dalam Lumen Gentium dan Unitatis redintegratio. Dokumen-dokumen berikutnya tentang kegiatan ekumenis dalam Gereja termasuk Pedoman Ekumenis (1967-1970) membangun prinsip-prinsip teologis, spiritual dan pastoral, yang terdapat dalam dokumen-dokumen Konsili. Dokumen-dokumen tadi telah menggali dengan lebih mendalam beberapa topik yang ditunjukkan dalam dokumen-dokumen Konsili, memperkembangkan istilah teologis dan memberikan norma-norma kegiatan yang lebih mendetil, namun semuanya berdasarkan pada ajaran Konsili sendiri. Semuanya ini melengkapi suatu kerangka ajaran-ajaran, yang akan disajikan secara garis besar dalam bab ini. Ajaran-ajaran tadi merupakan dasar dari Pedoman ini.
Gereja dan kesatuannya dalam rencana Allah
11. Konsili meletakkan misteri Gereja dalam misteri kebijaksanaan dan kebaikan Allah, yang menarik seluruh umat manusia bahkan seluruh ciptaan untuk bersatu dengan-Nya.[11] Untuk mencapai tujuan ini maka Allah mengutus ke dunia Putera Tunggal-Nya, yang telah disalibkan, masuk ke dalam kemuliaan dan mencurahkan Roh Kudus, dan dengan perantaraan Roh Kudus tadi Dia memanggil dan menarik ke dalam persatuan iman, harapan dan kasih, Umat Perjanjian Baru yang adalah Gereja. Untuk mendirikan Gereja yang kudus ini di setiap tempat sampai akhir zaman, maka Kristus mempercayakan kepada Dewan Para Rasul, yang dikepalai oleh Petrus yang diangkat-Nya, tugas untuk mengajar, memimpin dan menguduskan. Merupakan kehendak Yesus Kristus bahwa melalui pewartaan Injil dengan setia, pelayanan sakramen-sakramen, dan melalui kepemimpinan dalam kasih, yang dilaksanakan oleh para Rasul dan para pengganti mereka di bawah bimbingan Roh Kudus, Umat tadi akan berkembang dan persatuan mereka akan menjadi lebih sempurna.[12] Konsili menggambarkan Gereja sebagai Umat Allah yang Baru, yang mempersatukan dalam dirinya, di dalam segala kekayaannya karena kebhinekaannya, para pria dan wanita dari segala bangsa, segala kebudayaan, yang mempunyai macam-macam karunia yang berasal dari kodrat dan rahmat. Yang saling melayani dan saling mengakui bahwa mereka diutus ke dunia untuk menyelamatkannya.[13] Mereka menerima Sabda Allah dalam iman, dibaptis di dalam Kristus dan diperkuat dalam Roh Kudus-Nya pada hari Pentakosta, dan bersama-sama mereka merayakan sakramen Tubuh dan Darah-Nya dalam Ekaristi: “Roh Kudus yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjadi Prinsip kesatuan Gereja. Dengan membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan, Dia memperkaya Gereja Yesus Kristus dengan pelbagai tugas, ‘untuk memperlengkapi para kudus bagi pekerjaan pelayanan, demi pembangunan Tubuh Kristus.’”[14]
12. Umat Allah di dalam hidup iman yang biasa serta penerimaan sakramen-sakramen, dilayani oleh para pelayan yang tertahbis: Para Uskup, para Imam dan Diakon.[15] Dengan demikian dipersatukan oleh ikatan rangkap tiga, karena iman, kehidupan sakramental dan pelayanan hirarkis, maka Umat Allah sampai kepada sesuatu hal yang oleh tradisi iman sejak dari Perjanjian Baru,[16] selalu disebut koinonia/persatuan. Kata ini merupakan suatu gagasan pokok yang mengilhami eklesiologi (ajaran mengenai Gereja) dari Konsili Vatikan Kedua,[17] dan ajaran Magisterium Gereja yang terakhir ini juga menekankan pentingnya hal itu.
13. Persatuan yang diimani oleh orang-orang Kristen dan yang diharapkannya, dalam kenyataannya yang terdalam ialah persatuan mereka dengan Bapa, melalui Kristus dalam Roh Kudus. Sejak Pentekosta hal itu telah diberikan dan diterima dalam persatuan orang-orang Kudus. Persatuan itu dilaksanakan sepenuhnya di dalam kemuliaan surga, tetapi sekarang ini sudah terlaksana di dalam Gereja di bumi ini, yang sedang berziarah menuju kepada kepenuhannya. Mereka yang hidup dan dipersatukan dalam iman, pengharapan dan kasih, dalam saling melayani, dalam ajaran yang sama serta sakramen-sakramen, di bawah bimbingan para gembala mereka[18] merupakan bagian dari persatuan yang membentuk Gereja Allah. Persatuan tadi dilaksanakan secara konkret dalam Gereja-Gereja khusus, yang berkumpul di seputar Uskup mereka. Di dalam tiap-tiap Gereja khusus ini “Gereja Kristus yang satu, kudus dan katolik serta apostolik sungguh-sungguh hadir dan berkarya”.[19] Persatuan tadi pada hakikatnya bersifat universal.
14. Persatuan di antara Gereja-Gereja dipelihara dan dinyatakan secara khusus di dalam persatuan di antara Uskup-Uskup mereka. Bersama-sama mereka membentuk suatu Dewan yang menggantikan Dewan Para Rasul. Dewan tadi dikepalai oleh Uskup Roma sebagai Pengganti Petrus.[20] Dengan demikian para Uskup merupakan jaminan bahwa Gereja-Gereja yang mereka layani, merupakan kelanjutan dari Gereja Kristus yang berdasarkan iman dan pelayanan para Rasul. Mereka mengkoordinir kekuatan-kekuatan rohani dan karunia-karunia yang dimiliki kaum beriman dan perkumpulan mereka, untuk membangun Gereja dan melaksanakan perutusan mereka sepenuhnya.
15. Tiap-tiap Gereja khusus, yang bersatu dalam dirinya sendiri dan dalam persatuan dengan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, diutus dalam nama Kristus dan dalam kuasa Roh untuk semakin menyampaikan Injil tentang Kerajaan Allah kepada orang-orang, sambil menawarkan kepada mereka persatuan dengan Tuhan. Dengan menerima hal-hal tadi, orang-orang tadi juga masuk dalam persekutuan dengan semua orang yang telah menerimanya dan bersama dengan mereka mewujudkan satu keluarga Allah yang sejati. Berkat persatuannya tadi keluarga ini memberikan kesaksian mengenai persatuan dengan Allah. Dengan demikian melalui perutusan Gereja tersebut maka doa Yesus terpenuhi, karena Dia berdoa “Supaya mereka semua menjadi satu,sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”[21]
16. Persatuan dengan Gereja-Gereja Khusus dan persatuan di antara mereka sendiri, merupakan suatu karunia dari Allah. Hal ini harus disambut dengan penuh rasa syukur dan dikembangkan dengan penuh perhatian. Persatuan tadi dikembangkan secara khusus oleh orang-orang yang dipanggil untuk melayani di dalam Gereja sebagai gembala-gembala. Kesatuan Gereja dilaksanakan di dalam perbedaan yang penuh dengan kekayaan. Perbedaan di dalam Gereja merupakan salah satu segi dari sifat kekatolikannya. Namun kadang-kadang justru kekayaan yang berasal dari adanya perbedaan tadi dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan di dalam persatuan tadi. Tetapi meskipun terdapat ketegangan-ketegangan semacam itu, Roh tetap berkarya di dalam Gereja dan memanggil orang-orang Kristen untuk semakin bersatu secara mendalam, kendati di antara mereka ada perbedaan-perbedaan.
17. Orang-orang Katolik mempunyai keyakinan yang teguh bahwa Gereja Kristus yang satu ada di dalam Gereja Katolik “yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.”[22] Mereka mengakui bahwa seluruh kebenaran yang diwahyukan, sakramen-sakramen, dan tugas pelayanan yang diberikan oleh Kristus untuk membangun Gereja-Nya dan melaksanakan perutusan-Nya, terdapat dalam persekutuan Gereja Katolik. Tentu orang-orang Katolik juga menyadari bahwa secara pribadi mereka telah mengabaikan dan tidak menggunakan sepenuh-penuhnya sarana-sarana rahmat yang diberikan kepada Gereja. Meskipun demikian keadaannya, orang-orang Katolik tidak pernah kehilangan kepercayaan mereka kepada Gereja. Iman mereka memberikan jaminan bahwa Gereja tetap “menjadi mempelai yang pantas bagi Tuhannya, dan tiada hentinya membaharui diri di bawah gerakan Roh Kudus, hingga kelak melalui salib mencapai cahaya yang tak kunjung terbenam.”[23] Oleh karena itu bila orang-orang Katolik menggunakan kata-kata “Gereja-Gereja”, “Gereja-Gereja yang terpisah”, “Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang terpisah”, dan lain-lain, untuk menyebut mereka yang tidak ada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, keyakinan yang teguh tadi dan pengakuan iman tadi haruslah selalu tetap diingat.
Perpecahan di antara orang-orang Kristen dan pemulihan Kesatuan
18. Tetapi kadang-kadang kebodohan manusiawi dan kedosaan manusia bertentangan dengan maksud dari Roh Kudus untuk mempersatukan, serta memperlemah daya cinta kasih, yang mengatasi ketegangan-ketegangan yang melekat dalam hidup gereja. Sejak dari masa awal Gereja sudah muncul keretakan-keretakan tertentu. Kemudian tampaklah perselisihan-perselisihan yang lebih serius dan Gereja-Gereja di Timur tidak lagi dalam persekutuan yang penuh dengan Takhta Suci di Roma atau dengan Gereja-Gereja di Barat.[24] Di kemudian hari di Barat perpecahan-perpecahan yang lebih mendalam menyebabkan munculnya Jemaat-Jemaat gerejawi yang lain. Keretakan-keretakan tadi disebabkan oleh persoalan-persoalan ajaran atau masalah tata tertib, namun juga berkaitan dengan persoalan mengenai hakikat Gereja.[25] Dekrit tentang Ekumenisme dari Konsili Vatikan Kedua mengakui bahwa beberapa perselisihan telah muncul “kadang-kadang bukannya tanpa kesalahan kedua belah pihak.”[26] Namun betapapun kesalahan manusiawi telah merugikan persekutuan tadi, tetapi tidak pernah dapat menghancurkannya. Sebenarnya, kepenuhan kesatuan Gereja Kristus selalu tetap terpelihara di dalam Gereja Katolik, sedangkan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya, meskipun tidak bersekutu secara penuh dengan Gereja Katolik, sesungguhnya juga tetap memiliki persekutuan tertentu dengan Gereja Katolik. Konsili menegaskan: “Kita percaya bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam Gereja Katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman.”[27] Dokumen-dokumen Konsili menunjukkan unsur-unsur tadi yang dimiliki oleh Gereja katolik dan Gereja-Gereja Timur,[28] di samping itu juga unsur-unsur yang dimiliki oleh Gereja Katolik dan Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat gerejani lainnya:[29] “Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan.”[30]
19. Namun tak seorang Kristen pun boleh merasa puas dengan bentuk-bentuk persekutuan semacam ini. Karena hal tadi tidak sesuai dengan kehendak Kristus, dan melemahkan Gereja-Nya dalam melaksanakan perutusannya. Rahmat Allah telah mendorong banyak anggota dari banyak Gereja dan Jemaat gerejawi, lebih-lebih sepanjang abad sekarang ini, untuk berusaha mengatasi perpecahan-perpecahan yang diwarisi dari masa lampau dan membangun suatu persekutuan kasih yang baru, dengan perantaraan doa, penyesalan dan saling meminta maaf karena dosa-dosa sebab tidak ada persatuan, baik di masa lampau maupun sekarang ini, dengan mengadakan bentuk-bentuk kerja sama yang praktis dan dialog teologis. Hal inilah yang merupakan tujuan dan kegiatan dari apa yang disebut gerakan ekumenis.[31]
20. Gereja Katolik secara resmi berjanji akan bekerja demi persatuan umat Kristen pada Konsili Vatikan Kedua. Dekrit Unitatis Redintegratio menjelaskan bagaimanakah persatuan yang diinginkan oleh Kristus bagi Gereja-Nya harus dilaksanakan “melalui pewartaan Injil yang setia oleh para Rasul serta pengganti-pengganti mereka, yakni para Uskup, diketuai oleh pengganti Petrus, melalui pelayanan Sakramen-Sakramen, dan melalui pembimbingan dalam cinta kasih.” Persatuan tadi dirumuskan terdiri dari “pengakuan satu iman, dalam perayaan bersama ibadat ilahi… dalam kerukunan persaudaraan keluarga Allah.”[32] Kesatuan tadi, yang dari hakikatnya menuntut persekutuan penuh yang kelihatan dari semua orang Kristen, merupakan tujuan terakhir dari gerakan ekumenis. Konsili menegaskan bahwa kesatuan tadi sama sekali tidak menuntut dikorbankannya perbedaan-perbedaan yang penuh dengan kekayaan di bidang kerohanian, tata tertib, upacara-upacara liturgi dan usaha-usaha mempelajari kebenaran hal-hal yang diwahyukan, yang telah tumbuh di antara orang-orang kristen, sejauh perbedaan tadi tetap setia pada Tradisi yang berasal dari para rasul.[33]
21. Sejak zaman Konsili Vatikan Kedua maka kegiatan ekumenis di seluruh Gereja Katolik telah diilhami dan dibimbing oleh macam-macam dokumen dan inisiatif-inisiatif dari Takhta Suci. Sedangkan di dalam Gereja-Gereja khusus dibimbing oleh dokumen-dokumen dan inisiatif-inisiatif para Uskup, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Para Waligereja. Juga patut dicatat kemajuan yang tercapai dalam macam-macam bentuk dialog ekumenis serta dalam macam-macam bentuk kerja sama ekumenis yang telah dilaksanakan. Menurut kata-kata Sinode Para Uskup tahun 1985, “Ekumenisme telah tertanam secara mendalam dan tak mungkin terhapuskan di dalam kesadaran Gereja.”[34]
Ekumenisme dalam hidup orang-orang Kristen
22. Gerakan ekumenis merupakan suatu rahmat Allah, yang diberikan oleh Bapa menjawab doa dari Yesus[35] dan permohonan dari Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus.[36] Hal itu dilaksanakan dalam tugas perutusan umum Gereja untuk mempersatukan umat manusia dalam Kristus, dan yang merupakan tujuannya yang khas ialah memulihkan persatuan di antara orang-orang kristen.[37] Mereka yang dibaptis dalam nama Kristus, berdasarkan baptisannya tersebut dipanggil untuk melibatkan diri dalam usaha mencari persatuan.[38] Persatuan berdasarkan baptis mendorong orang ke persatuan yang penuh secara gerejani. Menghayati pembaptisan kita berarti terlibat dalam perutusan Kristus untuk mempersatukan semua hal.
23. Orang-orang katolik diajak untuk menjawabnya sesuai dengan petunjuk dari gembala-gembala mereka, dalam solidaritas dan penuh rasa syukur terhadap usaha-usaha yang sedang dilakukan di banyak gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi, di dalam macam-macam organisasi di mana mereka bekerja sama, untuk memulihkan persatuan orang kristen. Di mana karya ekumenisme belum dilakukan atau tidak dilaksanakan secara efektif, maka orang-orang katolik hendaknya berusaha untuk memajukannya. Bila usaha ini ditentang atau dihalang-halangi oleh sikap-sikap sektarian dan kegiatan-kegiatan yang akan menimbulkan perpecahan yang lebih besar di antara mereka yang mengakui nama Kristus, hendaknya mereka sabar dan bertekun. Kadang-kadang para waligereja setempat,[39] Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik[40] dan Konferensi-Konferensi Para Waligereja mungkin berpendapat perlu mengambil langkah-langkah khusus untuk mengatasi bahaya-bahaya yang muncul dari indifferentisme atau proselitisme.[41] Hal tersebut mungkin secara khusus perlu diperhatikan bila menyangkut Gereja-Gereja yang masih muda. Di dalam semua hubungan mereka dengan anggota-anggota dari Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya, hendaknya orang-orang katolik bertingkah laku yang sopan, bersikap bijaksana dan mengetahui persoalan yang ada. Kesiapsediaan untuk bertindak secara bertahap dan sikap berhati-hati, tidak menutup-nutupi kesulitan-kesulitan yang ada, juga merupakan suatu perlindungan agar tidak jatuh ke dalam godaan yang muncul dari indifferentisme dan proselitisme, yang merupakan suatu kegagalan bagi sikap ekumenis yang sejati.
24. Entah bagaimana pun keadaan setempat, agar orang-orang katolik dapat melaksanakan tanggung jawab ekumenis mereka, perlulah mereka bertindak bersama-sama dan dengan persetujuan Uskup mereka. Lebih-lebih mereka hendaknya mengenal Gereja mereka sendiri dan dapat mempertanggungjawabkan ajarannya, tata-tertibnya dan prinsip-prinsip gereja dalam ekumenisme. Bila mereka mengetahui hal-hal tadi dengan semakin mendalam, maka mereka dengan semakin lebih baik dapat menyampaikannya dalam diskusi mereka dengan orang-orang Kristen lainnya dan dapat memberikan alasan-alasan yang cukup untuk mereka. Hendaknya orang-orang katolik juga mempunyai pengetahuan yang tepat mengenai Gereja-Gereja lain serta Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya, yang kerap mereka jumpai. Haruslah pula diperhatikan macam-macam tuntutan bila ingin terlibat dalam ekumenisme, seperti yang digariskan dalam Dekrit tentang Ekumenisme dari Konsili Vatikan kedua.[42]
25. Ekumenisme dengan segala tuntutannya yang manusiawi dan menyangkut moral, secara mendalam berakar dalam karya yang misterius dari Bapa, melalui Putera dan Roh, maka juga menyentuh bagian paling mendalam dari spiritualitas kristiani. Ekumenisme mengajak orang ke “pertobatan hati dan kesucian hidup, disertai doa-doa permohonan perorangan maupun bersama untuk kesatuan umat kristen”, yang disebut oleh Dekrit tentang Ekumenisme dari Konsili Vatikan Kedua sebagai “ekumenisme rohani”, dan dianggap sebagai “jiwa gerakan ekumenisme”.[43] Mereka yang mengidentifikasikan diri dengan Kristus secara mendalam, haruslah juga menyamakan diri dengan doa-Nya, dan terutama dengan doa-Nya untuk persatuan. Mereka yang hidup dalam Roh, haruslah membiarkan diri mereka diubah oleh kasih, yang demi persatuan, “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”.[44] Mereka yang hidupnya ditandai dengan penyesalan akan menjadi sangat peka dengan dosa karena perpecahan-perpecahan dan akan berdoa untuk pengampunan dan pertobatan. Mereka yang mencari kesucian akan juga dapat mengenal buah-buahnya di luar batas-batas yang kelihatan dari Gereja mereka sendiri.[45] Mereka akan dibimbing untuk mengetahui bahwa sebenarnya hanya Allah sajalah yang dapat mengumpulkan semua orang menjadi satu, karena Dia adalah Bapa dari semua orang.
Macam-macam tingkat kegiatan ekumenisme
26. Kesempatan-kesempatan serta tuntutan dari kegiatan ekumenis tidaklah muncul secara sama pada tingkat paroki, Dioses, pada tingkat regional atau nasional, bahkan juga pada tingkat Gereja universal. Ekumenisme menuntut keterlibatan Umat Allah dalam struktur-struktur gerejawi dan disiplin sesuai dengan tingkat-tingkat yang telah disebutkan tadi.
27. Di Keuskupan, berhimpun di seputar Uskup,di paroki-paroki dan dalam macam-macam kelompok dan jemaat-jemaat, persatuan umat kristen dibangun dan dinampakkan dari hari ke hari:[46] Para pria dan wanita mendengarkan Sabda Allah dalam iman, doa, merayakan sakramen-sakramen, saling melayani, dan menunjukkan Injil keselamatan kepada mereka yang belum percaya. Namun bila para anggota dari satu keluarga yang sama menjadi anggota bermacam-macam Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi, maka mereka tidak dapat menerima Komuni bersama dengan suami atau istri mereka, anak-anak mereka, atau teman-teman mereka, maka perasaan sedih karena adanya perpecahan menjadi semakin terasa dan akan menumbuhkan dorongan untuk berdoa dan mengadakan kegiatan ekumenis.
28. Adanya kenyataan dipersatukannya Gereja-Gereja khusus, yang termasuk dalam persekutuan dengan Gereja Katolik, untuk membentuk lembaga-lembaga, seperti misalnya Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi-Konferensi Para Waligereja, menampakkan persatuan yang ada di antara Gereja-Gereja tadi. Pertemuan-pertemuan tadi dapat sangat membantu pertumbuhan hubungan ekumenis yang efektif dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi di wilayah yang sama, yang belum bersekutu penuh dengan kita. Di samping adanya tradisi kebudayaan yang sama dan tradisi kemasyarakatan yang sama, mereka memiliki warisan gerejawi yang sama yang berasal dari masa sebelum terjadi perpecahan. Sinode Gereja-Gereja Timur katolik dan Konferensi Waligereja dapat lebih secara representatif menangani faktor-faktor regional atau nasional dalam ekumenisme, daripada suatu gereja khusus. Dengan demikian mereka dapat membentuk organisasi untuk membangun dan mengkoordinir sumber-sumber untuk ekumenisme serta usaha-usaha yang ada di wilayahnya dengan cara sedemikian rupa untuk mendukung kegiatan dari Gereja-Gereja khusus dan menolong mereka untuk mengikuti suatu petunjuk katolik yang konsisten dalam kegiatan-kegiatan ekumenis mereka.
29. Merupakan kewenangan Dewan Para Uskup serta Takhta Suci untuk nanti pada tahap akhir menilai cara yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dari persekutuan yang penuh.[47] Pada tingkat inilah pengalaman ekumenis dari Gereja-Gereja khusus dikumpulkan dan dinilai. Sumber-sumber yang penting dapat dikoordinasi untuk melayani persatuan pada tingkat universal serta di antara semua Gereja khusus yang termasuk dalam persekutuan tadi dan bekerja demi persatuan tadi. Petunjuk-petunjuk yang diberikan dimaksudkan untuk membimbing dan mengatur kegiatan-kegiatan ekumenis di seluruh Gereja. Kerap kali pada tingkat Gereja yang semacam ini maka Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi mengungkapkan diri mereka bila mereka ingin mengadakan hubungan ekumenis dengan Gereja katolik. Dan pada tingkat inilah maka keputusan-keputusan terakhir mengenai pemulihan persatuan harus-lah dilaksanakan.
Rumitnya dan beraneka ragamnya situasi ekumenis
30. Gerakan ekumenis berusaha untuk taat pada Sabda Allah, kepada bisikan Roh Kudus dan kewenangan dari mereka yang tugasnya adalah untuk menjamin bahwa Gereja tetap setia pada Tradisi para rasul, di mana Sabda Allah dan karunia-karunia diterima. Yang dicari ialah persatuan yang merupakan misteri pokok dari Gereja, dan oleh karenanya secara khusus diperlukan pelayanan kerasulan dari para Uskup dalam bidang kegiatan ekumenis. Situasi yang dihadapi dalam ekumenisme kerap kali tak dapat diduga sebelumnya, dan beraneka ragam dari tempat ke tempat, serta dari waktu ke waktu. Inisiatif dari kaum beriman dalam bidang ekumenisme haruslah didorong. Perlulah ada diskresi terus menerus dan penuh kearifan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab terakhir mengenai ajaran dan tata-tertib Gereja.[48] Menjadi tugas merekalah untuk mendorong munculnya inisiatif-inisiatif yang bisa dipertanggungjawabkan, serta untuk menjamin bahwa semuanya tadi dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip katolik dalam ekumenisme. Mereka harus meneguhkan kembali orang-orang yang mungkin menjadi patah semangat karena kesulitan-kesulitan yang dialaminya, serta mengendalikan mereka yang baik hati namun kurang bijaksana, yang tidak mempertimbangkan secara serius kesulitan-kesulitan nyata yang dihadapi dalam mencapai persatuan. Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristiani, yang mempunyai peranan dan tanggung jawab untuk memberikan petunjuk dan nasihat mengenai kegiatan ekumenis, memberikan pelayanan yang serupa untuk seluruh Gereja.
31. Hakikat kegiatan ekumenis, yang dilaksanakan di suatu wilayah tertentu, akan selalu dipengaruhi oleh corak khusus dari situasi ekumenis setempat. Pilihan mengenai keterlibatan dalam ekumenisme yang dianggap cocok, menjadi tugas Uskup setempat yang harus memperhitungkan tanggung jawab khusus dan tantangan-tantangan yang bersifat khusus untuk keuskupannya. Tak mungkinlah di sini untuk memberikan gambaran mengenai aneka ragamnya keadaan, namun dapat disampaikan beberapa catatan yang bersifat umum.
32. Di dalam suatu negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, tugas ekumenis akan muncul secara berbeda dibandingkan di negara yang sebagian besar atau mayoritas penduduknya adalah Orang-Orang Kristen Timur, Anglikan atau Protestan. Tugas ekumenisme juga akan berbeda di negara-negara di mana sebagian besar penduduknya bukan kristen. Partisipasi di dalam gerakan ekumenis oleh Gereja katolik di negara-negara, yang mayoritas penduduknya beragama katolik, merupakan sesuatu yang menentukan bila ekumenisme harus merupakan suatu gerakan yang melibatkan seluruh Gereja.
33. Begitu pula tugas ekumenis akan sangatlah berbeda, tergantung dari apakah partner kita yang beragama kristen, termasuk dalam salah satu Gereja-Gereja Timur atau Jemaat Reformasi. Masing- masing mempunyai dinamikanya sendiri dan kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Ada banyak faktor-faktor lain, yang bersifat politis, sosial, budaya, geografis dan etnis, yang dapat memberina warna yang berbeda-beda terhadap tugas ekumenis.
34. Konteks lokal yang khas akan selalu melengkapi ciri-ciri yang beraneka macam dari tugas ekumenis. Yang penting ialah bahwa dalam usaha bersama ini, orang-orang katolik di seluruh dunia saling mendukung dengan doa dan saling mendorong sehingga usaha mencari persatuan umat kristen dapat dilaksanakan dalam bermacam-macam tahap, di dalam ketaatan kepada perintah Tuhan kita.
Sekte-Sekte dan Gerakan-Gerakan keagamaan yang baru
35. Panorama keagamaan dunia kita telah sangat berkembang dalam dasawasa terakhir dan dalam beberapa bagian dunia maka perkembangan yang paling mencolok ialah tumbuhnya sekte-sekte dan gerakan-gerakan keagamaan baru, yang keinginannya untuk membina hubungan damai dengan Gereja Katolik lemah sekali atau malahan tidak ada sama sekali. Pada tahun 1986 sebuah laporan[49] yang diterbitkan bersama-sama oleh 4 Discateria Kuria Roma yang mengajak kita untuk memperhatikan adanya perbedaan yang penting sekali antara sekte-sekte dan gerakan-gerakan keagamaan yang baru dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi. Sedang diadakan studi lebih lanjut mengenai persoalan ini.
36. Situasi yang menyangkut sekte-sekte dan gerakan-gerakan keagamaan yang baru sangatlah rumit dan berbeda dari konteks budaya yang satu dibandingkan dengan budaya yang lainnya. Di beberapa negara sekte-sekte berkembang dalam suatu iklim budaya yang secara mendasar bersifat religius. Di tempat lain sekte dan gerakan keagamaan tadi berkembang di masyarakat yang bersifat sekuler secara bertahap namun penuh takhayul dan mudah percaya. Beberapa sekte dalam hal sumber serta pemahaman dirinya berasal dari unsur non kristiani; yang lain lagi merupakan campur aduk dari macam-macam agama. Ada juga sekte-sekte yang menyebut diri mereka sebagai orang kristen dan mungkin pernah memisahkan diri dari Jemaat-Jemaat Kristen dan pernah punya hubungan dengan agama kristen. Jelaslah bahwa lebih-lebih merupakan tugas Uskup, Sinode Gereja-Gereja Timur katolik atau para Konferensi Waligereja untuk mengambil keputusan mengenai cara yang terbaik menanggapi tantangan-tantangan yang diajukan oleh sekte-sekte di suatu wilayah tertentu. Tetapi haruslah ditandaskan di sini bahwa prinsip-prinsip untuk berbagi pengalaman (sharing) secara rohaniah atau kerja sama praktis yang digariskan dalam Pedoman ini hanyalah berlaku untuk Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi, yang sudah mempunyai hubungan ekumenis dengan Gereja Katolik. Seperti yang kemudian akan menjadi lebih jelas bagi orang yang membaca Pedoman ini, dasar satu-satunya untuk dapat mengadakan “sharing” dan kerja sama semacam itu ialah adanya pengakuan dari kedua belah pihak bahwa sudah ada suatu persatuan dalam tingkat tertentu, meskipun belum sempurna. Keterbukaan dan saling menghargai merupakan akibat logis dari pengakuan semacam itu.
BAB II
ORGANISASI DALAM GEREJA KATOLIK UNTUK MELAYANI PERSATUAN KRISTIANI
37. Lewat Gereja-Gereja khusus maka Gereja katolik hadir di banyak tempat dan wilayah, di mana ia hadir bersama dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi. Wilayah-wilayah semacam itu mempunyai ciri rohani yang khas, ciri-ciri etnis, politik dan kebudayaan yang khas. Dalam banyak kasus orang menemukan di wilayah-wilayah tadi otoritas religius tertinggi dari Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi: wilayah-wilayah ini kerap kali sama dengan wilayah suatu Sinode Gereja-Gereja Timur katolik atau suatu Konferensi Waligereja.
38. Oleh karenanya, suatu Gereja partikular atau beberapa Gereja partikular, yang bekerja sama secara erat, mungkin menemukan diri mereka dalam suatu posisi yang sangat menguntungkan untuk mengadakan hubungan dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi pada tingkat semacam ini. Mereka dapat membina suatu hubungan ekumenis yang bermanfaat dengan Gereja dan Jemaat tadi, yang dapat memberikan sumbangan bagi gerakan ekumenis yang lebih luas.[50]
39. Konsili Vatikan Kedua secara khusus menyerahkan tugas ekumenis “kepada para Uskup di mana pun juga, supaya gerakan itu mereka dukung secara intensif, dan mereka bimbing dengan bijaksana”.[51] Pedoman ini, yang kerap kali sudah dilaksanakan oleh para Uskup secara perorangan, oleh Sinode Gereja-Gereja Timur katolik dan Konferensi Waligereja, telah dimasukkan ke dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Latin, kanon 755, yang menyatakan demikian:
(1) “Seluruh Dewan para Uskup dan Takhta Apostolik mempunyai tugas utama untuk memajukan dan membimbing gerakan ekumenis di kalangan umat katolik, tujuan gerakan ekumenis ialah pemulihan kesatuan antara semua orang kristiani yang menurut kehendak Kristus harus diperjuangkan oleh Gereja.”
(2) “Demikian pula para Uskup dan konferesi Waligereja, menurut norma hukum, wajib memperjuangkan kesatuan tersebut, dan, sesuai dengan bermacam-macam kebutuhan atau kesempatan, wajib memberikan petunjuk-petunjuk praktis, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi Gereja.”
Untuk Gereja-Gereja Timur katolik, KKGKT, kanon 902-904,& 1 menegaskan demikian:
Kanon 902: “Karena keprihatinan untuk pemulihan kesatuan antara semua orang kristiani merupakan tugas seluruh Gereja, maka semua umat kristiani, lebih-lebih para gembala Gereja hendaknya mendoakan kepenuhan kesatuan tadi, yang dikehendaki oleh Tuhan dan bekerja dengan penuh semangat, dengan ikut ambil bagian dalam karya ekumenis yang dilaksanakan dengan rahmat dari Roh Kudus.”
Kanon 903: “Gereja-Gereja Timur katolik mempunyai kewajiban khusus memupuk persatuan di antara Gereja-Gereja Timur, terutama lewat doa-doa, teladan hidup, kesetiaan religius pada tradisi-tradisi kuno dari Gereja-Gereja Timur, dengan saling mengenal lebih baik, serta lewat kerja sama dan penghargaan sebagai saudara baik dalam praktik maupun dalam semangat.”
Kanon 904: “1. Pemahaman mengenai gerakan ekumenis di setiap Gereja sui generis haruslah dengan rajin didorong dengan norma-norma khusus dari hukum khusus, sedangkan Takhta Apostolik mengarahkan gerakan untuk seluruh gereja universal.”
40. Berdasarkan kewenangan khusus untuk memajukan dan membimbing karya ekumenis, maka menjadi tanggung jawab dari masing-masing Uskup diosesan secara pribadi, atau pun Sinode Gereja-Gereja Timur katolik atau Konferensi Waligereja, untuk menetapkan norma-norma yang harus dilaksanakan oleh orang-orang dari komisi-komisi yang disebutkan di bawah ini, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan kepada mereka dan mengawasi pelaksanaan dari norma-norma tadi. Di samping itu, hendaknya diperhatikan agar mereka yang diserahi tugas ekumenis, mempunyai pengetahuan yang tepat mengenai prinsip-prinsip katolik dalam ekumenisme dan secara serius disiapkan untuk tugas mereka.
Petugas Keuskupan untuk Ekumenisme
41. Di keuskupan-keuskupan, para Uskup hendaknya menunjuk seseorang yang mampu untuk menjadi petugas keuskupan dalam soal-soal ekumenis. Dia, entah seorang pria atau wanita, bertindak sebagai penggerak komisi ekumenis keuskupan dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan komisi, seperti ditunjukkan pada no 44 dari Pedoman ini (atau melaksanakan tugas tsb bila komisi semacam itu belum ada). Sebagai salah seorang pembantu dekat dari Uskup dan dengan bantuan yang sesuai, orang tadi hendaknya mendorong macam-macam inisiatif di keuskupan untuk doa bagi persatuan umat kristiani, dan akan bekerja untuk mengusahakan agar sikap ekumenis mempengaruhi kegiatan-kegiatan keuskupan, mengenal kebutuhan-kebutuhan khusus serta mengusahakan agar keuskupan selalu memperoleh informasi mengenai hal-hal tadi. Petugas tadi juga bertanggung jawab untuk mewakili jemaat katolik dalam hubungannya dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi serta para pemimpin mereka dan membantu kontak antara mereka dengan Uskup setempat, rohaniwan dan awam dari berbagai tingkatan. Dia juga bertugas sebagai penasihat mengenai soal-soal ekumenis bagi Uskup dan para petugas lain dari Keuskupan dan membantu tukar pengalaman mengenai pengalaman ekumenis dan inisiatif-inisiatif di bidang ekumene dengan para pastor dan organisi-organisasi keuskupan. Petugas tadi juga hendaknya memelihara hubungan dengan para petugas atau komisi-komisi dari keuskupan-keuskupan lain. Baik di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama katolik, maupun di keuskupan-keuskupan yang mempunyai tenaga atau sumber terbatas, sangatlah dianjurkan agar ditunjuk petugas keuskupan semacam ini untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas sejauh hal itu dapat dilaksanakan dan dianggap cocok.
Komisi Ekumenisme Keuskupan atau Sekretariat
42. Di samping adanya petugas keuskupan untuk soal-soal ekumenis, hendaknya Uskup diosesan juga mendirikan suatu Dewan, Komisi atau Sekretariat, yang diberi tugas untuk melaksanakan petunjuk-petunjuk atau orientasi yang mungkin diberikannya, dan secara umum untuk memajukan kegiatan ekumenis di keuskupannya.[52] Di mana keadaan memerlukannya, maka beberapa keuskupan yang bergabung bersama, dapat membentuk komisi atau sekretariat semacam ini.
43. Komisi atau Sekretariat tadi hendaknya mencerminkan keadaan keuskupan secara menyeluruh dan pada umumnya hendaknya para anggota komisi tadi terdiri dari klerus, biarawan dan biarawati serta kaum awam yang mempunyai keahlian bermacam-macam, terutama mereka yang mempunyai pengalaman di bidang ekumenisme yang khusus. Diharapkan pula bahwa wakil-wakil dari Dewan Para Imam, Dewan Pastoral, Seminari Keuskupan dan regional juga termasuk dalam keanggotaan dari komisi atau sekretariat tadi.
Komisi tadi hendaknya bekerja sama dengan Lembaga-lembaga atau prakarsa-prakarsa di bidang ekumenis yang sudah ada, atau harus didirikan, dengan memanfaatkan bantuan mereka bila ada kesempatan. Komisi atau Sekretariat tadi hendaknya siap mendukung petugas di bidang ekumenisme, dan bersedia membantu karya keuskupan yang lainnya serta inisiatif-inisiatif pribadi untuk bertukar informasi dan gagasan. Hendaknya secara khusus diperhatikan pula kontak dengan paroki-paroki dan organsisasi paroki, dengan prakarsa kerasulan yang dilakukan oleh para anggota tarekat hidup bakti dan serikat kerasulan, demikian pula dengan gerakan-gerakan atau perkumpulan kaum awam.
44. Di samping tugas-tugas lain yang telah diberikan kepadanya, hendaknya komisi:
(a) melaksanakan keputusan-keputusan Uskup diosesan untuk melakukan ajaran dan petunjuk dari Konsili Vatikan Kedua mengenai ekumenisme, begitu pula dokumen-dokumen pasca Konsili, yang berasal dari Takhta Suci, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja.
(b) menjaga hubungan dengan komisi-komisi ekumenis setempat (lih. di bawah), menyesuaikan anjuran dan nasihat mereka pada situasi setempat. Bila dianggap berguna, maka informasi mengenai pengalaman dan hasilnya, begitu pula keterangan lain yang dianggap berguna hendaknya dikirimkan ke Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristiani;
(c) memupuk semangat ekumenis menurut prinsip-prinsip yang diberikan dalam Dekrit tentang Ekumenisme dari Konsili, serta di dalam bagian lain dari Pedoman ini tentang doa publik dan doa pribadi untuk kesatuan umat kristen.
(d) menawarkan bantuan dan dukungan, dengan sarana-sarana seperti misalnya lokakarya dan seminar untuk membentuk semangat ekumenis bagi rohaniwan maupun awam, untuk secara tepat melaksanakan dimensi ekumenis bagi semua segi kehidupan, serta memberikan perhatian secara khusus agar para siswa Seminari siap dengan segi ekumenis dalam khotbah, katekese dan bentuk-bentuk pengajaran lainnya, dan kegiatan pastoral (mis pastoral dalam kawin campur) dan lain-lain.
(e) memajukan persahabatan dan kasih di antara orang-orang katolik dan orang-orang kristiani lainnya, yang belum bersekutu secara penuh, menurut saran-saran dan petunjuk-petunjuk yang diberikan di bawah ini (lebih-lebih nomor 205-218).
(f) memulai dan mengadakan percakapan dan konsultasi dengan mereka, dengan memperhatikan penyesuaian yang perlu diadakan sesuai dengan keaneka ragaman peserta dan materi dialog;[53]
(g) mengusulkan pakar-pakar untuk melaksanakan dialog pada tingkat keuskupan dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi.
(h) bersama dengan lembaga-lembaga keuskupan lain dan orang-orang Kristen lainnya, memajukan kesaksian bersama mengenai iman kristiani, sejauh hal ini mungkin. Begitu pula kerja sama di bidang-bidang seperti pendidikan, kesusilaan umum dan pribadi, keadilan sosial, hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, studi dan kesenian;[54]
(i) mengusulkan kepada para Uskup supaya diadakan tukar-menukar para pengamat dan tamu pada kesempatan diadakan Konferensi-Konferensi penting, Sinode, Pelantikan pemimpin-pemimpin religius, serta kesempatan-kesempatan serupa lainnya.
45. Dalam keuskupan-keuskupan, hendaknya paroki-paroki didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekumenis pada tingkatan mereka, dan di mana mungkin hendaknya didirikan kelompok-kelompok yang bertanggung jawab melanjutkan kegiatan-kegiatan tadi (lihat di bawah no 67). Hendaknya mereka tetap erat berhubungan dengan para pimpinan keuskupan, sambil tukar menukar pengalaman dan informasi dengan mereka, dan dengan paroki-paroki lain dan kelompok lain.
Komisi Ekumenis dari Sinode-Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi-Konferensi Waligereja
46. Tiap-tiap Sinode Gereja-Gereja Timur katolik dan tiap Konferensi Waligereja, sesuai dengan prosedur mereka masing-masing, hendaknya mendirikan suatu komisi keuskupan untuk ekumenisme, yang dibantu oleh para ahli, baik pria maupun wanita, yang dipilih dari antara Klerus, para Religius dan Awam. Bila mungkin hendaknya komisi tadi dibantu oleh suatu sekretariat yang tetap. Komisi tadi, yang cara kerjanya akan ditentukan oleh statuta Sinode atau Konferensi, hendaknya mempunyai mandat untuk membimbing masalah-masalah ekumenis dan menentukan cara-cara konkret untuk bertindak selaras dengan hukum Gereja yang ada, petunjuk-petunjuk dan adat kebiasaan yang sah serta kemungkinan konkret yang ada di setiap wilayah. Hendaknya diperhitungkan pula situasi tempat dan orang-orang dari wilayah yang bersangkutan, begitu pula keprihatinan Gereja universal. Di mana jumlah dalam suatu Konferensi Waligereja tak memungkinkan didirikannya suatu komisi dari para Uskup, maka sekurang-kurangnya ditunjuk seorang Uskup untuk mengambil tanggung jawab untuk tugas-tugas ekumenis, yang ditunjukkan pada nomor 47.
47. Fungsi dari Komisi tadi, mencakup juga tugas-tugas yang disebutkan pada nomor 44 di atas, sejauh komisi tadi ada di bawah kewenangan dari Sinode Gereja-Gereja Timur katolik atau Konferensi Waligereja. Namun di samping itu hendaknya dilaksanakan tugas-tugas lainnya, yang akan diberikan beberapa contohnya di sini:
(a) mempraktikkan norma-norma dan instruksi yang dikeluarkan oleh Takhta Suci dalam hal-hal tadi;
(b) memberikan nasihat dan bantuan kepada para Uskup yang akan mendirikan komisi ekumenis di keuskupan mereka, serta mendorong kerja sama di antara para petugas ekumenis dan komisi-komisi sendiri, dengan misalnya mensponsori pertemuan secara berkala dari petugas dan para wakil komisi-komisi keuskupan.
(c) mendorong dan membantu komisi-komisi lain dari Konferensi Waligereja dan Sinode Gereja-Gereja Timur katolik untuk memperhitungkan dimensi ekumenis dalam karya mereka, dalam pernyataan mereka yang bersifat umum.
(d) memajukan kerja sama di antara umat kristen, misalnya bila mungkin, memberikan bantuan rohani dan materiel kepada lembaga-lembaga ekumenis yang ada serta prakarsa di bidang ekumenis, yang harus dipupuk dalam bidang pengajaran dan riset, atau dalam bidang reksa pastoral dan pendalaman hidup kristiani menurut prinsip-prinsip yang diberikan dalam Dekrit tentang Ekumenisme no 9-12.
(e) mengadakan konsultasi dan dialog dengan para pemimpin Gereja dan dengan Dewan Gereja yang ada pada tingkat nasional atau wilayah (untuk membedakannya dari tingkat keuskupan) dan mengusahakan struktur-struktur yang cocok untuk mengadakan dialog tadi.
(f) menugaskan para pakar, yang berdasarkan mandat resmi dari Gereja, akan ambil bagian dalam konsultasi dan dialog dengan para pakar dari bermacam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi, serta organisasi-organisasi yang disebutkan di atas.
(g) memelihara hubungan dan kerja sama yang aktif dengan struktur-struktur ekumenis, yang didirikan oleh tarekat hidup bakti dan serikat-serikat kerasulan serta organisasi katolik lainnya yang ada dalam wilayah tersebut;
(h) mengorganisir tukar-menukar pengamat dan tamu dalam kesempatan diadakan pertemuan-pertemuan gerejawi yang penting serta peristiwa-peristiwa serupa, pada tingkat nasional maupun wilayah.
(i) memberikan informasi kepada para Uskup dalam Konferensi Waligereja serta Sinode, mengenai perkembangan dialog yang berlangsung di wilayah. Menyampaikan informasi tadi kepada Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani di Roma, sehingga tukar menukar nasihat, pengalaman dan hasil-hasil dialog dapat memajukan dialog-dialog lain pada macam-macam tingkat kehidupan Gereja.
(j) pada umumnya, memelihara hubungan dalam soal-soal ekumenis antara Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik atau Konferensi Waligereja serta Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani di Roma, demikian pula dengan komisi-komisi ekumenis dari Konferensi-Konferensi Waligereja lain.
Struktur Ekumenis dalam Konteks Gerejawi lainnya
48. Lembaga-lembaga supernasional yang ada dalam bermacam bentuk untuk menjamin kerja sama dan bantuan di antara Konferensi-Konferensi Waligereja, hendaknya juga membentuk semacam struktur untuk menjamin dimensi ekumenis dari karya mereka. Lingkup kegiatan mereka dan bentuk yang akan dipilih, hendaknya ditentukan dalam statuta dan prosedur dari masing-masing lembaga serta kemungkinan yang ada dalam wilayah tersebut.
49. Di dalam Gereja katolik ada komunitas dan organisasi tertentu, yang mempunyai tempat khusus dalam memberikan sumbangan bagi kehidupan kerasulan Gereja. Meskipun mereka tidak secara langsung termasuk dalam struktur ekumenis yang digambarkan di atas, karya mereka kerap kali mempunyai dimensi ekumenis yang penting, yang hendaknya diorganisir dalam struktur yang selaras, sesuai dengan tujuan dasar dari organisasi tersebut. Di antara komunitas dan organisasi tadi terdapat tarekat hidup bakti, serikat-serikat kerasulan dan macam-macam organisasi kaum beriman katolik.
Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Kerasulan
50. Keprihatinan mengenai kesatuan umat kristen melibatkan seluruh Gereja, baik rohaniwan maupun awam,[55] maka Ordo dan Kongregasi Religius dan Serikat Kerasulan, berdasarkan hakikat penyerahan mereka dalam Gereja dan konteks dalam mana mereka menghayati penyerahan tadi, mempunyai kesempatan yang berarti untuk mengembangkan pemikiran dan kegiatan ekumenis. Selaras dengan karisma mereka yang khas serta konstitusi mereka, beberapa di antaranya sudah ada sebelum adanya perpecahan orang kristen, serta diterangi oleh cahaya semangat dan tujuan dari lembaga mereka, haruslah mereka terdorong untuk melaksanakan sikap-sikap dan kegiatan-kegiatan berikut ini, sesuai dengan kemungkinan konkret serta batasan yang berasal dari peraturan hidup mereka:
(a) untuk memupuk kesadaran akan pentingnya segi ekumenis bentuk hidup mereka, seperti misalnya dengan pertobatan hati, kesucian pribadi, hidup doa secara pribadi dan umum serta pelayanan tanpa pamrih kepada Gereja serta dunia, yang merupakan inti pokok gerakan ekumenis.
(b) ikut menyumbangkan suatu pemahaman akan segi-segi ekumenis dari dimensi panggilan semua orang kristiani kepada kesucian hidup, dengan mempersembahkan kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan pembentukan rohani, kontemplasi, kebaktian dan pujian kepada Allah serta pelayanan kepada sesama.
(c) memperhitungkan situasi tempat dan orang-orang, mengorganisir pertemuan di antara orang-orang kristen dari bermacam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi untuk berdoa secara liturgis, mengadakan rekoleksi dan retret, serta untuk memahami secara lebih mendalam tradisi-tradisi rohani kristen;
(d) memelihara hubungan dengan pertapaan-pertapaan atau komunitas hidup bersama di dalam Persekutuan Kristen, untuk mengadakan tukar menukar sumber hidup rohani dan intelektual, dan pengalaman dalam hidup kerasulan, karena pertumbuhan karisma-karisma religius dalam Persekutuan-Persekutuan tadi dapat merupakan salah satu faktor positif bagi seluruh gerakan ekumenis. Hal ini dapat memberikan suatu dorongan rohani yang bermanfaat.
(e) membimbing lembaga-lembaga pendidikan mereka yang beraneka macam, dengan memperhatikan kegiatan ekumenis, selaras dengan prinsip-prinsip yang disajikan lebih lanjut dalam Pedoman ini.
(f) bekerja sama dengan orang-orang kristen lainnya dalam bidang-bidang karya yang sama demi keadilan sosial, perkembangan ekonomi, kemajuan di bidang kesehatan dan pendidikan, melindungi ciptaan, untuk perdamaian dan rekonsiliasi di antara para bangsa dan komunitas-komunitas.
(g) sejauh kondisi keagamaan memungkinkan, kegiatan ekumenis hendaknya dianjurkan, sehingga orang-orang katolik sedapat mungkin bekerja sama dengan saudara-saudara mereka yang terpisah, tentu harus dihindari setiap bentuk indifferentisme, kebingungan atau persaingan yang tak berarti. Ini dapat dilakukan dengan pengakuan bersama, di hadapan bangsa-bangsa, mengenai iman mereka kepada Allah dan Yesus Kristus, dengan usaha bersama secara persaudaraan di bidang sosial, budaya, teknik dan soal-soal agama, selaras dengan Dekrit tentang Ekumenisme. Hendaknya mereka bekerja sama, lebih-lebih karena Kristus, Tuhan mereka bersama. Semoga Nama-Nya mempersatukan mereka.[56]
Di dalam menjalankan semua kegiatan ini, hendaknya mereka memperhatikan norma-norma untuk karya ekumenis, yang telah ditetapkan oleh Uskup diosesan, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik atau Konferensi Waligereja, sebagai salah satu unsur dalam kerja sama mereka dalam seluruh karya kerasulan di suatu daerah tertentu. Hendaknya mereka memelihara hubungan erat dengan macam-macam komisi ekumenis tingkat keuskupan maupun nasional, dan bila ditunjukkan dengan Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani.
51. Untuk membantu kegiatan ekumenis tadi, sangatlah menguntungkan bila macam-macam tarekat hidup bakti serta serikat-serikat kerasulan, pada tingkat otoritas pusat mereka, membentuk suatu perwakilan atau suatu komisi, yang diberi tugas memajukan dan membantu keterlibatan ekumenis mereka. Fungsi dari para wakil atau komisi tadi ialah mendorong pembinaan ekumenis semua anggota, membantu pendidikan ekumenis yang khas bagi mereka yang mempunyai jabatan khusus. Mereka juga bertugas sebagai penasihat untuk masalah-masalah ekumenis bagi macam-macam otoritas lembaga-lembaga baik umum maupun lokal serta perkumpulan-perkumpulan, lebih-lebih untuk memulai atau melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilukiskan di atas (no 50).
52. Organisasi-organisasi umat katolik dalam suatu wilayah khusus atau suatu bangsa, demikian juga yang bersifat internasional, yang bertujuan misalnya: mengadakan pembaharuan rohani, kegiatan untuk perdamaian dan keadilan sosial, pendidikan pada macam-macam tingkatan, bantuan ekonomis kepada negara-negara dan lembaga dan lain-lain, hendaknya mengembangkan segi-segi ekumenis dari kegiatan mereka. Mereka hendaknya berusaha agar dimensi ekumenis dari karya mereka diberi perhatian yang sewajarnya dan bahkan, bila perlu, diungkapkan dalam statuta dan struktur mereka. Dalam melaksanakan kegiatan ekumenis mereka, hendaknya mereka tetap berhubungan dengan komisi ekumenis setempat dan wilayah, dan bila situasi menuntutnya, juga berhubungan dengan Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani guna mengadakan tukar menukar pengalaman dan nasihat, yang bermanfaat.
Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani
53. Pada tingkat Gereja universal, maka Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani, yang merupakan salah satu departemen dari Kuria Roma, mempunyai kewenangan dan tugas memajukan persatuan yang penuh di antara semua umat kristiani. Konstitusi Pastor Bonus (bdk. no 6 di atas) menyatakan bahwa Dewan tadi, di satu pihak bertugas memajukan semangat ekumenis dan kegiatan ekumenis di dalam Gereja Katolik, dan di lain pihak, dia juga bertugas membina hubungan-hubungan dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi.
a) Dewan Kepausan diberi kewenangan memberikan tafsiran mengenai prinsip-prinsip ekumenisme, dan sarana-sarana untuk melaksanakannya. Dewan juga bertugas melaksanakan keputusan-keputusan Konsili Vatikan Kedua, yang berkaitan dengan ekumenisme. Dia juga bertugas mendorong dan membantu kelompok-kelompok nasional dan internasional, yang memajukan persatuan umat kristiani dan membantu mengkoordinir karya mereka.
b) Dewan mengorganisir dialog-dialog resmi dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat gerejawi, pada tingkat internasional. Dewan menugaskan wakil-wakil katolik sebagai peninjau pada Konferensi atau pertemuan dari lembaga atau organisasi ekumenis lainnya, serta mengundang para peninjau dari mereka, untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Gereja Katolik, bilamana hal ini dianggap menguntungkan.
54. Untuk menjalankan tugas tadi maka Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani, kadang-kadang mengeluarkan petunjuk dan pedoman yang dapat diterapkan untuk seluruh Gereja Katolik. Di samping itu juga Dewan memelihara hubungan dengan Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja, dengan komisi-komisi ekumenis mereka, serta dengan para Uskup dan organisasi-organisasi dalam Gereja katolik. Koordinasi kegiatan-kegiatan ekumenis dari seluruh Gereja katolik menuntut bahwa hubungan tadi bersifat timbal balik. Oleh karena selayaknyalah kalau Dewan tadi diberi informasi mengenai inisiatif-inisiatif penting yang dilakukan pada berbagai tingkatan kehidupan Gereja. Secara khusus hal ini perlu bila inisiatif tadi mempunyai implikasi internasional, seperti misalnya bila dialog-dialog penting diorganisir pada tingkat nasional atau wilayah, dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi. Tukar menukar informasi dan nasihat, akan menguntungkan kegiatan ekumenis pada tingkat internasional maupun pada setiap tingkatan dari kehidupan Gereja. Apa saja yang memudahkan perkembangan yang harmonis dan keterlibatan ekumenis yang saling berhubungan, juga akan memperkokoh kembali persatuan dalam Gereja Katolik.
BAB III
PEMBINAAN EKUMENIS DALAM GEREJA KATOLIK
Pentingnya pembinaan ekumenis dan tujuannya
51. “Keprihatinan untuk memulihkan kesatuan melibatkan segenap Gereja, baik umat beriman maupun para gembala dan siapa pun juga seturut kemampuannya, dalam hidup kristen sehari-hari, pun dalam penelitian-penelitian teologis dan historis.”[57] Dengan mengingat hakikat Gereja katolik, orang-orang katolik, bila mereka dengan setia mengikuti petunjuk-petunjuk Konsili Vatikan Kedua, akan menemukan sarana untuk memberikan sumbangan bagi pembinaan ekumenis, baik untuk individu-individu maupun seluruh jemaat di mana mereka menjadi anggotanya. Dengan demikian persatuan semua orang dalam Kristus akan merupakan hasil dari suatu pertumbuhan bersama serta kematangan. Karena panggilan Allah untuk pertobatan batin[58] dan pembaharuan[59] dalam Gereja, yang begitu fundamental untuk mencari persatuan, tidak mengecualikan seorang pun juga. Oleh karena itu, semua kaum beriman dipanggil untuk melibatkan secara pribadi dalam memajukan persatuan dengan orang-orang kristen lainnya, yang semakin berkembang itu. Namun ada suatu sumbangan khusus yang dapat dilakukan dalam hal ini oleh para anggota Umat Allah, yang terlibat dalam pembinaan, seperti misalnya para kepala dan staf dari kolese-kolese pendidikan tinggi dan pendidikan khusus. Mereka yang melakukan karya pastoral, dan lebih-lebih para pastor paroki serta para pelayan tertahbis lainnya, juga mempunyai peranan dalam hal ini. Menjadi tanggung jawab dari tiap-tiap Uskup, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja, untuk memberikan petunjuk-petunjuk umum mengenai pembinaan ekumenis.
Penyesuaian pembinaan pada keadaan konkret orang-orang
56. Ekumenisme mengajak orang untuk membaharui sikap dan fleksibel dalam metode-metode mencari persatuan. Haruslah diperhitungkan adanya macam-macam orang, fungsi dan situasi dan bahkan ciri khas dari masing-masing Gereja khusus, dan Jemaat-Jemaat yang terlibat bersama mereka, di dalam mencari persatuan. Sebagai konsekuensinya maka pembinaan ekumenis menuntut suatu pedagogi yang sesuai dengan situasi konkret dari kehidupan orang-orang dan kelompok-kelompok. Juga haruslah dihormati perlunya adanya tahapan-tahapan dalam usaha untuk mengadakan pembaharuan terus menerus dan merubah sikap.
57. Tidak hanya para guru, tetapi semua orang yang terlibat dalam karya pastoral hendaknya secara bertahap dibina sesuai dengan orientasi pokok berikut ini:
a) Pengetahuan mengenai Kitab Suci dan pembinaan dalam hal ajaran, penting untuk memulai, di samping itu juga pengetahuan mengenai sejarah serta situasi ekumenis di negara di mana seseorang hidup.
b) Pengetahuan mengenai sejarah perpecahan dan usaha untuk berdamai, demikian pula ajaran dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya,akan memungkinkan dibuat analisa mengenai masalah-masalah dalam konteks sosio-budaya. Demikian pula untuk mengadakan diskresi di dalam ungkapan-ungkapan iman,perbedaan apa yang sah dan apa yang merupakan perbedaan yang tidak cocok dengan iman katolik.
c) Perspektif tadi akan memperhitungkan pula akibat-akibat dan penjelasan-penjelasan yang berasal dari dialog teologis dan studi ilmiah. Bahkan diharapkan agar orang-orang kristen bersama-sama menulis sejarah mengenai perpecahan mereka serta usaha-usaha mereka untuk mencari persatuan.
d) Dengan cara ini maka bahaya mengadakan penafsiran secara subjektif dapat dihindarkan, baik dalam penyajian iman katolik dan juga dalam pemahaman katolik mengenai iman dan kehidupan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi.
e) Sejauh hal tadi berkembang maju dengan baik, maka pembinaan ekumenis menyebabkan bahwa keprihatinan mengenai persatuan dari Gereja katolik dan keprihatinan mengenai persatuan dengan Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi, tak terpisahkan.
f) Secara tersirat (implisit) dalam keprihatinan mengenai persatuan dan persekutuan, maka orang-orang katolik hendaknya juga berusaha untuk memperdalam hubungan dengan Orang-Orang Timur Kristen dan Orang-Orang Kristen dalam jemaat-jemaat yang muncul pada zaman Reformasi.
g) Metode pengajaran hendaknya memungkinkan diadakannya pentahapan yang diperlukan. Metode semacam itu memungkinkan membedakan dan membagi persoalan-persoalan yang harus dipelajari dan isinya yang berkaitan, di dalam macam-macam fase pembinaan pengajaran, dengan memperhitungkan juga pengalaman ekumenis dari orang-orang yang bersangkutan.
Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam karya pastoral, akan setia pada Tradisi yang suci dan hidup, yang merupakan sumber dari inisiatif dalam Gereja. Mereka akan dapat mengevaluasi dan menerima kebenaran macam apa saja yang terdapat di manapun juga. “Semua kebenaran, entah diucapkan oleh siapa pun, adalah berasal dari Roh Kudus.”[60]
A. PENDIDIKAN SEMUA UMAT BERIMAN
58. Keprihatinan untuk persatuan adalah sesuatu yang mendasar untuk memahami Gereja. Tujuan pembinaan ekumenis ialah agar semua orang kristiani, entah apapun perutusan dan tugas mereka dalam dunia dan masyarakat, dijiwai oleh semangat ekumenis. Dalam kehidupan kaum beriman, yang diresapi oleh Roh Kristus, karunia yang didoakan oleh Kristus sebelum sengsara-Nya, yaitu rahmat “persatuan”, adalah sangat penting. Kesatuan tadi terutama adalah persatuan dengan Kristus dalam suatu gerakan kasih yang tunggal, yang membentang baik menuju ke Bapa maupun kepada sesama. Keduanya, kesatuan tadi merupakan suatu persekutuan yang mendalam dan aktif dari individu yang beriman dengan Gereja universal di dalam Gereja khusus di mana dia menjadi anggotanya. [61]Dan ketiga, persatuan tadi merupakan kepenuhan yang kelihatan dari persatuan yang dicari bersama dengan orang-orang kristiani dari Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi.
59. Mendengarkan dan mempelajari Sabda Allah. Gereja Katolik selalu menganggap Kitab Suci bersama dengan Tradisi. “Sebagai pedoman tertinggi dari iman;” bagi anak-anaknya Kitab Suci dan Tradisi merupakan “santapan jiwa, sumber yang murni dan abadi dari hidup rohani.”[62] Saudara dan Saudari kita dari Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi mempunyai kasih yang mendalam dan penghormatan kepada Kitab Suci. Hal tadi menyebabkan mereka terus menerus dan secara mendalam mempelajari Kitab Suci.[63] Dengan demikian Sabda Allah, yang satu dan sama untuk semua orang kristiani, secara bertahap akan memperkokoh lorong menuju ke persatuan sejauh hal itu didekati dengan perhatian keagamaan dan studi penuh kasih.
60. Khotbah. Perhatian khusus harus diberikan pada khotbah, entah di dalam ataupun di luar ibadat liturgis. Seperti yang dikatakan oleh Paulus VI: “Sebagai penginjil-penginjil, kita harus memberi umat yang beriman kepada Kristus bukannya wajah suatu umat yang terbagi-bagi dan terpisah karena perselisihan-perselisihan yang tak pernah berhenti, tetapi wajah umat yang dewasa dalam iman dan mampu menemukan titik temu di balik ketegangan-ketegangan yang riil, karena adanya usaha mencari kebenaran secara bersama-sama, jujur dan tanpa pamrih.”[64] Bagian-bagian tahun liturgi yang beraneka macam memberikan kesempatan yang menguntungkan untuk mengembangkan tema-tema persatuan kristiani, serta untuk mendorong studi, refleksi dan doa.
Khotbah hendaknya dihubungkan dengan misteri perwahyuan persatuan Gereja, dan sejauh mungkin secara kelihatan mendorong persatuan orang-orang Kristiani. Di dalam khotbah, penggunaan Kitab Suci secara tidak layak haruslah dihindari.
61. Katekese. Katekese bukan hanya berarti mengajarkan doktrin, tetapi suatu inisiasi kepada hidup kristiani secara menyeluruh, dengan ikut ambil bagian secara penuh dalam sakramen-sakramen Gereja. Tetapi seperti diperlihatkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Seruan Apostolik Catechesi tradendae (nomor 32-33), pengajaran ini dapat membantu kita untuk membentuk suatu sikap ekumenis yang sejati, dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk berikut ini:
a) pertama, haruslah dijelaskan dengan jelas, dengan penuh kasih dan kemantapan seluruh ajaran Gereja Katolik, yang secara khusus berkaitan dengan tata hirarkis kebenaran-kebenaran[65] dan menghindari ungkapan-ungkapan dan cara-cara menyajikan ajaran, yang akan menjadi suatu penghambat bagi dialog.
b) bila berbicara mengenai Gereja-Gereja lain dan Jemaat-Jemaat gerejawi, perlulah disampaikan ajaran mereka dengan tepat dan jujur. Di antara unsur-unsur tadi, dengan mana Gereja sendiri dibangun dan diberi hidup, beberapa di antaranya – bahkan sebenarnya banyak dan sangat berharga – haruslah ditemukan di luar batas-batas yang kelihatan dari Gereja Katolik.[66] Oleh karena itu Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan jemaat-jemaat tadi sebagai sarana keselamatan. Dengan berbuat demikian berarti juga memunculkan kebenaran-kebenaran iman yang dimiliki secara bersama oleh macam-macam aliran kepercayaan kristiani. Hal ini akan membantu orang-orang katolik untuk memperdalam iman mereka sendiri serta untuk mengetahui dan menghargai orang-orang Kristen lainnya, dengan demikian mempermudah usaha bersama mencari jalan menuju ke persatuan yang penuh dalam seluruh kebenaran.[67]
c) katekese akan mempunyai suatu dimensi ekumenis bila membangkitkan dan memupuk suatu keinginan sejati untuk persatuan dan di samping itu mendorong usaha yang sungguh-sungguh, termasuk usaha-usaha untuk memurnikan diri kita dalam kerendahan hati hingga dengan demikian menyingkirkan halangan-halangan yang menghadang di jalan, tidak dengan menghilangkan ajaran-ajaran secara gampangan dan berkompromi, tetapi dengan mengarah ke persatuan yang sempurna yang dikehendaki Tuhan dan menggunakan sarana-sarana yang dikehendaki-Nya.[68]
d) katekese mempunyai dimensi ekumenis bila mulai mempersiapkan anak-anak dan kaum muda, begitu pula orang-orang dewasa untuk berhubungan dengan orang-orang kristen lainnya, dengan demikian mereka menjadi dewasa sebagai orang katolik namun sekaligus juga berkembang penghargaannya kepada iman orang lain.[69]
e) hal ini dapat dilakukan oleh katekese dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh adanya perbedaan antara kebenaran-kebenaran iman dan cara-cara mengungkapkannya.[70] Di samping itu juga dengan berusaha untuk saling memahami dan menghargai apa yang baik dalam tiap-tiap tradisi teologis dari orang lain; dengan menjernihkan bahwa dialog telah menciptakan hubungan-hubungan baru, yang jika dimengerti dengan baik, dapat membawa ke kerja sama dan perdamaian.[71]
f) Seruan Apostolik Catechesi tradendae hendaknya menjadi salah satu butir rujukan dalam mengolah katekismus baru, yang disiapkan dalam Gereja-Gereja setempat di bawah otoritas para Uskup.
62. Liturgi. Karena merupakan “sumber utama dan mutlak perlu dari mana umat beriman harus menimba semangat kristen sejati”,[72] maka liturgi memberikan sumbangan penting untuk persatuan semua orang yang percaya akan Kristus. Liturgi merupakan suatu perayaan dan suatu alat persatuan; bila dimengerti dengan sepenuh-penuhnya dan setiap orang ambil bagian di dalamnya, “liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli Gereja yang sejati.”[73]
a) Karena Ekaristi suci merupakan “sakramen yang mengagumkan dan melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja”,[74] maka penting sekali mengusahakan agar ekaristi dirayakan dengan baik sehingga semua umat beriman dapat ikut ambil bagian di dalamnya, karena “sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dan dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.”[75]
b) Baik juga kalau dipupuk kesetiaan untuk berdoa bagi persatuan umat kristen, menurut petunjuk-petunjuk dalam Pedoman ini, apakah yang ditunjukkan dalam liturgi, misalnya dalam perayaan Sabda atau perayaan lainnya yang dalam perayaan liturgi Gereja Timur disebut Litia dan Moleben. Atau lebih-lebih dalam Misa, di dalam doa umat atau litani Ectenie, atau juga dalam merayakan misa votif untuk persatuan Gereja,dengan bantuan rumusan-rumusan yang cocok.
Suatu pembinaan yang efektif juga dapat diperoleh dengan mengintensifkan doa untuk persatuan pada kesempatan-kesempatan khusus, misalnya pada Pekan Doa Sedunia Untuk Persatuan Umat Kristen (18-25 Januari) atau pada hari-hari antara hari raya Kenaikan Tuhan dan Pantekosta, sehingga Roh Kudus berkenan meneguhkan Gereja dalam persatuannya dan dalam tugas kerasulan untuk melaksanakan perutusan menyelamatkan semua orang.
63. Hidup rohani. Dalam gerakan ekumenis perlulah mengutamakan pertobatan hati, hidup rohani dan pembaharuan hidup rohani. “Pertobatan hati dan kesucian hidup itu, disertai doa-doa permohonan perorangan maupun bersama untuk kesatuan umat kristen, harus dipandang sebagai jiwa seluruh gerakan ekumenis, dan memang tepat juga disebut ekumenisme rohani.”[76] Oleh karena itu orang-orang kristen secara pribadi, sejauh mereka menghayati hidup rohani yang sejati bersama dengan Kristus Penebus sebagai pusatnya dan kemuliaan Allah Bapa sebagai tujuannya, dapat selalu dan di mana-mana ikut ambil bagian secara mendalam dalam gerakan ekumenis, dengan memberikan kesaksian mengenai Injil Kristus melalui hidup mereka.[77]
a) Orang-orang katolik hendaknya menghargai unsur-unsur tertentu dan hal-hal yang baik, sumber-sumber hidup rohani, yang terdapat dalam Gereja-gereja lain dan Jemaat-jemaat gerejawi, dan yang menjadi milik Gereja Kristus yang satu: Kitab Suci,sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan suci lainnya, iman, harapan, kasih dan karunia-karunia Roh Kudus lainnya.[78] Hal-hal yang baik tadi telah menampakkan buahnya, misalnya tradisi mistik Orang Kristen Timur dan kekayaan rohani dari hidup monastik, dalam ibadat dan kesalehan orang-orang Anglikan, dalam doa injil dan macam-macam bentuk dari spiritualitas Protestan.
b) Penghargaan tadi hendaknya jangan hanya bersifat teoretis; dalam keadaan tertentu yang dianggap sesuai, hendaknya dilengkapi dengan pengetahuan praktis mengenai tradisi kerohanian dari agama lain. Oleh karenanya ikut ambil bagian dalam doa dan beberapa bentuk ibadat umum atau kegiatan devosi dari orang-orang Kristen lain dapat juga mempunyai nilai pendidikan, bila dilakukan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang ada.[79]
64. Inisiatif-inisiatif lainnya. Kerja sama dalam kegiatan sosial dan karitatif dalam konteks seperti sekolah, rumah sakit dan penjara, telah terbukti mempunyai nilai pendidikan. Begitu pula karya untuk perdamaian di dunia atau di dalam wilayah-wilayah tertentu di mana perdamaian terancam, serta karya untuk hak-hak azasi dan kebebasan beragama.[80]
Kegiatan-kegiatan tadi, bila diarahkan dengan tepat, dapat memperlihatkan betapa efektifnya penerapan Injil dalam bidang sosial serta daya kekuatan kepekaan ekumenis secara praktis di berbagai tempat. Refleksi secara berkala mengenai dasar kristiani dari kegiatan-kegiatan semacam ini, yang menguji kualitas dan manfaatnya, seraya mengoreksi kekurangan-kekurangannya, juga bersifat mendidik dan konstruktif.
Lingkungan-lingkungan yang cocok untuk pembinaan
65. Inilah tempat-tempat di mana kematangan manusiawi dan kristiani, perasaan bersahabat dan bersatu, tumbuh langkah demi langkah. Sehubungan dengan hal tersebut yang sangat penting ialah keluarga, paroki, sekolah, macam-macam kelompok, perkumpulan dan gerakan-gerakan gerejawi.
66. Keluarga, yang disebut “Gereja-keluarga” oleh Konsili Vatikan Kedua,[81] merupakan tempat pertama di mana kesatuan akan dibentuk atau diperlemah setiap hari melalui pertemuan pribadi-pribadi, yang meskipun dengan bermacam-macam cara,saling menerima dalam persatuan kasih. Juga di sinilah haruslah diwaspadai agar jangan sampai orang menjadi senang berprasangka, tetapi sebaliknya mencari kebenaran di dalam segala hal.
a) Kesadaran akan identitas kristiani mereka serta perutusan mereka, akan membuat keluarga siap untuk menjadi suatu komunitas bagi orang lain, suatu komunitas yang tidak hanya terbuka bagi Gereja tapi juga terbuka bagi masyarakat, sedia untuk berdialog dan terlibat secara sosial. Seperti halnya Gereja, hendaknya keluarga menjadi lingkungan di mana Injil disampaikan dan menyinarkan Injil. Lumen gentium menegaskan bahwa dalam Gereja-keluarga “hendaknya orangtua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka” (no. 11).
b) Keluarga-keluarga yang kawin campur, mempunyai kewajiban untuk mewartakan Kristus dengan kepenuhan yang terkandung dalam baptisan yang sama, mereka juga mempunyai kewajiban yang penting untuk menjadikan diri mereka menjadi penegak persatuan.[82] “Baptis yang sama dan dinamisme rahmat melengkapi pasangan suami-isteri di dalam perkawinan mereka dengan dasar dan motivasi untuk mengungkapkan kesatuan mereka dalam bidang moral dan nilai-nilai rohani.”[83]
67. Paroki, sebagai suatu kesatuan gerejani yang berkumpul di seputar Ekaristi hendaknya merupakan tempat untuk memberikan kesaksian yang autentik mengenai ekumenisme dan juga hendaknya mewartakan dirinya secara demikian itu. Dengan demikian paroki mempunyai suatu tugas besar untuk mendidik anggota-anggotanya di dalam semangat ekumenis. Ini semua menuntut hendaknya diperhatikan isi dan bentuk pewartaan, lebih-lebih homili dan katekese. Juga perlu diperhatikan suatu program pastoral yang melibatkan seseorang, yang diberi tugas untuk memajukan dan merencanakan kegiatan ekumenis, yang bekerja sama secara erat dengan pastor paroki. Semangat ekumenis tadi sangat membantu dalam macam-macam bentuk kerja sama dengan paroki-paroki yang serupa dalam orang-orang kristen lainnya. Pada akhirnya dituntut pula bahwa hendaknya paroki jangan sampai terkoyak-koyak oleh karena polemik intern, polarisasi ideologis atau saling mengutuk di antara orang kristen, tetapi bahwa setiap orang, sesuai dengan semangat dan panggilannya sendiri, mengabdi kebenaran dalam kasih.[84]
68. Sekolah dari setiap macam dan tingkatan, hendaknya memberikan suatu dimensi ekumenis pada pelajaran agamanya, dan hendaknya sesuai dengan caranya sendiri diarahkan untuk mendidik hati dan pikiran dalam nilai-nilai manusiawi dan keagamaan, dengan mendidiknya untuk berdialog, untuk perdamaian dan hubungan pribadi.[85]
a) Semangat kasih, penghargaan, dan semangat dialog menuntut dihapuskannya bahasa dan prasangka, yang mengelirukan gambaran mengenai orang kristen yang lain. Lebih-lebih ini berlaku untuk sekolah-sekolah katolik di mana kaum muda harus bertumbuh dalam iman, doa, dalam keteguhan hati untuk mempraktikkan persatuan sesuai dengan Injil kristiani. Hendaknya mereka diajar mengenai ekumenisme sejati, menurut ajaran Gereja katolik.
b) Bila mungkin, dalam kerja sama dengan guru-guru lain, macam-macam hal, mis. sejarah dan kesenian, hendaknya diajarkan demikian rupa sehingga digaris bawahi persoalan-persoalan ekumenis dalam semangat dialog dan persatuan. Untuk mencapai tujuan ini juga diharapkan bahwa para guru secara tepat dan memadai diberitahu mengenai asal-usul, sejarah dan ajaran dari Gereja-gereja lain dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya, lebih-lebih yang ada dalam wilayah mereka.
69. Kelompok, perkumpulan, gerakan-gerakan gerejawi. Hidup kristiani, lebih-lebih kehidupan Gereja-gereja khusus sepanjang sejarah telah diperkaya oleh macam-macam ungkapan, usaha dan spiritualitas, menurut karisma yang diberikan oleh Roh untuk membangun Gereja, dengan menampakkan perbedaan yang jelas dalam tugas-tugas melayani jemaat. Mereka yang terlibat dalam kelompok-kelompok, gerakan serta perkumpulan semacam ini hendaknya diresapi dengan semangat ekumenis yang kokoh, dalam menghayati keterlibatan mereka di dalam dunia berdasarkan Baptis,[86] dengan mencari persatuan katolik lewat dialog dan persekutuan dengan Gereja-gereja lain dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya serta gerakan-gerakan dan perkumpulan, yang diilhami olehnya. Usaha-usaha ini hendaknya dilakukan berdasarkan pendidikan yang sehat dan dalam cahaya kebijaksanaan dan kebijakan kristiani.
B. PEMBINAAN MEREKA YANG TERLIBAT DALAM KARYA PASTORAL
70. Salah satu kewajiban pokok dari setiap calon pelayan tertahbis ialah membentuk kepribadian mereka sendiri sejauh mungkin, sedemikian rupa sehingga akan membantu perutusannya untuk membantu orang lain menjumpai Kristus. Dalam perspektif inilah maka para calon pelayan tertahbis perlu mengembangkan sepenuh-penuhnya sifat-sifat manusiawi yang akan menyebabkan seorang pribadi dapat diterima dan dipercaya oleh orang-orang, dengan secara teratur meneliti bahasanya sendiri dan kemampuannya untuk berdialog sehingga memperoleh suatu sikap ekumenis yang autentik. Jika hal tadi merupakan sesuatu yang hakiki bagi seseorang yang mempunyai tugas mengajar dan menggembalakan dalam suatu Gereja khusus, seperti Uskup atau seseorang yang sebagai seorang imam memelihara jiwa-jiwa, tak kurang pentingya pula untuk seorang diakon, dan secara khusus diakon tetap, yang dipanggil untuk melayani jemaat kaum beriman.
71. Dalam mengambil inisiatif dan memajukan pertemuan-pertemuan, pelayan tertahbis tadi harus bertindak dengan jelas dan setia pada Gereja, dengan menghormati otoritas orang lain dan mengikuti sikap yang diharapkan akan dilakukan oleh para gembala Gereja dalam gerakan ekumenis di Gereja universal serta Gereja-gereja lokal, untuk menjamin bahwa kerja sama dalam membangun persatuan kristiani akan bebas dari prasangka dan inisiatif yang tidak dipertimbangkan dengan baik.
a) Pembinaan dalam pengajaran
72. Konferensi-Konferensi Waligereja hendaknya menjamin bahwa rencana studi memberikan dimensi ekumenis pada tiap mata pelajaran dan secara khusus memperhatikan studi tentang ekumenisme. Mereka juga hendaknya mengusahakan agar rencana studi sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang termuat dalam Pedoman ini.
a – 1) Dimensi ekumenis dalam macam-macam pokok kuliah
73. Kegiatan ekumenis “harus bersifat katolik sepenuhnya dan setulus-tulusnya, artinya: setia terhadap kebenaran, yang telah kita waris dari para Rasul dan para Bapa Gereja; begitu pula sesuai dengan iman, yang senantiasa diikrarkan oleh Gereja katolik.”[87]
74. Para mahasiswa harus belajar membedakan antara kebenaran-kebenaran yang diwahyukan,yang semuanya menuntut sikap penerimaan iman yang sama, dengan cara-cara menyatakan kebenaran-kebenaran tadi serta ajaran-ajaran teologis.[88] Sejauh persoalannya menyangkut perumusan kebenaran yang diwahyukan, hendaklah diperhitungkan pula antara lain apa yang dikatakan oleh deklarasi Kongregasi Ajaran Iman Mysterium Ecclesiae, no 5: “Kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya ingin diajarkan oleh Gereja lewat rumusan-rumusan dogmatisnya, tak boleh diragukan lagi, berbeda dari konsep-konsep yang berubah-ubah yang khas untuk suatu zaman tertentu dan dapat diungkapkan dengan tanpa menggunakan konsep tadi. Walaupun begitu dapat terjadi bahwa kebenaran-kebenaran tadi akan diungkapkan oleh Magisterium dengan istilah-istilah yang dipengaruhi oleh konsep-konsep tadi. Haruslah diperhitungkan dalam pertimbangan tadi dan juga haruslah dikatakan bahwa sejak awal mula rumusan-rumusan dogmatis Magisterium selalu cocok untuk menyampaikan kebenaran yang diwahyukan, dan bahwa meskipun tetap tidak berubah, rumusan-rumusannya tetap mengkomunikasikan kebenaran yang diwahyukan kepada orang-orang yang menafsirkannya dengan secara semestinya.”[89] Oleh karena itu hendaknya para mahasiswa belajar membedakan antara “harta warisan iman itu sendiri atau kebenaran-kebenaran yang termuat di dalam ajaran kita yang luhur”,[90] dengan cara merumuskan kebenaran-kebenaran tadi; antara kebenaran-kebenaran yang harus diwartakan dan macam-macam cara memahaminya dan menyorotinya. Membedakan antara tradisi para Rasul dengan tradisi-tradisi gerejani dalam arti sempit, dan sekaligus hendaknya mereka belajar untuk mengakui dan menghormati nilai yang permanen dari rumusan-rumusan dogmatis. Mulai sejak dari masa pendidikan filsafat mereka, para mahasiswa hendaknya disiapkan untuk menghargai keaneka ragaman dalam teologi yang dapat dibenarkan, yang berasal dari perbedaan metode dan bahasa yang digunakan para teolog dalam menyelami misteri-misteri ilahi. Sebagai konsekuensinya maka perbedaan rumusan-rumusan teologis lebih bersifat melengkapi dan tidak berarti saling bertentangan.
75. Di samping itu “hirarki nilai” dari ajaran Katolik hendaknya selalu dihormati; kebenaran-kebenaran tadi semuanya menuntut penerimaan iman yang tepat, sebab tidak semuanya sama sentralnya terhadap misteri yang diwahyukan dalam Yesus Kristus, karena ada perbedaan dalam hubungannya dengan dasar iman kristiani.[91]
a – 2) Dimensi ekumenis dari pelajaran-pelajaran Teologi pada umumnya
76.Keterbukaan ekumenis merupakan dimensi konstitutif dalam pembinaan para calon imam dan diakon: “Pendidikan teologi dan vak-vak lainnya, terutama sejarah, harus diberikan juga dalam perspektif ekumenis, supaya lebih cermat mengungkapkan kebenaran.”[92] Dimensi ekumenis dalam pendidikan teologi hendaknya jangan dibatasi pada macam-macam kategori pengajaran. Karena kita bicara tentang mengajar secara “interdispliner” (di mana ilmu yang satu dan yang lainnya saling berhubungan) dan bukan hanya mengajar banyak ilmu pengetahuan yang tidak ada kaitannya satu sama lain (pluridisipliner). Hal ini menuntut kerja sama dari para dosen yang terkait serta koordinasi di antara mereka. Di dalam setiap mata kuliah, terutama yang penting dan pokok, segi-segi berikut ini hendaknya secara serasi ditekankan:
a) unsur-unsur warisan kebenaran dan kesucian kristiani yang sama bagi semua Gereja dan Jemaat gerejawi, meskipun kadangkala disajikan sesuai dengan ungkapan-ungkapan teologis yang berbeda-beda;
b) kekayaan liturgi, spiritualitas dan ajaran yang khas bagi masing-masing persekutuan, namun dapat membantu orang-orang kristen untuk memahami secara lebih mendalam hakikat Gereja;
c) titik-titik perbedaan dalam hal-hal yang menyangkut iman dan moral, yang dapat mendorong untuk mengadakan penelitian lebih lanjut Sabda Allah dan membimbing mereka untuk membedakan kontradiksi yang riil ada dan yang semu.
a – 3) Dimensi ekumenis dari masing-masing ilmu teologi
77. Dalam setiap mata kuliah teologi, hendaknya pendekatan ekumenis membawa kita ke pemahaman adanya kaitan antara suatu ilmu tertentu dengan misteri persatuan Gereja. Hendaknya dosen juga menanamkan dalam diri para mahasiswa kesetiaan terhadap seluruh tradisi kristiani yang autentik dalam teologi, spiritualitas dan ilmu-ilmu gerejani. Bila para mahasiswa membandingkan harta warisan iman mereka sendiri dengan kekayaan dari umat kristen lainnya baik dari Timur maupun Barat, entah dalam ungkapan kuno atau modern, maka mereka secara lebih mendalam akan menyadari kepenuhan ini.[93]
78. Studi perbandingan ini penting dalam segala mata kuliah: dalam studi Kitab Suci, yang merupakan sumber iman yang sama untuk semua orang kristen; dalam studi mengenai tradisi para rasul dalam para Bapa Gereja dan dalam para Pujangga Gereja baik Timur maupun Barat; dalam kuliah Liturgi, di mana macam-macam bentuk ibadat ilahi serta ajaran dan unsur rohani yang terdapat di dalamnya secara ilmiah dibandingkan. Dalam kuliah Teologi Moral dan Teologi Dogmatik hendaknya dipelajari secara khusus persoalan yang muncul dari dialog ekumenis. Dalam kuliah Sejarah Gereja hendaknya secara hati-hati diselidiki persatuan Gereja dan sebab-sebab timbulnya perpecahan. Dalam mempelajari Hukum Kanonik harus dibedakan dengan jelas hukum ilahi dan hukum-hukum gerejani, yang dapat berubah karena zaman, kebudayaan dan tradisi setempat. Dan akhirnya dalam latihan pastoral dan misioner serta dalam studi ilmu Sosiologi haruslah diperhatikan pula situasi yang sama dari semua orang kristen dalam menghadapi dunia modern. Dengan cara demikian kepenuhan Wahyu ilahi akan diungkapkan secara lebih baik dan lebih lengkap, dan kita dengan lebih baik melaksanakan perutusan kepada dunia, yang diserahkan oleh Kristus kepada Gereja-Nya.
a – 4) Suatu kursus khusus mengenai Ekumenisme
79. Meskipun dimensi ekumenis diharapkan meresapi semua pendidikan teologis, namun tetap pentinglah bahwa suatu kuliah khusus mengenai ekumenisme diberikan pada saat yang tepat pada putaran pertama dari perkuliahan. Kuliah semacam ini hendaknya wajib diikuti oleh semua mahasiswa. Pada garis besarnya serta dapat disesuaikan dengan situasi, hendaknya isinya sebagai berikut:
a) pengertian mengenai kekatolikan, mengenai kesatuan Gereja yang kelihatan dan organis, mengenai oecumene, ekumenisme; dari awal mulanya secara historis serta artinya pada zaman sekarang ditinjau dari pandangan katolik.
b) dasar doktriner dari kegiatan ekumenis, dengan secara khusus kepada ikatan persekutuan yang ada antara Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi.[94]
c) sejarah mengenai ekumenisme, yang mencakup perpecahan dan banyak usaha selama berabad-abad untuk memulihkan kembali persatuan, hasil-hasilnya dan kegagalannya, usaha mencari persatuan pada zaman sekarang.
d) maksud dan metode ekumenisme, macam-macam bentuk persatuan, harapan untuk memulihkan kembali persatuan,syarat-syarat untuk persatuan, konsep tentang persatuan yang penuh dan sempurna;
e) segi “institutional” dan kehidupan modern dalam macam-macam jemaat kristen: kecenderungan-kecenderungan dalam ajaran, sebab sesungguhnya dari perpecahan, usaha-usaha misioner, spiritualitas, bentuk-bentuk ibadat,perlunya mengetahui dengan lebih baik teologi dan spiritualitas Timur;[95]
f) beberapa persoalan yang lebih khas, seperti misalnya ibadat bersama, proselitisme dan irenicisme, kebebasan beragama, kawin campur, peranan kaum awam dan secara khusus, peranan kaum wanita dalam Gereja.
g) ekumenisme rohani, lebih-lebih tentang arti doa untuk persatuan dan bentuk-bentuk lain untuk menuju ke persatuan, yang didoakan oleh Kristus.
80. Studi atau kuliah hendaknya diatur menurut rencana sebagai berikut:
a) Baiklah bila suatu pengantar umum mengenai ekumenisme diberikan dengan terus terang pada awal mula sehingga para mahasiswa menjadi peka, sejak dari awal pendidikan teologis mereka, terhadap dimensi ekumenis dari studi mereka.[96] Pengantar umum tadi hendaknya membicarakan soal-soal yang mendasar dalam ekumenisme.
b) Bagian khusus dari kuliah yang membicarakan ekumenisme sebaiknya ditempatkan pada akhir siklus pertama dari studi teologi dalam kursus di Seminari, sehingga para mahasiswa dalam kerangka mendapatkan wawasan yang luas mengenai ekumenisme, dapat membuat sintesa mengenai ekumenisme dengan pendidikan teologis mereka.
c) Buku-buku pegangan dan alat bantu lainnya hendaknya dipilih dengan saksama: Yaitu buku-buku yang mengungkapkan dengan setia ajaran orang-orang kristen lain dalam sejarah, teologi dan spiritualitas, sehingga dapat dibandingkan dengan jujur dan secara obyektif dan mendorong untuk mendalami lebih lanjut ajaran katolik.
81. Akan sangat bergunalah mengundang para dosen dan para pakar dari tradisi lain, dalam konteks pedoman mengenai kerja sama antara lembaga-lembaga katolik serta pusat-pusat yang ada di bawah orang kristen lain.[97] Bila timbul masalah-masalah khusus yang menyangkut suatu seminari atau lembaga khusus, merupakan kewenangan Uskup diosesan untuk mengambil keputusan, sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan oleh Konferensi Waligereja dan setelah menetapkan sifat-sifat moral dan profesional dari para calon dosen dari Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya, langkah selanjutnya dapat dilakukan oleh penanggung jawab khusus akademis. Dalam pertukaran kebudayaan ini hendaknya selalu dijaga kelangsungan sifat katolik dari lembaga yang bersangkutan, begitu pula hak dan kewajibannya untuk mendidik para calonnya sendiri dan untuk mengajarkan ajaran katolik menurut norma-norma Gereja.
b) Pengalaman ekumenis
82. Dalam masa pendidikan, supaya pendekatan kepada ekumenisme tidak terputus dari kehidupan tapi berakar secara mendalam dalam pengalaman hidup jemaat-jemaat, maka perjumpaan dan diskusi, dapat secara bermanfaat diorganisir bersama dengan orang-orang kristen lain, baik pada tingkat universal maupun lokal, namun dengan tetap memperhatikan norma-norma yang berkaitan dengan Gereja katolik.
Para wakil dari jemaat-jemaat lain, yang disiapkan secara profesional dan secara religius serta mempunyai semangat ekumenis yang diperlukan untuk mengadakan suatu dialog yang jujur dan konstruktif, dapat diundang. Dapat juga diatur pertemuan dengan para mahasiswa dari Gereja-Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya.[98] Namun karena lembaga-lembaga pendidikan begitu berbeda-beda, maka tidak mungkinlah memberikan peraturan-peraturan yang seragam dalam hal ini. Sebab pada kenyataannya dimungkinkan adanya macam-macam nuansa sesuai dengan keanekaragaman bangsa dan daerah, begitu pula karena perbedaan hubungan antara Gereja katolik dan Gereja-gereja serta Jemaat gerejawi lainnya pada tingkat eklesiologi, pada tingkat kerja sama dan dialog. Perlunya hal ini dilakukan secara bertahap serta diadakan penyesuaian, sangatlah penting dan tak dapat dihindari. Para pimpinan haruslah menerapkan prinsip-prinsip umum dan menyesuaikannya sesuai dengan keadaan mereka yang khusus serta kesempatan yang ada.
2. Para pelayan dan rekan kerja yang tidak tertahbis
a) Pembinaan dalam hal pengajaran
83. Di samping para pelayan tertahbis, ada juga para rekan kerja lainnya dalam karya pastoral yang diakui secara resmi, seperti misalnya para katekis, para guru dan para sukarelawan awam lainnya. Gereja-gereja lokal mempunyai lembaga-lembaga pengetahuan agama, lembaga pastoral atau pusat-pusat pembinaan lainnya atau aggiornamento (penyegaran kembali) pendidikan mereka. Program kuliah yang sama serta norma-norma yang digunakan untuk lembaga-lembaga teologi, juga berlaku di sini, tapi harus disesuaikan dengan tingkat para peserta dan studi mereka.
84. Secara lebih khusus, karena adanya macam-macam karisma yang sah serta macam-macam karya Pertapaan, Tarekat-tarekat Hidup Bakti, dan Serikat kerasulan, maka sangatlah penting bahwa “semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka, dengan mengindahkan coraknya sendiri, hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja”, termasuk “bidang ekumene.”[99]
Pendidikan hendaknya dimulai dari masa novisiat dan berlanjut dalam tahap-tahap berikutnya. Ratio formationis (Rencana pendidikan) dari macam-macam lembaga, hendaknya mirip dengan kurikulum para pelayan tertahbis, dengan menekankan adanya suatu dimensi ekumenis dalam setiap mata kuliah serta mengusahakan suatu kuliah khusus mengenai ekumenisme, yang disesuaikan dengan keadaan dan situasi setempat. Sekaligus pentinglah bahwa otoritas yang berwenang dari lembaga mengusahkan pendidikan para spesialis dalam ekumenisme, yang berfungsi sebagai pendamping bagi keterlibatan dalam ekumenisme dari seluruh lembaga.
b) Pengalaman ekumenis
85. Untuk menerjemahkan studi ke dalam pengalaman, bergunalah mendorong hubungan dan tukar menukar pengalaman antara pertapaan-pertapaan katolik dan komunitas religius dengan pertapaan dan komunitas religius dari Gereja-gereja dan Jemaat gerejawi lainnya. Hal tadi dapat dilakukan dalam bentuk tukar menukar pengalaman, bantuan rohani atau kadang-kadang bantuan material, atau dapat juga dalam bentuk tukar-menukar kebudayaan.
86. Oleh karena pentingnya peranan kaum awam dalam Gereja dan masyarakat, maka kaum awam yang memiliki tanggung jawab ekumenis hendaknya didorong untuk mengembangkan hubungan dan tukar menukar pengalaman dengan Gereja-gereja lain dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya, sesuai dengan norma-norma Pedoman ini.[100]
87. Pentingnya pembinaan untuk dialog. Mengingat besarnya pengaruh dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi, maka jelaslah bahwa fakultas-fakultas gerejawi dan lembaga pendidikan tinggi lainnya, memegang peranan penting sekali dalam menyiapkan dan membimbing dialog ekumenis serta perkembangan dalam menuju persatuan umat kristiani, yang diusahakan oleh umat kristiani agar dapat terwujud melalui dialog. Persiapan pedagogis bagi dialog haruslah memenuhi tuntutan-tuntutan berikut ini:
a) suatu keterlibatan pribadi yang jujur, yang dihayati dalam iman, karena tanpa hal ini dialog bukan lagi merupakan suatu dialog antara saudara dan saudari,tapi lebih merupakan suatu latihan akademis.
b) mencari jalan baru dan sarana untuk membangun hubungan timbal balik serta membangun kembali persatuan yang berdasarkan pada kesetiaan yang lebih besar terhadap Injil serta pengakuan iman kristiani yang autentik, berdasarkan kebenaran dan kasih.
c) keyakinan bahwa dialog ekumenis bukanlah suatu persoalan pribadi semata-mata antara pribadi-pribadi atau suatu kelompok khusus, tapi dialog berlangsung dalam kerangka keterlibatan seluruh Gereja dan sebagai konsekuensinya haruslah dilaksanakan dengan suatu cara yang selaras dengan ajaran dan petunjuk-petunjuk dari para Gembalanya.
d) suatu kesediaan untuk mengakui bahwa anggota-anggota dari bermacam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi dapat membantu kita untuk dengan lebih baik memahami dan menjelaskan dengan saksama ajaran dan kehidupan jemaat mereka.
e) menghormati hati nurani dan keyakinan pribadi setiap orang yang menjelaskan suatu segi atau suatu ajaran dari Gerejanya sendiri atau cara mereka yang khas untuk memahami Wahyu ilahi.
f) mengakui fakta bahwa tidak setiap orang sama kemampuannya untuk ambil bagian dalam dialog, karena ada macam-macam tingkat pendidikan, kematangan pikiran dan kemajuan rohani.
Peranan Fakultas-fakultas Gerejawi
88. Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana menggariskan bahwa dalam siklus pertama dari fakultas teologi, teologi fundamental hendaknya dipelajari dengan memperhatikan juga persoalan-persoalan ekumenis.[101]
Dalam siklus kedua, juga hendaknya “persoalan-persoalan ekumenis dipelajari dengan saksama, seperti yang diarahkan oleh otoritas gerejawi yang berwewenang.”[102]
Dengan kata lain sangatlah menguntungkan bila diberikan kuliah-kuliah khusus untuk spesialisasi di bidang ekumenisme, yang di samping unsur-unsur yang telah disebutkan pada nomor 79 di atas, dapat juga membicarakan:
a) keadaan sekarang ini dalam hal hubungan antara Gereja katolik dengan Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi lain, berdasarkan pada studi mengenai hasil-hasil dialog yang telah diterbitkan.
b) studi mengenai warisan dan tradisi dari orang-orang kristen lain, baik Timur maupun Barat.
c) pentingnya gerakan ekumenis dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia serta hubungan Gereja Katolik dengan Dewan tadi.
d) peranan Dewan Gereja nasional dan regional, hasil yang mereka capai dan kegagalan-kegagalannya.
Haruslah diingat bahwa dimensi ekumenis hendaknya juga ada dalam kuliah teologi dan riset.
Peranan Universitas-universitas Katolik
89. Universitas-universitas katolik juga terpanggil untuk memberikan pembinaan ekumenis yang sehat. Di sini diberikan beberapa contoh beberapa usaha yang layak mereka lakukan:
a) memupuk dimensi ekumenis kepada metode-metode mengajar serta riset, bila mata kuliah yang bersangkutan memerlukannya.
b) mengorganisir diskusi-diskusi dan hari-hari studi mengenai persoalan-persoalan ekumenis.
c) mengorganisir Konferensi-Konferensi dan pertemuan untuk studi bersama, karya dan kegiatan sosial, dengan menyisihkan waktu untuk mempelajari prinsip-prinsip kristiani dalam kegiatan sosial dan sarana-sarana untuk mewujudkannya dalam praktik. Kesempatan-kesempatan tadi, entah hanya melibatkan orang-orang katolik atau mengikut-sertakan orang-orang katolik dan kristen, hendaknya sedapat mungkin memajukan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang lebih maju dalam bidang ini.
d) hendaknya diberikan kolom mengenai kejadian-kejadian ekumenis, dalam koran dan majalah Universitas, dengan mengutamakan komentar-komentar terhadap dokumen-dokumen yang berasal dari dialog internasional.
e) di ruangan-ruangan akademis di mana mereka bermukim sangatlah dianjurkan adanya hubungan yang baik antara mahasiswa-mahasiswa katolik dan kristen lainnya. Dengan bimbingan yang cocok, melalui hubungan-hubungan tadi, mereka dapat belajar untuk hidup bersama dalam suatu semangat ekumenis yang lebih dalam dan menjadi saksi setia dari iman kristiani mereka.
f) pentinglah ditekankan perlunya doa untuk persatuan, tidak hanya selama Pekan Doa yang memang dimaksudkan untuk mendoakan persatuan, tetapi juga pada saat-saat lain sepanjang tahun. Tergantung dari situasi tempat dan orang-orang,dan selaras dengan aturan-aturan yang ada mengenai ibadat bersama,maka retret-retret gabungan bersama dengan orang kristen, di bawah bimbingan seorang ahli hidup rohani mungkin dapat dipikirkan.
g) terdapat suatu bidang yang sangat luas di mana dapat diberikan kesaksian bersama dalam karya-karya untuk masyarakat atau karya sosial. Para mahasiswa hendaknya dilatih dan didorong dalam hal ini — tidak hanya mahasiswa Teologi, tapi juga para mahasiswa dari fakultas-fakultas lain, seperti misalnya mahasiswa Hukum, Sosiologi, dan ilmu-ilmu politik. Lewat sumbangan mereka, para mahasiswa ini akan membantu memajukan dan melaksanakan prakarsa-prakarsa semacam ini.
h) para pastor mahasiswa, para penasihat mahasiswa, para dosen hendaknya mempunyai perhatian khusus untuk melaksanakan tugas mereka dengan semangat ekumenis, lebih-lebih dengan mengorganisir beberapa prakarsa yang telah disebutkan di atas. Kewajiban ini menuntut dari mereka suatu pengetahuan yang mendalam mengenai ajaran Gereja, kemampuan yang memadai dalam mata kuliah akademis, mempunyai kebijaksanaan dan sikap yang seimbang. Semua sifat-sifat tadi akan memungkinkan mereka untuk membantu mahasiswa mereka untuk menyeimbangkan hidup iman mereka sendiri dengan keterbukaan kepada orang lain.
Peranan Lembaga-lembaga khusus yang ekumenis
90. Untuk melaksanakan tugas ekumenisnya maka Gereja membutuhkan sejumlah ahli dalam hal ini, baik para rohaniwan, kaum biarawan, para awam baik pria maupun wanita. Hal ini sangat penting, juga di daerah-daerah di mana orang katolik merupakan mayoritas.
a) Dibutuhkan lembaga-lembaga khusus yang dilengkapi dengan:
— suatu dokumentasi yang memadai tentang ekumenisme, lebih-lebih tentang dialog yang ada dan rencana di masa mendatang;
— suatu staf yang disiapkan dengan baik dan dosen-dosen yang mampu, baik mengenai ajaran katolik maupun tentang ekumenisme.
b) Lembaga-lembaga tadi hendaknya mengadakan riset dalam kerja sama ekumenis, sejauh ada kemungkinan, bersama dengan para pakar dari tradisi kristiani lainnya beserta umat mereka. Mereka hendaknya mengorganisir pertemuan-pertemuan ekumenis, seperti misalnya Konferensi dan konggres, dan tetap menjaga hubungan dengan komisi nasional ekumenisme dan Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani. Dengan demikian mereka tetap akan mendapat informasi dan mengetahui apa yang terjadi dalam dialog antar umat kristiani serta dengan kemajuan-kemajuan yang tercapai.
c) Para pakar yang terlatih dengan cara demikian ini akan merupakan tenaga yang siap untuk menjalankan tugas ekumenis guna memajukan gerakan ekumenis dalam Gereja katolik, entah sebagai anggota dan pimpinan pada tingkat keuskupan, nasional atau internasional, atau sebagai tenaga pengajar dalam kuliah tentang ekumenisme di lembaga-lembaga atau pusat-pusat gerejawi, atau sebagai penggerak semangat ekumenis yang sejati dan kegiatan ekumenis di lingkungan mereka sendiri.
91. Pembinaan dalam bidang ajaran dan pengalaman belajar, supaya tidak hanya terbatas pada masa pendidikan, tetapi menuntut pembaharuan terus menerus aggiornamento dari para pelayan tertahbis dan para pekerja pastoral, oleh karena adanya perkembangan terus menerus dalam gerakan ekumenis.
Para Uskup dan para Pemimpin Religius, bila mengorganisir program-program pembaharuan pastoral untuk kaum rohaniwan – lewat pertemuan-pertemuan, Konferensi, retret, rekoleksi atau hari-hari studi mengenai masalah-masalah pastoral – hendaknya memperhatikan pula masalah ekumenisme berdasarkan garis-garis berikut ini:
a) Secara sistematis mengajarkan kepada para imam, kaum religius, para diakon dan kaum awam, situasi gerakan ekumenis pada saat sekarang ini, sehingga mereka dapat memasukkan sudut pandangan ekumenis dalam khotbah mereka, katekese, doa dan kehidupan kristiani pada umumnya. Bila dianggap cocok dan ada kemungkinan, maka baiklah kalau seorang pelayan dari gereja lain diundang untuk menjelaskan tradisi mereka atau berbicara mengenai masalah-masalah pastoral, yang kerap kali sama untuk semua gereja.
b) Bila ada kesempatan, dan dengan persetujuan Uskup diosesan maka para rohaniwan katolik dan mereka yang punya tanggung jawab pastoral dalam keuskupan, dapat ikut ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan antar gerejawi, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan timbal-balik dan mencoba memecahkan masalah pastoral bersama-sama. Untuk memberi bentuk konkret pada prakarsa-prakarsa tadi, maka bergunalah kalau diciptakan dewan atau perkumpulan rohaniwan tingkat lokal atau regional, dan lain-lain atau bergabung dengan perkumpulan semacam ini yang sudah ada.
c) Fakultas-fakultas Teologi dan Lembaga-lembaga pendidikan tinggi, begitu pula Seminari-seminari dan lembaga pendidikan lainnya, dapat ikut memberikan sumbangan pada pembinaan terus menerus tadi, dengan mengadakan kursus bagi mereka yang terlibat dalam karya pastoral, atau dengan menyediakan guru atau memberikan subsidi kepada kuliah-kuliah atau kursus yang diorganisir oleh pihak lain.
d) Juga sangatlah bermanfaat hal-hal berikut ini: informasi yang tepat melalui media gereja setempat dan bila mungkin melalui media umum yang sekuler; tukar menukar informasi dengan media pelayanan milik Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya; suatu hubungan yang tetap dan sistematis dengan komisi ekumenis keuskupan dan nasional yang akan menjamin agar tetap tersedia dokumen yang tepat dan paling mutakhir mengenai perkembangan ekumenis, kepada semua orang katolik yang bekerja dalam bidang ini.
e) Hendaknya digunakan pula sepenuh-penuhnya macam-macam bentuk pertemuan rohani untuk menggali unsur-unsur spiritualitas tadi yang dimiliki secara bersama, maupun yang bersifat khusus. Pertemuan-pertemuan akan merupakan kesempatan khusus untuk merefleksikan mengenai kesatuan dan mendoakan rekonsiliasi dari semua orang kristiani. Keikut sertaan para anggota dari bermacam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi pada pertemuan semacam ini, dapat membantu untuk memupuk pemahaman timbal balik serta tumbuhnya persatuan rohani.
f) Pada akhirnya, diharapkan agar diadakan penilaian mengenai ekumenisme secara berkala.
BAB IV
PERSATUAN DALAM KEHIDUPAN DAN KEGIATAN ROHANI DI ANTARA ORANG-ORANG YANG DIBAPTIS
92. Oleh karena sakramen Baptis maka seseorang sungguh-sungguh dipersatukan dengan Kristus dan Gereja-Nya, dan dilahirkan kembali untuk ikut menghayati hidup ilahi.[103] Maka Baptis merupakan ikatan sakramental kesatuan antara semua orang yang dilahirkan kembali karenanya. Akan tetapi Baptis sendiri baru merupakan awal mula dan titik tolak, sebab seluruhnya tertujukan untuk memperoleh kepenuhan hidup dalam Kristus. Oleh karena itu Baptis terarahkan kepada pengikraran iman yang seutuhnya, kepada integrasi sepenuhnya ke dalam tata keselamatan seperti dimaksudkan oleh Kristus sendiri, akhirnya kepada integrasi seutuhnya ke dalam persekutuan Ekaristi.[104] Diadakan oleh Tuhan sendiri maka Baptis, yang menyebabkan orang menghayati misteri kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, memerlukan pertobatan, iman, pengampunan dosa, serta karunia rahmat.
93. Baptis diberikan dengan menggunakan air dan suatu rumusan yang dengan jelas menunjukkan bahwa Baptis dilakukan atas nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Oleh karena itu penting bagi semua murid Kristus bahwa Baptis diberikan dengan cara demikian ini oleh semua orang dan bahwa macam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi sedapat mungkin akhirnya sampai kepada kesepakatan mengenai makna Baptis dan perayaan Baptis yang sah.
94. Sangatlah dianjurkan agar dialog mengenai makna maupun mengenai perayaan Baptis yang sah, terjadi antara para Pimpinan Katolik dengan para Pimpinan dari Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya, pada tingkat keuskupan atau pada tingkat konferensi Waligereja. Dengan demikian semoga mereka dapat membuat pernyataan bersama, yang mengungkapkan pengakuan timbal balik mengenai Baptis maupun mengenai prosedur-prosedur untuk mempertimbangkan kasus-kasus, di mana mungkin timbul keragu-raguan mengenai sahnya suatu Baptis tertentu.
95. Untuk dapat sampai pada pernyataan persetujuan bersama, butir-butir berikut ini hendaknya selalu diingat:
a) Baptis dengan memasukkan seseorang dalam air, dengan mencurahkan air, disertai dengan rumusan Triniter, pada hakikatnya merupakan Baptis yang sah. Oleh karena itu, jika buku-buku upacara, buku-buku liturgi atau adat kebiasaan suatu Gereja atau Jemaat gerejawi, memerintahkan salah satu dari kedua bentuk Baptis tadi, maka dianggap sah sebagai sakramen, kecuali kalau ada alasan-alasan yang berat untuk meragu-ragukan apakah pelayan sakramen sungguh-sungguh telah melaksanakan aturan-aturan Jemaatnya atau Gerejanya.
b) Iman dari pelayan sakramen yang tidak cukup mengenai Baptis, tidak pernah menyebabkan Baptis tadi tidak sah. Niat yang cukup dari pelayan yang membaptis haruslah diandaikan ada, kecuali ada alasan yang kuat untuk meragukan apakah pelayan tadi bermaksud untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Gereja.
c) Bila timbul keragu-raguan apakah digunakan air atau bagaimanakah air tadi digunakan,[105] maka penghormatan terhadap sakramen dan sikap menghargai Jemaat-jemaat gerejawi tadi, menuntut agar diadakan penyelidikan yang serius mengenai praktik dari Jemaat yang bersangkutan, sebelum diambil keputusan mengenai sahnya Baptis mereka.
96. Sesuai dengan keadaan setempat dan bila ada kesempatan, orang-orang Katolik, bersama dengan orang-orang kristen lainnya, dalam perayaan bersama boleh memperingati Baptis yang mempersatukan mereka, dengan memperbaharui kesediaan untuk melaksanakan hidup kristiani yang sepenuh-penuhnya, yang telah mereka lakukan pada saat mereka mengucapkan janji-janji Baptis mereka. Dan juga dengan berjanji untuk bekerja sama dengan rahmat Roh Kudus, dalam mencoba menyembuhkan perpecahan-perpecahan yang ada di antara orang-orang kristiani.
97. Dengan Baptis seorang manusia dipersatukan dengan Kristus dan Gereja-Nya, tapi ini secara praktis hanya terjadi dalam suatu Gereja tertentu atau suatu Jemaat gerejawi tertentu. Oleh karena itu maka Baptis tidak boleh diberikan bersama-sama oleh dua pelayan yang menjadi anggota Gereja atau Jemaat gerejawi yang berbeda. Lagipula, sesuai dengan tradisi liturgi katolik dan tradisi teologis katolik, Baptis dilakukan hanya oleh seorang pelayan saja. Oleh karena alasan-alasan pastoral, dalam keadaan-keadaan khusus Ordinaris wilayah kadang-kadang dapat memberikan izin seorang pelayan dari Gereja atau Jemaat gerejawi lainnya ikut ambil bagian dalam perayaan dengan membacakan suatu bacaan, mempersembahkan doa, dan lain-lain. Demikian pula sebaliknya, bila Baptis yang dirayakan dalam Jemaat lainnya, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip katolik atau tata tertibnya.[106]
98. Dalam pemahaman Gereja Katolik, maka Wali baptis, dalam arti kanonis dan liturgis, hendaknya juga menjadi anggota Gereja atau Jemaat gerejawi di mana Baptis itu dirayakan. Para Wali baptis tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan kristiani kepada orang yang dibaptis (atau diteguhkan) sebagai seorang saudara atau seorang teman; mereka juga adalah wakil dari suatu persekutuan iman, yang menjadi penjamin dari iman calon baptis dan menjamin keinginannya untuk bersatu dalam gereja.
a) Namun berdasarkan Baptis yang sama dan karena hubungan darah atau ikatan persahabatan, seseorang yang sudah dibaptis dalam Jemaat gerejawi lainnya, dapat diterima sebagai seorang saksi dalam Baptis, tetapi hanya bersama dengan seorang wali baptis yang katolik.[107] Seorang katolik boleh berbuat yang sama kepada seseorang yang dibaptis dalam Jemaat gerejawi lainnya.
b) Oleh karena persatuan yang erat antara Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Ortodoks Timur, maka berdasarkan suatu alasan yang layak seorang beriman dari Gereja Timur boleh bertindak sebagai wali baptis, bersama dengan seorang wali baptis katolik, pada Baptis seorang anak katolik atau seorang dewasa, sejauh dijamin pendidikan katolik dari orang yang dibaptis, dan juga jelas bahwa wali baptis tadi memang seseorang yang layak.
Seorang katolik tidak dilarang untuk menjadi wali baptis dalam Gereja Ortodoks Timur, jika dia diundang. Dalam kasus demikian maka kewajiban untuk memperhatikan pendidikan kristiani terutama menjadi tugas wali baptis yang termasuk dalam Gereja di mana anak tadi dibaptis.[108]
99. Setiap orang kristiani, berdasarkan alasan-alasan keagamaan yang disadari sepenuhnya, mempunyai hak untuk dengan bebas memutuskan masuk dalam persekutuan penuh dalam Gereja Katolik.[109] Karya untuk menyiapkan penerimaan seorang individu yang ingin diterima dalam persatuan penuh dengan Gereja katolik pada hakikatnya berbeda dengan kegiatan ekumenis.[110] Upacara Inisiasi Kristiani Orang-orang Dewasa menyediakan suatu rumusan untuk menerima orang-orang semacam ini dalam persekutuan Katolik yang penuh. Namun dalam kasus-kasus semacam ini, seperti halnya dalam kasus perkawinan campur atau beda gereja, pimpinan gereja katolik mungkin menganggap perlu diselidiki apakah Baptis yang telah mereka terima dirayakan dengan sah. Rekomendasi berikut ini hendaknya diperhatikan dalam melaksanakan penyelidikan ini.
a) Tak ada keraguan lagi mengenai sahnya Baptis yang diberikan dalam macam-macam Gereja Timur. Cukuplah untuk memastikan fakta bahwa Baptis telah dilakukan. Dalam Gereja-gereja tadi sakramen Krisma dengan secara semestinya dilayani oleh imam pada saat yang sama dengan saat Baptis. Kerap kali terjadi tidak disebutkan mengenai telah diterimanya Krisma dalam kesaksian kanonis Baptis. Hal ini bukanlah merupakan alasan untuk meragukan bahwa sakramen Krisma telah diberikan juga.
b) Dalam hubungan dengan orang-orang kristen yang berasal dari Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya, sebelum mempertimbangkan tentang sahnya Baptis seorang individu kristen, hendaknya dicari kepastian apakah telah diadakan kesepakatan mengenai Baptis (seperti yang disebutkan di atas pada nomor 94) yang dilakukan oleh Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi dari wilayah atau tempat yang terkait dan apakah memang benar telah dilakukan Baptis sesuai dengan kesepakatan tadi. Namun hendaknya dicatat bahwa tidak adanya kesepakatan formal mengenai Baptis, tidak secara otomatis lalu menyebabkan timbulnya keraguan mengenai sahnya Baptis yang telah diberikan.
c) Bila menyangkut orang-orang kristen, yang telah mendapat kesaksian resmi dari gereja mereka, maka tidak alasan lagi untuk meragukan sahnya Baptis yang diberikan dalam Gereja atau Jemaat mereka, kecuali dalam kasus khusus, berdasarkan suatu pemeriksaan jelas menunjukkan adanya suatu keragu-raguan yang berat mengenai salah satu hal berikut ini: soal materia dan forma serta kata-kata yang digunakan pada saat memberikan Baptis, niat dari seorang yang baptis dewasa atau niat dari pelayan yang memberikan Baptis.[111]
d) Bila setelah diadakan penyelidikan secara saksama, timbul keragu-raguan yang serius tentang telah dilakukannya Baptis secara semestinya dan dinilai perlu diberikan Baptis secara bersyarat, maka pelayan Katolik hendaknya memperlihatkan sikap yang tepat mengenai ajaran bahwa Baptis hanya boleh diberikan dengan memberikan penjelasan kepada orang yang bersangkutan, mengapakah dalam kasus ini ia memberikan Baptis secara bersyarat dan apakah artinya upacara Baptis bersyarat. Upacara Baptis bersyarat tadi harus dilaksanakan secara pribadi dan tidak di depan umum.[112]
e) Sangatlah diharapkan bahwa Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja mengeluarkan pedoman untuk menerima dalam persekutuan penuh orang-orang kristen yang telah dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja-gereja dan Jemaat gerejawi lainnya. Haruslah pula diperhitungkan kenyataan bahwa mereka bukanlah katekumen dan juga tingkat pengetahuan dan praktik iman kristiani yang mungkin telah mereka punyai.
100. Menurut Upacara Inisiasi Kristiani Orang-orang Dewasa, mereka yang mengikuti Kristus untuk pertama kalinya biasanya dibaptis pada Malam Paskah. Bila perayaan upacara tadi mencakup juga penerimaan ke dalam persatuan yang penuh dari mereka yang telah dibaptis, hendaklah dengan jelas dibedakan antara orang-orang ini dengan mereka yang belum dibaptis.
101. Dalam keadaan sekarang ini, dalam hubungan kita dengan Jemaat-jemaat yang berasal dari Reformasi abad ke 16, kita belum mencapai kesepakatan mengenai arti atau hakikat sakramental dari pelayanan sakramen Krisma. Oleh karena itu dalam situasi seperti sekarang ini, orang-orang yang ingin masuk dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, yang berasal dari salah satu dari Jemaat tadi, haruslah menerima sakramen Krisma menurut ajaran dan upacara Gereja katolik sebelum diperbolehkan menerima komuni Ekaristi.
B. SALING MEMBAGIKAN (SHARING) KEGIATAN-KEGIATAN ROHANI DAN SUMBER-SUMBER ROHANI
102. Orang-orang kristen boleh didorong untuk saling membagikan kegiatan-kegiatan rohani dan sumber-sumber rohani, yaitu ikut ambil bagian dalam warisan rohani yang mereka miliki bersama dengan cara dan sesuai dengan keadaan mereka sekarang ini yang terpisah.[113]
103. Istilah “saling membagikan kegiatan-kegiatan rohani dan sumber-sumber rohani” mencakup hal-hal seperti misalnya doa yang dipersembahkan secara bersama, ikut ambil bagian dalam ibadat liturgi dalam arti sempit, seperti yang dilukiskan pada nomor 116 di bawah, begitu pula secara bersama menggunakan tempat-tempat suci dan semua barang yang penting.
104. Prinsip-prinsip yang hendaknya digunakan dalam sharing kehidupan rohani ialah sebagai berikut :
a) Meskipun ada kesulitan-kesulitan serius, yang menghambat persatuan gerejawi yang penuh, namun jelaslah bahwa mereka semua yang dibaptis disaturagakan dalam Kristus, memiliki banyak unsur kehidupan kristiani. Maka ada persatuan yang riil, meskipun tidak sempurna, di antara orang-orang kristiani yang dapat diungkapkan dengan banyak cara, termasuk ikut ambil bagian dalam doa dan ibadat liturgis,[114] seperti yang akan ditunjukkan dalam paragraf berikut ini.
b) Menurut iman Katolik, Gereja Katolik telah diberi seluruh kebenaran yang diwahyukan dan semua sarana keselamatan sebagai suatu karunia yang tidak dapat hilang.[115] Meskipun demikian di antara unsur-unsur dan karunia-karunia yang menjadi milik Gereja katolik (misalnya: Sabda Allah yang tertulis, kehidupan rahmat, iman, pengharapan dan kasih, dan lain-lain) mungkin terdapat di luar batas-batasnya yang kelihatan. Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat yang tidak dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik tidak kehilangan makna dan nilai dalam misteri keselamatan, karena Roh Kristus tetap menggunakan mereka sebagai sarana keselamatan.[116] Menurut jalan yang beraneka macam, sesuai dengan keadaan masing-masing Gereja dan Jemaat, upacara-upacara mereka dapat memupuk hidup rahmat dalam anggota-anggota mereka yang mengikuti upacara tadi dan menyebabkan mereka masuk dalam persatuan yang menyelamatkan.[117]
c) Saling membagikan kegiatan-kegiatan rohani dan sumber-sumber rohani oleh karenanya haruslah mencerminkan kenyataan ganda ini:
— persatuan riil dalam kehidupan Roh yang sudah ada di antara orang-orang kristen dan diungkapkan dalam doa mereka dan ibadat liturgi;
— sifat dari persatuan ini yang tidak lengkap, karena adanya perbedaan iman dan pemahaman, sehingga tidak dapat saling membagikan kekayaan rohani dengan bebas, tanpa hambatan.
d) Kesetiaan pada kenyataan yang kompleks ini menyebabkan perlunya menetapkan norma-norma dalam sharing rohani, yang memperhitungkan situasi gerejawi yang bermacam-macam dari Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat yang terlibat, sehingga walaupun orang-orang Kristiani menghargai dan bersuka cita karena kekayaan rohani yang mereka miliki bersama, tetapi mereka juga menjadi lebih sadar pentingnya mengatasi perpecahan-perpecahan yang masih ada.
e) Oleh karena Konselebrasi (merayakan bersama) Ekaristi merupakan suatu perwujudan yang kelihatan dari persatuan penuh dalam iman, ibadat dan hidup menjemaat dalam Gereja Katolik, yang diungkapkan oleh para pelayan dari Gereja tersebut, maka tak diperbolehkan mengadakan konselebrasi ekaristi bersama dengan para pelayan dari Gereja-gereja dan Jemaat lainnya.[118]
105. Hendaknya ada “timbal-balik” tertentu karena sharing dalam kegiatan dan sumber-sumber rohani, meskipun secara terbatas, merupakan suatu sumbangan bagi pertumbuhan kerukunan di antara orang-orang kristiani, dalam semangat kasih dan kehendak baik yang datang dari kedua belah pihak.
106. Dianjurkan agar konsultasi mengenai sharing tadi terjadi antara Pimpinan Katolik dan Pimpinan Jemaat-jemaat lainnya, untuk mencari kemungkinan-kemungkinan mengadakan pendekatan yang sesuai dengan hukum, selaras dengan ajaran dan semua tradisi dari macam-macam Jemaat.
107. Orang-orang katolik haruslah secara tulus menghormati tata tertib liturgi dan sakramen dari Gereja-gereja dan Jemaat lain, dan merekapun pada gilirannya juga diminta untuk menunjukkan penghormatan yang sama pada tata tertib Katolik. Salah satu tujuan dari konsultasi, yang disebutkan di atas tadi ialah semoga ada pemahaman timbal-balik yang semakin besar terhadap tata tertib pihak lain, dan bahkan ada kesepakatan mengenai bagaimanakah caranya mengatur suatu keadaan bila tata tertib dari suatu Gereja dipertanyakan atau bertentangan dengan tata tertib dari Gereja lain.
108. Bila dianggap cocok, orang-orang katolik, sesuai dengan norma-norma Gereja, hendaknya didorong untuk bergabung dalam doa bersama dengan orang-orang kristen dari Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat lainnya. Doa-doa bersama semacam ini tentulah merupakan salah satu sarana yang sangat efektif untuk memohon rahmat persatuan, dan merupakan suatu ungkapan yang tulus dari ikatan yang masih mengikat orang-orang katolik dengan orang-orang kristen yang lain tadi.[119] Doa bersama merupakan pada hakikatnya merupakan salah satu jalan menuju ke rekonsiliasi rohani.
109. Doa bersama dianjurkan bagi orang-orang katolik dan orang-orang kristen lainnya, sehingga bersama-sama mereka dapat meletakkan di muka Tuhan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang mereka miliki bersama, misalnya: perdamaian, keprihatinan sosial, saling mengasihi di antara umat manusia, martabat keluarga, akibat kemiskinan, kelaparan dan kekerasan, dan lain-lain. Hal yang sama juga dapat dikatakan mengenai kesempatan-kesempatan bila suatu bangsa, suatu wilayah atau suatu masyarakat, sesuai dengan keadaan, ingin mengadakan ucapan syukur bersama atau ingin memohon kepada Tuhan, seperti misalnya pada hari libur nasional, pada saat ada bencana nasional atau kemalangan yang menimpa banyak orang, pada hari yang dikhususkan untuk mengenangkan mereka yang telah meninggal demi tanah air mereka. Doa semacam ini juga dianjurkan bila orang-orang kristen mengadakan pertemuan untuk mengadakan studi atau melakukan kegiatan bersama.
110. Namun sharing dalam hal doa, hendaknya secara khusus dikaitkan dengan pemulihan persatuan kristiani. Doa semacam ini dapat berpusat, misalnya pada misteri Gereja dan kesatuannya, pada Baptis sebagai pengikat sakramental dari kesatuan, pada pembaharuan hidup pribadi maupun bersama sebagai suatu sarana yang penting untuk mendapatkan kesatuan. Doa yang punya corak semacam ini sangat dianjurkan selama “Pekan Doa Sedunia” untuk bersatunya umat kristiani atau dalam periode antara pesta Kenaikan dan Pentekosta.
111. Wakil-wakil dari Gereja-gereja, Jemaat-jemaat gerejawi lainnya dan kelompok-kelompok lain yang terkait, hendaknya bekerja sama dan menyiapkan bersama doa semacam ini. Mereka hendaknya memutuskan di antara mereka sendiri cara, di mana setiap kelompok bisa ikut ambil bagian, memilih tema-tema dan bacaan Kitab Suci, nyanyian dan doa-doa.
a) Dalam kebaktian semacam ini ada kelonggaran untuk memilih bacaan apa pun, doa dan nyanyian yang menampakkan iman atau hidup rohani yang dimiliki oleh semua orang kristiani. Juga ada kesempatan untuk memberikan dorongan, khotbah atau renungan alkitabiah yang berasal dari warisan kristiani yang sama dan dapat memajukan kehendak baik dari kedua belah pihak serta kesatuan.
b) Hendaknya diperhatikan agar terjemahan Kitab Suci yang digunakan dapat diterima oleh semua pihak dan terjemahan yang setia pada teks asli.
c) Diharapkan bahwa struktur dari perayaan-perayaan tadi hendaknya memperhitungkan pola doa jemaat yang bermacam-macam, selaras dengan pembaharuan liturgi di banyak Gereja dan Jemaat gerejawi, dengan secara khusus memperhatikan warisan yang sama berupa nyanyian, teks-teks yang diambil dari bacaan-bacaan dan doa-doa liturgis.
d) Bila kebaktian diadakan antara umat katolik dan orang-orang dari Gereja Timur, secara khusus hendaknya diperhatikan tata tertib liturgi dari masing-masing Gereja, sesuai dengan yang termuat dalam nomor 115 di bawah.
112. Meskipun gedung gereja adalah suatu tempat yang biasa dipakai oleh suatu jemaat untuk merayakan liturginya sendiri, kebaktian-kebaktian yang disebutkan di atas, dapat dirayakan di dalam gedung gereja salah satu Jemaat yang bersangkutan, bila hal ini dapat diterima oleh semua peserta. Tempat manapun saja yang akan dipergunakan hendaknya disetujui oleh semua pihak, serta dipersiapkan dengan semestinya dan mendorong ke arah devosi.
113. Bila sudah ada persetujuan di antara semua peserta, maka mereka yang bertugas dalam upacara dapat menggunakan pakaian yang sesuai dengan kedudukan mereka dalam gereja dan sesuai dengan hakikat dari perayaan.
114. Di bawah bimbingan mereka yang telah mempunyai pendidikan yang semestinya dan berpengalaman, maka sangatlah berguna bila dalam keadaan tertentu diselenggarakan sharing rohani berupa rekoleksi, latihan-latihan rohani (retret), kelompok studi dan tukar pengalaman mengenai tradisi spiritualitas, dan perkumpulan-perkumpulan yang lebih tetap untuk menggali secara lebih mendalam hidup rohani bersama. Haruslah selalu tetap diperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang telah dikatakan mengenai kesadaran adanya perbedan yang reel dalam hal ajaran (doktrin), begitu pula perbedaan dengan Gereaja katolik dalam hal ajaran dan tata-tertib mengenai penerimaan sakramen.
115. Karena perayaan Ekaristi pada Hari Minggu merupakan dasar dan pusat dari seluruh tahun liturgi,[120] maka-mereka yang berasal dari Gereja-gereja Timur menurut Hukum mereka[121] orang-orang katolik wajib menghadiri perayaan Misa pada hari itu dan pada hari-hari yang diwajibkan.[122] Oleh karena itu dianjurkan untuk tidak mengadakan kebaktian ekumenis pada hari Minggu, dan juga harus diingat bahwa pun bila orang katolik ikut ambil bagian dalam kebaktian ekumenis atau kebaktian yang diadakan dalam Gereja dan Jemaat lain, mereka tetap mempunyai kewajiban untuk ikut merayakan Misa pada hari itu.
Saling berbagi dalam Ibadat liturgis yang bukan sakramen
116. Yang dimaksud dengan Ibadat liturgis ialah ibadat yang dilaksanakan menurut buku-buku, perintah-perintah dan kebiasaan suatu Gereja atau Jemaat gerejawi, yang dipimpin oleh seorang pelayan atau wakil dari Gereja atau Jemaat tadi. Ibadat liturgis mungkin bersifat bukan sakramental, atau mungkin merupakan perayaan dari satu atau beberapa sakramen. Yang dibicarakan di sini ialah ibadat yang bukan sakramental.
117. Dalam beberapa situasi,doa resmi suatu Gereja mungkin lebih disukai daripada ibadat ekumenis yang secara khusus dipersiapkan. Keikut sertaan dalam perayaan seperti misalnya Doa Pagi atau Sore, doa menjelang dirayakannya suatu pesta dan lain-lain, akan memungkinkan orang-orang dari macam-macam tradisi-Katolik, Gereja Timur, Anglikan dan Protestan-saling memahami dengan lebih baik doa jemaat lain dan bertukar pengalaman secara lebih mendalam di dalam tradisi-tradisi, yang kerap kali telah berkembang dari akar yang sama.
118. Dalam perayaan liturgis yang terjadi di Gereja-gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya, orang-orang katolik dianjurkan untuk ikut ambil bagian dalam masmur, jawaban-jawaban, nyanyian dan kegiatan bersama dari Gereja yang mengundang mereka. Jika diajak oleh tuan rumah, mereka dapat membaca bacaan atau berkhotbah.
119. Adapun mengenai bantuan dalam ibadat liturgis semacam ini, hendaknya dengan sangat hati-hati diperhatikan perasaan dari klerus dan umat dari Jemaat kristiani yang bersangkutan, demikian pula adat istiadat setempat yang mungkin berbeda sesuai dengan zaman, tempat, pribadi-pribadi dan keadaan. Dalam suatu perayaan liturgi katolik, para pelayan dari Gereja-gereja dan Jemaat gerejawi lainnya dapat diberi tempat dan penghormatan liturgis yang sesuai dengan kedudukan dan peranan mereka, bila hal ini dinilai diinginkan oleh mereka. Rohaniwan katolik yang diundang untuk hadir dalam suatu perayaan dari Gereja lain atau Jemaat lain, dapat mengenakan pakaian atau tanda-tanda yang sesuai dengan jabatan gerejawi mereka, bila hal ini berkenan pada tuan rumah.
120. Berdasarkan penilaian yang bijaksana dari Ordinaris setempat, upacara penguburan Gereja Katolik juga dapat diberikan kepada para anggota dari suatu Gereja bukan katolik atau Jemaat gerejawi, bila jelas bahwa hal itu tidak bertentangan dengan keinginan mereka, dan asalkan pelayan mereka sendiri tidak dapat hadir,[123] dan bahwa ketentuan-ketentuan dari Kitab Hukum Kanonik tidak melarangnya.[124]
121. Berkat-berkat yang biasa diberikan untuk kepentingan orang katolik, dapat juga diberikan pada orang-orang kristen lainnya yang memintanya, sesuai dengan hakikat dan tujuan dari berkat itu. Doa umum untuk orang kristen lain, yang hidup atau mati,dan untuk kebutuhan dan ujud dari Gereja-gereja atau Jemaat-jemaat gerejawi lainnya serta para pemimpin rohani mereka, dapat dipersembahkan selama litani dan doa-doa lain dalam ibadat liturgis, tetapi bukan dalam Anaphora Ekaristi. Tradisi liturgis kristen yang kuno dan tradisi gerejawi mengizinkan bahwa dalam Anaphora Ekaristi hanya boleh disebutkan secara khusus nama-nama orang-orang yang dalam persatuan penuh dengan Gereja yang sedang merayakan Ekaristi.
Saling berbagi dalam Hidup sakramental, lebih-lebih Ekaristi.
a) Saling berbagi dalam hidup sakramental dengan para anggota dari macam-macam Gereja Timur
122.Di antara Gereja katolik dan Gereja-gereja Timur yang tidak dalam persatuan penuh dengannya, masih ada suatu kesatuan yang sangat erat dalam hal iman.[125] Di samping itu “melalui perayaan Ekaristi Tuhan di masing-masing Gereja itu, Gereja Allah dibangun dan berkembang” dan “sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan pergantian apostolik, Imamat dan Ekaristi…”.[126] Ini memberikan dasar sakramental dan sosiologis, sesuai dengan pemahaman Gereja katolik, untuk mengizinkan bahkan mendorong keikut sertaan dalam ibadat liturgis, bahkan juga dalam Ekaristi, dari Gereja-Gereja tadi, “bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan Pimpinan gerejawi.”[127] Namun haruslah diakui bahwa Gereja-Gereja Timur, berdasarkan pemahaman mereka mengenai eklesiologi, mungkin mempunyai tata tertib yang lebih keras dalam hal ini, yang harus dihormati oleh pihak lain. Para gembala hendaknya dengan bijaksana mengajar umat mereka sehingga mereka dengan jelas mengetahui alasan yang tepat mengenai kebersamaan dalam ibadat liturgi dan macam-macam tata tertib yang mungkin ada sehubungan dengan hal ini.
123. Bila ada keperluan atau sungguh-sungguh menguntungkan secara rohaniah, dan asalkan bisa dihindarkan bahaya timbulnya sikap indifferentisme, maka hukum memperbolehkan seorang katolik yang secara jasmaniah atau secara moral tidak dapat menghubungi seorang pelayan katolik, untuk menerima sakramen Pengakuan dosa, Ekaristi dan Sakramen Pengurapan orang sakit dari seorang pelayan dari salah satu Gereja Timur.[128]
124. Oleh karena kebiasaan yang berbeda antara orang Katolik dengan orang-orang Kristen Timur dalam hal frekuensi menyambut komuni, pengakuan dosa sebelum komuni dan puasa sebelum menerima Ekaristi, maka haruslah berhati-hati untuk menghindari batu sandungan dan kecurigaan di antara orang-orang Kristen Timur karena orang-orang katolik tidak mengikuti kebiasaan Gereja Timur. Seorang katolik yang secara sah ingin ikut merayakan ibadat bersama dengan orang-orang kristen dari Gereja Timur haruslah sedapat mungkin menghormati tata tertib Gereja Timur dan tidak ikut menerima komuni bila Gereja tersebut membatasi penerimaaan komuni secara sakramental hanya untuk anggota mereka saja dan tidak memperbolehkan orang lain yang bukan anggota mereka untuk menerima komuni.
125. Para pelayan katolik secara sah boleh menerimakan sakramen Pengakuan dosa, Ekaristi dan Pengurapan Orang Sakit kepada para anggota Gereja-Gereja Timur, yang meminta sakramen-sakramen tadi atas kehendak mereka sendiri dan memang layak untuk menerimanya.
Dalam kasus khusus ini hendaknya juga diperhatikan tata tertib Gereja-Gereja Timur untuk umat mereka dan hendaknya dihindarkan kecenderungan yang mengarah ke proselitisme.[129]
126. Orang-orang katolik boleh membacakan bacaan-bacaan pada upacara liturgis sakramental dalam Gereja-Gereja Timur, bila mereka diminta untuk melakukannya. Seorang kristen dari Gereja Timur boleh diundang untuk membacakan bacaan-bacaan pada kebaktian yang serupa dalam gereja-gereja katolik.
127. Seorang pelayan katolik boleh hadir dan ikut ambil bagian dalam perayaan suatu perkawinan yang dirayakan antara dua orang kristen dari Gereja Timur atau antara seorang katolik dengan seseorang dari Gereja Timur, bila dia diundang untuk melakukannya oleh pihak yang berwenang dalam Gereja Timur dan bila hal itu dilakukan sesuai dengan norma-norma mengenai kawin campur, yang diberikan di bawah ini, bila memang cocok.
128. Seorang warga Gereja Timur boleh bertindak sebagai pendamping dalam suatu perkawinan di dalam suatu Gereja katolik; seorang katolik juga dapat menjadi pendamping dalam suatu perkawinan yang dirayakan dalam Gereja Timur. Dalam semua kasus ini praktik tadi haruslah sesuai dengan tata tertib umum dari kedua Gereja mengenai tuntutan-tuntutan untuk ambil bagian dalam perkawinan semacam itu.
b) Saling berbagi kehidupan sakramental dengan orang-orang kristen dari Gereja-Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya
129. Suatu sakramen adalah suatu tindakan dari Kristus dan Gereja melalui Roh Kudus.[130] Perayaan sakramen dalam suatu jemaat konkret merupakan tanda dari kesatuannya dalam iman, ibadat dan hidup menjemaat. Selain sebagai tanda, sakramen-sakramen, lebih-lebih Ekaristi, merupakan sumber persatuan jemaat kristiani dan kehidupan rohani, dan sarana untuk membangunnya. Dengan demikian komuni Ekaristi secara tak terpisahkan erat berhubungan dengan persatuan penuh secara gerejawi dan ungkapnnya yang kelihatan.
Pada saat yang sama, Gereja katolik mengajarkan bahwa dengan Baptis maka para anggota Gereja dan Jemaat lainnya dipersatukan secara riil, meskipun tidak sempurna, dengan Gereja Katolik,[131] dan bahwa “Baptis, yang merupakan ikatan sakramental kesatuan antara semua orang yang dilahirkan kembali karenanya … seluruhnya tertuju untuk memperoleh kepenuhan hidup dalam Kristus.”[132] Bagi orang yang sudah dibaptis, Ekaristi merupakan makanan rohani yang memungkinkan mereka mengatasi dosa dan menghayati hidup Kristus sendiri, untuk semakin mendalam disatu ragakan dengan Dia dan dengan lebih intensif ambil bagian dalam seluruh tata keselamatan Misteri Kristus.
Berdasarkan pada dua prinsip pokok tadi, yang harus selalu diperhitungkan bersama-sama, maka pada umumnya Gereja katolik mengizinkan penerimaan Komuni ekaristi, sakramen Pengakuan dosa dan Pengurapan orang sakit, hanya diberikan untuk mereka yang ambil bagian dalam kesatuan iman, ibadat dan hidup gerejawi.[133] Berdasarkan alasan yang sama, Gereja katolik juga mengakui bahwa dalam keadaan tertentu, sebagai pengecualian, dan berdasarkan syarat-syarat tertentu, orang-orang kristen dari Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya boleh menerima sakramen-sakramen tadi, atau malahan dianjurkan untuk menerimanya.[134]
130. Dalam bahaya maut, para pelayan katolik boleh melayani sakramen-sakramen tadi bila syarat-syarat yang diberikan di bawah ini terpenuhi (no. 131). Dalam kasus-kasus lainnya, sangatlah dianjurkan bahwa Uskup diosesan, dengan memperhitungkan norma-norma yang mungkin telah ditetapkan mengenai hal ini oleh Konferensi Waligereja atau oleh Sinode Gereja-Gereja Timur katolik, menetapkan norma-norma umum untuk menilai keadaan gawat dan kebutuhan yang mendesak serta untuk memeriksa keadaan yang disebutkan di bawah ini (no 131).[135] Sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik,[136] norma-norma tadi hendaknya ditetapkan, hanya sesudah berkonsultasi sekurang-kurangnya dengan pimpinan setempat dari Gereja atau Jemaat gerejawi lainnya. Para pelayan katolik akan menilai kasus-kasus pribadi dan melayani sakramen hanya bila sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan, bila norma-norma tadi sudah ada. Jika norma tadi belum ada maka hendaknya mereka menilai menurut norma-norma dari Pedoman ini.
131. Syarat-syarat di mana seorang pelayan katolik boleh melayani sakramen Ekaristi, Pengakuan dosa dan Pengurapan orang sakit, kepada seorang yang telah dibaptis, yang mungkin dalam situasi seperti yang disebutkan di atas (no 130), adalah bahwa orang yang tidak dapat menerima sakramen yang diinginkannya dari seorang pelayan yang berasal dari Gereja atau Jemaatnya, meminta sakramen tersebut atas kehendaknya sendiri,menyatakan iman Katoliknya terhadap sakramen tadi dan juga memang layak untuk menerimanya.[137]
132. Berdasarkan ajaran katolik mengenai sakramen-sakramen dan sahnya sakramen-sakramen, seorang katolik yang menemukan dirinya dalam keadaan yang disebutkan di atas (no 130 dan 131) dapat minta sakramen-sakramen ini hanya dari seorang pelayan, yang gerejanya mengakui bahwa sakramen-sakramen tadi sah, atau dari seseorang yang diketahui secara sah ditahbiskan sesuai dengan ajaran katolik mengenai tahbisan.
133. Bacaan Kitab Suci dalam suatu perayaan Ekaristi dalam Gereja katolik haruslah dilakukan oleh para anggota dari gereja tersebut. Hanyalah pada kesempatan-kesempatan khusus dan dengan alasan yang tepat, Uskup dari Keuskupan yang bersangkutan dapat mengizinkan seorang anggota dari Gereja lain atau Jemaat lain untuk menjalankan tugas sebagai seorang pembaca.
134. Di dalam liturgi Ekaristi katolik, maka homili atau khotbah yang merupakan bagian dari liturgi itu sendiri, dikhususkan untuk imam atau diakon, karena hal ini menyangkut penyampaian misteri iman dan norma-norma orang kristiani yang hidup sesuai dengan ajaran dan tradisi katolik.[138]
135. Untuk pembacaan Kitab Suci dan khotbah, dalam perayaan lain, selain Ekaristi, norma-norma yang diberikan di atas (no 118) haruslah diterapkan.
136. Para anggota dari Gereja atau Jemaat lain, boleh menjadi saksi dalam perayaan perkawinan di suatu gereja katolik. Orang-orang katolik juga boleh menjadi saksi dalam perkawinan yang dirayakan dalam dalam Gereja-Gereja atau Jemaat lainnya.
Saling berbagi sumber-sumber lainnya untuk kehidupan dan kegiatan rohani
137. Gereja-gereja katolik merupakan gedung-gedung yang dikuduskan atau diberkati, yang mempunyai arti teologis dan liturgis yang penting untuk jemaat katolik. Oleh karenanya gedung-gedung pada umumnya hanya khusus digunakan untuk ibadat katolik saja. Namun bila para imam, para pelayan atau jemaat-jemaat yang tidak dalam persatuan penuh dengan Gereja katolik tidak punya suatu tempat atau barang-barang liturgis yang penting untuk dapat merayakan upacara-upacara keagamaan mereka dengan selayaknya, maka Uskup diosesan dapat mengizinkan mereka untuk menggunakan suatu gereja atau suatu bangunan katolik dan juga meminjamkan kepada mereka apa yang mungkin perlu untuk ibadat mereka. Atas dasar keadaan serupa, juga dapat diberikan izin kepada mereka untuk mengadakan upacara penguburan atau merayakan kebaktian pada kuburan-kuburan katolik.
138. Karena perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, pertumbuhan penduduk yang cepat dan urbanisasi dan karena alasan-alasan keuangan, di mana ada hubungan ekumenis yang baik dan saling pengertian antara jemaat-jemaat, pemilikan bersama atau menggunakan bersama-sama suatu gedung gereja untuk suatu jangka waktu tertentu, mungkin dapat merupakan suatu hal yang praktis.
139. Bila diberikan kewenangan untuk memiliki atau diberikan izin untuk mempergunakan secara demikian tadi oleh Uskup diosesan, menurut norma-norma yang mungkin ditetapkan oleh Konferensi Waligereja atau Takhta Suci, hendaknya secara bijaksana dipertimbangkan mengenai penyimpanan Sakramen Mahakudus, sehingga persoalan ini dipecahkan berdasarkan suatu teologi sakramental yang sehat dengan memberikan penghormatan yang sewajarnya, namun juga memperhitungkan perasaan dari mereka yang akan menggunakan gedung tadi, misalnya dengan membangun suatu ruangan terpisah atau suatu kapel.
140. Sebelum membuat rencana untuk menggunakan gedung bersama-sama, para pimpinan dari jemaat-jemaat yang bersangkutan, hendaknya pertama-tama mencapai kesepakatan mengenai bagaimanakah tata tertib mereka yang begitu berbeda-beda akan diperhatikan, lebih-lebih yang menyangkut sakramen-sakramen. Di samping itu hendaknya diadakan suatu kesepakatan tertulis yang dengan jelas dan dengan memadai akan memperhatikan semua persoalan yang mungkin akan muncul,yang berkaitan dengan soal keuangan serta kewajiban-kewajiban yang berasal dari Gereja dan hukum sipil.
141. Di sekolah-sekolah katolik dan lembaga-lembaga katolik, hendaknya diusahakan dengan segala macam cara agar dihormati iman dan hati nurani para siswa dan para guru, yang termasuk dalam Gereja atau Jemaat lainnya. Sesuai dengan statuta mereka yang telah disahkan, para pemimpin sekolah dan lembaga-lembaga ini hendaknya memperhatikan agar rohaniwan dari Jemaat-jemaat lain juga mempunyai kemudahan untuk memberikan pelayanan rohani dan sakramental kepada umat mereka sendiri, yang menghadiri sekolah atau lembaga-lembaga semacam ini. Sejauh keadaan memungkinkan, dengan izin Uskup diosesan kemudahan-kemudahan tadi dapat diberikan pada bangunan-bangunan katolik, termasuk gereja atau kapel.
142. Di rumah sakit-rumah sakit, rumah-rumah untuk orang tua dan lembaga-lembaga serupa yang dipimpin oleh orang-orang katolik, pihak-pihak yang berwenang hendaknya pada waktunya memberitahukan kepada para imam dan pelayan dari Jemaat-jemaat lainnya mengenai keberadaan umat mereka dan memberikan kemudahan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang tadi dan memberikan pelayanan rohani dan sakramental, dalam keadaan yang layak dan terhormat, termasuk juga untuk menggunakan kapel.
143. Bagian dari Pedoman Ekumenis ini tidak bermaksud untuk memberikan suatu penanganan yang meluas mengenai segala persoalan pastoral dan kanonis, yang berhubungan dengan perayaan sakramen Perkawinan kristiani atau soal reksa pastoral yang harus diberikan kepada keluarga-keluarga. Sebab soal-soal semacam itu merupakan bagian dari reksa pastoral umum dari setiap Uskup atau Konferensi Waligereja. Yang akan disampaikan berikut ini berpusatkan pada soal-soal khusus, yang berhubungan dengan kawin campur dan hendaknya dimengerti dalam konteks tadi. Istilah “kawin campur” ialah perkawinan antara seorang katolik dengan seorang kristen, yang telah dibaptis, yang tidak dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik.[139]
144. Dalam semua perkawinan, keprihatinan utama dari Gereja ialah menjaga kekokohan dan kemantapan dari persatuan dalam perkawinan yang tak terceraikan dan kehidupan keluarga yang muncul darinya.
Persatuan yang sempurna dari pribadi-pribadi dan saling berbagi kehidupan yang sepenuh-penuhnya, yang menjadi dasar hidup perkawinan, akan lebih mudah terjamin bila kedua pasangan masuk dalam jemaat iman yang sama. Dapat ditambahkan bahwa pengalaman praktis dan pengamatan yang diperoleh dalam macam-macam dialog antara wakil-wakil dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat menunjukkan bahwa kawin campur kerap kali menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi para pasangan suami isteri sendiri, dan bagi anak-anak yang dilahirkan bagi mereka, di dalam memelihara iman kristiani mereka dan keterlibatan mereka, serta untuk keharmonisan kehidupan keluarga. Oleh karena alasan-alasan tadi, maka perkawinan antara orang-orang dari Jemaat gerejawi yang sama tetap merupakan tujuan yang harus dianjurkan dan didukung.
145. Namun oleh karena semakin besarnya jumlah kawin campur di banyak bagian dunia ini, maka Gereja secara pastoral ingin memperhatikan secara khusus para pasangan yang sedang menyiapkan perkawinan atau sudah melangsungkan perkawinan semacam ini. Perkawinan-perkawinan tadi, meskipun mempunyai kesulitan-kesulitan khusus, “mengandung banyak unsur yang dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan diperkembangkan karena nilai batinnya dan karena sumbangan yang dapat diberikannya untuk gerakan ekumenis. Hal ini secara khusus memang benar-benar terlaksana bila kedua belah pihak setia terhadap kewajiban keagamaan mereka. Baptis mereka yang sama dan dinamika rahmat memberikan kepada para pasangan suami isteri tadi dasar dan dorongan untuk mengungkapkan persatuan dalam bidang nilai-nilai moral dan rohaniah.”[140]
146. Merupakan kewajiban tetap dari semua orang, lebih-lebih para imam dan diakon dan mereka yang membantu mereka dalam pelayanan pastoral, untuk memberikan pelajaran khusus dan dukungan bagi pihak katolik di dalam menghayati imannya, begitu pula para pasangan yang kawin campur, baik dalam persiapan perkawinan, dalam perayaan sakramental dan untuk hidup bersama yang terjadi sesudah upacara perkawinan. Reksa pastoral hendaknya memperhitungkan kondisi rohaniah yang khusus dari masing-masing partner, pendidikan iman mereka dan bagaimana mereka mempraktikkan iman mereka. Sekaligus juga hendaknya diperhatikan untuk keadaan khusus dari situasi yang dialami tiap-tiap pasangan, hati nurani tiap-tiap partner dan kesucian dari keadaan sakramental perkawinan itu sendiri. Bila dianggap berguna, para Uskup diosesan, Sinode Gereja-Gereja Timur atau Konferensi Waligereja dapat menggariskan pedoman-pedoman khusus mengenai reksa pastoral semacam ini.
147. Dalam memenuhi tanggung jawab ini, di mana situasi menuntut, hendaknya diambil langkah-langkah positif, jika mungkin, untuk mengadakan hubungan dengan pelayan dari Gereja dan Jemaat lain, meskipun hal ini ternyata tidak selalu mudah. Pada umumnya, konsultasi timbal balik antara para gembala kristiani untuk mendukung perkawinan semacam ini dan menjaga nilai-nilainya dapat merupakan suatu bidang yang bermanfaat untuk kerja sama ekumenis.
148. Dalam menyiapkan program-program persiapan perkawinan, para imam dan diakon, dan mereka yang membantunya, hendaknya menekankan segi-segi positif dari apa yang dimiliki bersama oleh pasangan suami isteri sebagai orang Kristiani dalam hidup rahmat, dalam iman, pengharapan dan kasih, bersama dengan karunia-karunia batin lainnya dari Roh Kudus.[141] Masing-masing pihak, seraya tetap setia pada penyerahan kristianinya dan mempraktikkannya, hendaknya berusaha memupuk semua hal yang dapat membawa ke persatuan dan kerukunan, tanpa memperkecil perbedaan-perbedaan yang reel dan menghindari sikap indifferentisme dalam beragama.
149. Untuk lebih semakin memahami dan lebih bersatu, kedua belah pihak hendaknya lebih mengenal keyakinan keagamaan pasangannya dan ajaran serta praktik-praktik keagamaan dari Gereja atau Jemaat yang diikuti oleh suami atau isterinya. Untuk membantu mereka menghayati warisan kristiani yang mereka miliki bersama, mereka hendaknya diingatkan bahwa doa bersama adalah sesuatu yang hakiki bagi kerukunan rohani mereka dan bahwa membaca dan mempelajari Kitab Suci sangatlah penting. Dalam masa persiapan, usaha suami isteri untuk memahami tradisi keagamaan dan tradisi gerejawi mereka sendiri, dan pertimbangan yang serius mengenai perbedaan-perbedaan yang ada, dapat membawa ke kejujuran yang lebih besar, cinta kasih dan pemahaman mengenai kenyataan-kenyataan tadi dan juga mengenai perkawinan itu sendiri.
150. Bila berdasarkan suatu alasan yang wajar dan masuk akal, orang minta izin untuk melakukan kawin campur. maka kedua belah pihak harus diberitahu mengenai tujuan yang hakiki dan sifat-sifat perkawinan yang tak boleh dikecualikan oleh salah satu pihak. Di samping itu, pihak katolik akan diminta untuk menegaskan, dalam bentuk yang ditetapkan oleh hukum khusus dari Gereja-Gereja Timur Katolik atau oleh Konferensi Waligereja, bahwa pihak pria atau wanita bersedia untuk menghindari bahaya-bahaya meninggalkan iman dan berjanji secara tulus untuk dengan sekuat tenaga mengusahakan agar anak-anak hasil dari perkawinan tersebut akan dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik. Pihak lain harus diberitahu mengenai janji dan tanggung jawab tadi.[142] Sekaligus dia hendaknya juga diberi tahu bahwa pihak bukan katolik mungkin juga merasakan kewajiban yang serupa karena penyerahan iman mereka sendiri. Haruslah dicatat bahwa tidak ada janji yang secara formal tertulis atau janji lisan yang dituntut dari pasangan tadi dalam Kitab Hukum Kanonik.
Mereka yang ingin menjalankan kawin campur, selama berhubungan dengan mereka dalam persiapan perkawinan, hendaknya diajak dan didorong untuk membicarakan Baptis katolik dan pendidikan anak-anak yang akan mereka punyai, dan bila mungkin dapat mengambil keputusan mengenai persoalan ini sebelum perkawinan.
Untuk menilai adanya “alasan yang tepat dan masuk akal tadi” dalam rangka untuk memberikan izin bagi kawin campur tadi, maka Ordinaris Wilayah hendaknya memperhitungkan, di antaranya, penolakan yang eksplisit, jelas, dari pihak bukan katolik.
151. Dalam melaksanakan tugas meneruskan iman katolik kepada anak-anak, maka orang tua katolik hendaknya melakukan hal tadi dengan sikap hormat terhadap kebebasan agama dan hati nurani dari orang tua yang lain, serta memperhatikan kesatuan dan keutuhan perkawinan dan menjaga persatuan keluarga. Jika anak-anak tidak dibaptis dan tidak dididik dalam Gereja katolik, walaupun pihak katolik sudah berusaha sedapat-dapatnya, maka pihak katolik tidak dapat dijatuhi hukuman seperti yang tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik.[143] Namun kewajibannya untuk mengikuti iman katolik bersama dengan anak-anak tidak hilang, tetap ada. Hal ini tetap dituntut, yang dapat dipenuhi misalnya dengan ikut aktif memberikan suasana katolik dalam rumah tangga; melakukan semua yang mungkin dengan kata dan teladan sehingga memungkinkan anggota-anggota keluarga yang lain menghargai nilai-nilai khusus dari tradisi katolik; dengan mengambil langkah-langkah yang perlu agar dia mengenal dengan sebaik mungkin imannya sendiri dan dapat menjelaskan dan mendiskusikannya dengan mereka; dengan berdoa bersama keluarga memohon rahmat persatuan kristiani seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
152. Dengan tetap mengingat dengan jelas bahwa, meskipun ada perbedaan-perbedaan dalam hal ajaran yang menghambat persatuan sakramental yang penuh serta persatuan kanonis antara Gereja katolik dengan macam-macam Gereja Timur, namun dalam reksa pastoral perkawinan antara orang katolik dan orang-orang kristen dari Gereja Timur, secara khusus hendaknya diperhatikan ajaran iman yang sehat dan tetap, yang dimiliki bersama oleh kedua belah pihak. Juga hendaknya tetap diingat adanya kenyataan bahwa dalam Gereja-gereja Timur dapat ditemukan “Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama, berdasarkan pergantian apostolik, Imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita.”[144] Bila pembinaan pastoral yang semestinya diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam perkawinan tadi, maka kaum beriman dari kedua Jemaat tadi dapat dibantu untuk memahami bagaimanakah anak-anak yang lahir dari perkawinan semacam ini secara rohaniah akan diberi santapan dan dibimbing oleh misteri-misteri sakramental Kristus. Pembinaan pada mereka dalam ajaran kristiani yang autentik dan cara-cara hidup kristiani, untuk sebagian besar, akan serupa dalam masing-masing Gereja. Perbedaan dalam hidup liturgi dan devosi pribadi dapat digunakan untuk mendorong dan bukannya untuk menghambat doa keluarga.
153. Suatu perkawinan antara seorang Katolik dengan seorang anggota suatu Gereja Timur, adalah sah jika perkawinan tadi dilangsungkan dengan suatu upacara keagamaan yang dilakukan oleh seorang pelayan tertahbis, juga sejauh tuntutan-tuntutan lain dari hukum untuk sahnya perkawinan telah terpenuhi. Demi sahnya perkawinan tadi, maka bentuk kanonis dari perayaan haruslah ditaati.[145] Bentuk kanonis dituntut untuk sahnya perkawinan antara orang katolik dengan orang-orang kristen dari Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya.[146]
154. Ordinaris wilayah dari pihak katolik, setelah berkonsultasi dengan Ordinaris wilayah di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, berdasarkan alasan-alasan yang berat dan tanpa berprasangka pada hukum Gereja-Gereja Timur,[147] dapat memberikan dispensasi pada pihak katolik dari kewajibannya untuk melaksanakan bentuk kanonis perkawinan.[148] Alasan yang dapat digunakan untuk memberikan dispensasi di antaranya ialah: untuk menjaga keutuhan keluarga, untuk mendapatkan persetujuan dari orang tua bagi perkawinan tadi, untuk mengakui keterlibatan keagamaan yang khusus dari pihak bukan katolik atau hubungan darah yang dimiliki pihak bukan katolik dengan seorang pelayan dari Gereja atau Jemaat lain. Merupakan tugas Konferensi Waligereja untuk mengeluarkan norma-norma yang dapat digunakan untuk memberikan dispensasi, sesuai dengan praktik yang biasa dilakukan.
155. Kewajiban yang ditekankan oleh beberapa Gereja atau Jemaat gerejawi untuk melaksanakan bentuk perkawinan mereka sendiri, janganlah dijadikan alasan untuk secara otomatis memberikan dispensasi dari bentuk kanonis katolik. Situasi semacam itu hendaknya merupakan bahan dialog di antara Gereja-Gereja, sekurang-kurangnya pada tingkat lokal.
156. Haruslah tetap diingat bahwa bila perkawinan dirayakan dengan dispensasi dari bentuk kanonis, beberapa bentuk publik dari perayaan tetap masih dituntut demi sahnya perkawinan.[149] Untuk menekankan kesatuan perkawinan, maka tak diperbolehkan diadakan dua kali kebaktian keagamaan yang terpisah, di mana janji kesepakatan perkawinan diucapkan dua kali, atau dalam satu kebaktian diucapkan janji kesepakatan tadi dua kali, entah sekaligus atau secara berturutan.[150]
157. Setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari Ordinaris wilayah, dan bila diundang untuk bertindak demikian, maka seorang imam katolik atau seorang diakon boleh menghadiri atau ikut ambil bagian dalam upacara kawin campur, asalkan dispensasi dari bentuk kanonis telah diberikan. Dalam kasus serupa, hendaknya hanya diadakan satu kali upacara di mana orang yang memimpin upacara tadi menerima ucapan janji perkawinan. Berdasarkan undangan dari pemimpin upacara maka imam katolik atau diakon boleh mengucapkan doa atau membaca dari Kitab Suci, memberikan nasihat singkat dan memberkati mempelai.
158. Berdasarkan permintaan dari pasangan suami-isteri, maka Ordinaris wilayah dapat mengizinkan imam katolik untuk mengundang pelayan dari Gereja atau Jemaat lain untuk ikut ambil bagian dalam perayaan perkawinan, untuk membacakan Kitab Suci, memberikan nasihat singkat dan memberkati mempelai.
159. Karena persoalan-persoalan yang menyangkut Ekaristi, yang mungkin dapat timbul karena hadirnya saksi-saksi dan para tamu yang bukan katolik, maka suatu perkawinan campur hendaknya dirayakan menurut bentuk upacara katolik yang biasanya dilakukan di luar liturgi Ekaristi. Namun berdasarkan alasan yang tepat, Uskup diosesan dapat mengizinkan perayaan Ekaristi.[151] Dalam hal demikian maka keputusan apakah pihak bukan katolik diperbolehkan menerima Komuni Ekaristi haruslah dilakukan sesuai dengan norma-norma umum yang ada yang menyangkut Gereja-Gereja Timur[152] dan yang berlaku untuk orang-orang Kristen lainnya,[153] dengan memperhitungkan situasi khusus dari penerimaan sakramen perkawinan kristiani dari dua orang yang telah dibaptis.
160. Meskipun mempelai dalam suatu kawin campur sama-sama menerima sakramen Baptis dan sakramen Perkawinan, namun penerimaan Ekaristi hanyalah merupakan pengecualian dan dalam tiap-tiap kasus, haruslah tetap dilaksanakan norma-norma yang telah ditetapkan mengenai izin bagi seorang kristen bukan katolik untuk menerima Ekaristi,[154] begitu pula norma mengenai keikutsertaan seorang katolik dalam komuni Ekaristi dalam Gereja lain.[155]
BAB V
KERJA SAMA EKUMENIS: DIALOG DAN KESAKSIAN
161. Bila orang-orang kristiani hidup dan berdoa bersama sesuai dengan cara yang digambarkan dalam Bab IV, maka mereka memberikan kesaksian mengenai iman yang mereka miliki bersama dan mengenai Baptis mereka, dalam nama Allah, Bapa semua orang, dalam Putera-Nya Yesus, Penebus semua orang, dan dalam Roh Kudus yang mengubah dan mempersatukan semuanya berkat kekuatan kasih. Berdasarkan persatuan hidup dan karunia-karunia rohani, ada banyak bentuk-bentuk kerja sama ekumenis lain yang mengungkapkan dan memajukan kesatuan dan meningkatkan kesaksian mengenai kuasa Injil yang menyelamatkan, yang diberikan orang kristiani kepada dunia. Bila orang-orang kristiani bekerja sama dalam mempelajari dan menyebarkan Kitab Suci, dalam studi mengenai liturgi, dalam katekese dan pendidikan tinggi, dalam reksa pastoral, dalam evangelisasi dan dalam pelayanan kasih mereka terhadap dunia yang sedang berjuang untuk melaksanakan cita-citanya mengenai keadilan, perdamaian dan cinta kasih, maka dengan cara demikian tadi mereka mempraktikkan apa yang diusulkan dalam Dekrit tentang Ekumenisme: “Hendaklah segenap umat kristen di hadapan segala bangsa menyatakan iman mereka akan Allah Tritunggal, akan Putera Allah yang menjelma, Penebus dan Tuhan kita. Hendaknya mereka melalui usaha-usaha bersama yang ditandai sikap saling menghargai memberi kesaksian tentang harapan kita, yang tidak akan sia-sia. Zaman sekarang ini sangat meluaslah kerja sama di bidang sosial. Memanglah semua orang tanpa kecuali dipanggil untuk menggalang kerja sama itu, terutama mereka yang beriman akan Allah, pertama-tama semua orang kristen secara cemerlang mengungkapkan persatuan yang sudah ada di antara mereka, dan lebih jelas menampilkan wajah Kristus Sang Hamba.”[156]
162. Orang-orang kristiani tidak boleh menutup hati mereka terhadap jeritan orang zaman sekarang yang kekurangan. Sumbangan yang dapat mereka berikan kepada semua bidang kehidupan manusia, di mana kebutuhan akan penyelamatan nampak, akan menjadi lebih efektif bila mereka melakukannya bersama-sama, dan bila mereka kelihatan bersatu dalam mengerjakan hal itu. Oleh karenanya mereka ingin mengerjakan bersama-sama setiap hal yang mungkin dilakukan berdasarkan iman mereka. Tidak adanya persatuan yang penuh dari macam-macam Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi, perbedaan-perbedaan yang masih ada dalam bidang ajaran baik yang menyangkut iman dan kesusilaan, kenangan masa lalu yang menyakitkan dan warisan sejarah berupa perpisahan, masing-masing hal tadi membatasi apa yang dapat dilakukan bersama oleh orang-orang kristiani pada zaman sekarang ini. Kerja sama di antara mereka dapat membantu mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan bagi persatuan yang penuh dan sekaligus mempersatukan sumber-sumber mereka untuk membangun hidup kristiani dan pelayanan kristiani serta kesaksian bersama yang diberikan, berkat perutusan yang mereka miliki bersama: “Di dalam kesatuan perutusan, yang secara prinsipial diputuskan oleh Kristus sendiri, semua orang kristiani haruslah menemukan apa yang sudah mempersatukan mereka bahkan sebelum persatuan mereka yang penuh tercapai”.[157]
Bentuk dan Struktur Kerja sama Ekumenis
163. Kerja sama ekumenis dapat berupa partisipasi dari macam-macam Gereja dan Jemaat dalam program-program yang telah dibuat oleh salah satu dari mereka. Atau mungkin juga suatu koordinasi dari kegiatan-kegiatan yang mandiri, dengan demikian dihindarkan pendobelan dan banyaknya struktur administratif yang tidak perlu. Dapat juga diadakan prakarsa bersama dan program bersama Macam-macam dewan atau komisi dapat diadakan, yang kurang lebih bersifat tetap, untuk memudahkan hubungan antara Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat dan untuk memajukan kerja sama dan kesaksian bersama di antara mereka.
164. Orang katolik yang ikut ambil bagian dalam segala bentuk pertemuan ekumenis dan proyek-proyek kerja sama, hendaknya menghormati norma-norma yang ditetapkan oleh otoritas gereja setempat. Pada akhirnya menjadi kewenangan Uskup diosesan, dengan memperhitungkan apa yang telah diputuskan pada tingkat regional atau tingkat nasional, untuk memutuskan diterimanya atau tidak serta cocok tidaknya segala bentuk kegiatan ekumenis lokal. Para Uskup, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja hendaknya bertindak sesuai dengan petunjuk Takhta Suci dan secara khusus dari Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani.
165. Pertemuan dari wakil-wakil resmi dari Gereja-Gereja dan Jemaat yang terjadi secara berkala atau pada kesempatan khusus dapat sangat membantu untuk memajukan kerja sama ekumenis. Karena mereka ikut ambil bagian dalam memajukan persatuan umat kristiani dan memberikan kesaksian yang penting dengan keterlibatan mereka, maka mereka dapat berpengaruh pada usaha-usaha kerja sama yang dilakukan oleh para anggota Gereja dan Jemaat, yang mereka wakili. Pertemuan-pertemuan tadi dapat juga digunakan sebagai kesempatan untuk menyelidiki soal-soal khusus dan tugas-tugas yang muncul dari kerja sama ekumenis, yang perlu ditangani, serta juga untuk mengambil keputusan penting untuk mendirikan kelompok-kelompok kerja atau membicarakan program yang harus dilakukan.
Dewan Gereja-Gereja dan Dewan Umat Kristiani
166. Dewan Gereja-Gereja dan Dewan Umat Kristiani merupakan struktur yang kurang lebih tetap yang didirikan untuk memajukan persatuan dan kerja sama ekumenis. Suatu Dewan Gereja terdiri dari Gereja-Gereja[158] dan bertanggung jawab pada Gereja-Gereja yang mendirikannya. Dewan Umat Kristiani terdiri dari kelompok-kelompok dan organisasi kristiani lainnya dan juga Gereja-Gereja. Terdapat juga lembaga-lembaga lain untuk kerja sama serupa seperti Dewan Gereja-Gereja dan Dewan Umat Kristiani, tapi punya nama lain. Pada umumnya Dewan dan Lembaga-Lembaga serupa tadi berusaha untuk membantu anggota-anggotanya bekerja sama, untuk melibatkan diri dalam dialog, untuk mengatasi perpecahan dan kesalahpahaman, untuk terlibat dalam doa dan karya untuk kesatuan, dan sedapat mungkin untuk memberikan kesaksian kristiani bersama-sama serta memberikan pelayanan. Semuanya tadi harus dinilai sesuai dengan kegiatan dan pemahaman jati diri mereka, seperti yang tercantum dalam statuta mereka. Mereka hanya mempunyai otoritas sesuai dengan yang diberikan kepada mereka oleh para anggota yang ikut bergabung. Mereka tidak punya tanggung jawab untuk mengadakan negosiasi yang dimaksudkan untuk mempersatukan Gereja-Gereja.
167. Karena diharapkan bahwa Gereja Katolik menemukan ungkapan yang tepat bagi macam-macam tingkat dalam hubungannya dengan Gereja dan Jemaat lainnya, dan oleh karena Dewan Gereja-Gereja dan Dewan Umat Kristiani merupakan bentuk-bentuk kerja sama ekumenis yang penting, maka hubungan-hubungan yang semakin meningkat yang diadakan oleh Gereja Katolik dengan Dewan-Dewan tadi di berbagai tempat di dunia ini, haruslah disambut dengan baik.
168. Keputusan untuk secara nyata bergabung dengan suatu Dewan Gereja-Gereja merupakan tanggung jawab dari para Uskup di wilayah di mana terdapat Dewan tadi, juga untuk memperhatikan partisipasi umat katolik dalam Dewan tadi. Sedangkan bila menyangkut Dewan Gereja pada tingkat nasional, maka pada umumnya merupakan kewenangan dari Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik atau Konferensi Waligereja untuk memutuskannya (kecuali bila hanya ada satu keuskupan di suatu negara). Dalam mempertimbangkan persoalan keanggotaan dalam suatu Dewan para pimpinan yang terkait, dalam mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan, hendaknya berhubungan dengan Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani.
169. Patut atau tidak, untuk bergabung dalam Dewan Gereja-Gereja, merupakan salah satu faktor pertimbangan yang harus diperhitungkan sebelum mengambil langkah. Haruslah jelas bahwa keikutsertaan dalam kehidupan Dewan tadi dapat disesuaikan dengan ajaran Gereja Katolik, dan tidak mengaburkan identitasnya yang unik dan khusus. Perhatian utama harus ditujukan pada soal kejelasan ajaran, lebih-lebih yang berhubungan dengan eklesiologi. Dewan Gereja-Gereja dan Dewan Umat Kristiani sesungguhnya dalam dirinya sendiri atau di antara mereka, bukanlah merupakan permulaan suatu Gereja baru, yang dapat menggantikan persatuan yang sekarang ada dalam Gereja Katolik. Mereka tidak boleh menyatakan diri mereka sebagai Gereja-Gereja atau tidak boleh menyatakan bahwa mempunyai kekuasaan, yang memungkinkan mereka memberikan pelayanan Sabda atau Sakramen.[159] Haruslah diperhatikan sistem perwakilan dan sistem pemungutan suara dalam Dewan, proses pengambilan keputusan, caranya membuat pernyataan umum dan tingkat otoritas yang diberikan pada pernyataan-pernyataan tadi. Kesepakatan yang jelas dan tepat mengenai hal-hal tadi hendaknya diperoleh sebelum mengambil keputusan untuk menjadi anggota.[160]
170. Keanggotaan orang katolik pada Dewan tingkat lokal, nasional atau regional merupakan suatu persoalan yang berbeda dengan persoalan hubungan antara Gereja Katolik dengan Dewan Gereja-Gereja Sedunia. Dewan Gereja-Gereja Sedunia, memang mengundang Dewan-Dewan yang dipilih, terbatas, “untuk membina kerja sama sebagai rekan dengan Dewan-Dewan tadi”, tetapi tidak punya kekuasaan sama sekali atau kewenangan terhadap Dewan-Dewan tadi atau para anggota dari Gereja-Gereja tadi.
171. Menggabungkan diri dalam suatu Dewan Gereja-Gereja haruslah dilihat sebagai mengambil suatu tanggung jawab yang serius. Gereja Katolik haruslah diwakili oleh orang-orang yang sungguh baik kualitasnya dan mau terlibat. Dalam melaksanakan mandat mereka,mereka dengan jelas harus menyadari batas-batas yang tidak boleh mereka lampaui. Mereka tidak boleh melibatkan Gereja tanpa membicarakan terlebih persoalannya dengan pimpinan yang menugaskan mereka. Bila kegiatan-kegiatan dari Dewan dengan baik diikuti oleh Gereja-Gereja yang menjadi anggotanya, maka akan semakin penting dan efektiflah sumbangan Dewan bagi gerakan ekumenis.
172. Dialog merupakan jantung dari kerja sama ekumenis dan menyertai semua bentuk kerja sama ekumenis. Dialog mencakup baik mendengarkan maupun menjawab, sambil berusaha untuk mengerti dan dimengerti. Dialog merupakan suatu kesediaan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan diberi pertanyaan-pertanyaan. Dialog berarti kesediaan untuk menampakkan diri sendiri dan percaya terhadap apa saja yang dikatakan oleh orang lain mengenai diri mereka sendiri. Pihak-pihak dalam dialog harus siap untuk menjelaskan lebih lanjut gagasan-gagasan mereka, dan merubah pandangan pribadi mereka serta cara hidup dan bertindaknya, seraya membiarkan diri mereka dalam hal ini dibimbing oleh kasih yang autentik dan kebenaran. Sifat timbal-balik dan sikap saling percaya adalah unsur-unsur yang hakiki dalam dialog, demikian juga bahwa dalam arti tertentu mitra-mitra dalam dialog sama-sama sejajar kedudukannya.[161] Dialog ekumenis memungkinkan anggota-anggota dari macam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi untuk saling mengenal, untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan iman dan praktik yang mereka miliki bersama dan titik-titik perbedaan di antara mereka. Mereka mencoba memahami akar-akar dari perbedaan semacam itu dan memperkirakan sejauh mana hal tadi sungguh merupakan halangan yang reel bagi suatu iman bersama. Bila perbedaan-perbedaan tadi diakui sebagai suatu halangan yang nyata bagi persatuan, maka mereka mencoba mencari jalan untuk mengatasinya dalam cahaya dari butir-butir iman yang sudah mereka miliki bersama.
173. Gereja Katolik mungkin terlibat dalam dialog pada tingkat keuskupan, pada tingkat Konferensi Waligereja atau Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik, dan pada tingkat Gereja universal. Struktur Gereja katolik, sebagai suatu persekutuan universal dalam iman dan kehidupan sakramental, memungkinkan Gereja Katolik untuk menyampaikan suatu pendirian yang konsisten dan sama pada tiap tingkatan tadi. Bila hanya ada satu Gereja atau Jemaat sebagai partner dalam dialog, maka disebut “dialog bilateral”; bila ada banyak mitra dalam dialog maka disebut “dialog multilateral”.
174. Pada tingkat lokal ada banyak sekali kesempatan untuk mengadakan tukar pikiran di antara orang kristiani, mulai dari percakapan informal yang terjadi dalam hidup sehari-hari sampai ke tingkat seminar-seminar untuk menyelidiki bersama-sama dalam suatu segi pandang kristiani persoalan-persoalan hidup setempat atau keprihatinan dari kelompok-kelompok profesional khusus (seperti misalnya para dokter, pekerja sosial, para orang tua, para pendidik) dan juga kelompok-kelompok studi mengenai soal-soal yang secara khusus bersifat ekumenis. Dialog dapat diadakan oleh kelompok-kelompok kaum awam, kelompok rohaniwan, kelompok teolog yang profesional atau oleh kelompok campuran yang terdiri dari kelompok-kelompok tadi. Apakah pertemuan tadi bersifat resmi, karena diselenggarakan oleh pimpinan gereja atau secara formal diakui oleh pimpinan gereja, ataupun tidak bersifat resmi, tukar pikiran haruslah selalu ditandai suatu kepekaan gerejawi yang kuat. Orang-orang katolik yang terlibat di dalamnya akan merasa perlunya mengerti dengan baik iman mereka serta perlunya memperdalam penghayatan imannya, dan mereka akan berhati-hati untuk tetap bersatu dalam pikiran dan keinginan dengan Gereja mereka.
175. Para peserta dalam dialog-dialog tertentu ditunjuk oleh hirarki untuk ikut ambil bagian bukan atas nama pribadi, tetapi sebagai utusan resmi dari Gereja mereka. Mandat semacam ini dapat diberikan Ordinaris wilayah, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik atau Konferensi Waligereja dalam wilayah tersebut,atau oleh Takhta Suci. Dalam kasus-kasus semacam ini maka para peserta katolik mempunyai tanggung jawab khusus kepada pimpinan yang telah mengirim mereka. Persetujuan dari pimpinan tadi juga dibutuhkan sebelum suatu hasil dari dialog tadi, melibatkan Gereja secara resmi.
176. Para peserta katolik dalam dialog, mengikuti prinsip-prinsip mengenai ajaran katolik yang ditetapkan dalam Unitatis redintegratio: “Tiada sesuatupun yang begitu asing bagi ekumenisme seperti sikap ‘suka damai’ palsu yang merugikan bagi kemurnian ajaran katolik, serta mengaburkan artinya yang autentik dan pasti.” “Iman katolik hendaknya diuraikan secara lebih mendalam sekaligus lebih cermat, dengan cara dan bahasa yang sungguh dapat dipahami juga oleh saudara-saudari yang terpisah.”
“Kecuali itu dalam dialog ekumenis para teolog katolik harus setia sepenuhnya terhadap ajaran Gereja, dan dalam usaha mereka bersama dengan saudara-saudari yang terpisah untuk semakin menyelami misteri-misteri ilahi, harus melangkah maju dengan cinta akan kebenaran, kasih sayang dan kerendahan hati. Dalam membandingkan ajaran-ajaran hendaknya mereka sadari adanya tata urutan atau ‘hirarki’ kebenaran-kebenaran ajaran katolik, karena berbeda-beda hubungannya dengan dasar iman kristen. Dengan demikian akan terbukalah jalan, yang mendorong semua mitra dialog untuk berlomba-lomba secara persaudaraan, menuju pengertian yang makin mendalam tentang kekayaan Kristus yang tidak terduga dalamnya, serta penampilannya yang makin gemilang.”[162]
Persoalan mengenai hirarki kebenaran-kebenaran juga dibicarakan dalam dokumen Refleksi dan Saran-saran mengenai Dialog Ekumenis: “Baik dalam hidup maupun dalam ajaran seluruh Gereja tidaklah segala sesuatu diajarkan pada tingkatan yang sama. Tentu semua kebenaran yang diwahyukan menuntut penerimaan iman yang sama, namun menurut lebih atau kurang dekat hubungannya dengan dasar misteri yang diwahyukan, semuanya tadi secara berbeda-beda diletakkan secara berurutan dan mempunyai hubungan satu sama lain yang berbeda-beda pula.”[163]
177. Pokok pembicaraan dalam dialog mungkin meliputi suatu bidang yang luas tentang soal-soal ajaran, meliputi suatu jangka waktu yang panjang, atau sebuah persoalan yang dibicarakan dalam kerangka waktu yang terbatas. Mungkin juga yang dijadikan bahan pembicaraan ialah suatu persoalan pastoral atau misioner, yang ingin ditanggapi secara bersama oleh Gereja-Gereja untuk membatasi konflik-konflik yang timbul di antara mereka dan untuk memajukan saling tolong menolong dan kesaksian bersama. Untuk beberapa persoalan kadang-kadang dialog bilateral mungkin lebih efektif, sedangkan untuk soal-soal lain dialog multilateral memberikan hasil yang lebih baik. Pengalaman menunjukkan bahwa kedua bentuk dialog saling melengkapi di dalam melakukan tugas untuk memajukan persatuan umat kristiani yang bersifat majemuk ini. Hasil dari suatu dialog bilateral hendaknya dengan segera diberitahukan kepada Gereja-Gereja atau Jemaat-Jemaat lain yang berminat.
178. Suatu komisi atau komite yang didirikan untuk melakukan dialog atas nama dua atau beberapa Gereja atau Jemaat, mungkin mencapai kesepakatan-kesepakatan yang bermacam-macam tingkatannya mengenai persoalan yang ditugaskan pada mereka, serta merumuskan kesimpulan-kesimpulan mereka dalam suatu pernyataan. Sebelum kesepakatan semacam itu tercapai, mungkin kadang-kadang dianggap berguna oleh suatu komisi untuk mengeluarkan suatu pernyataan atau suatu laporan yang menunjukkan persamaan-persamaan yang telah tercapai, mengemukakan persoalan-persoalan yang masih tetap ada serta mengusulkan arah dari dialog di masa mendatang. Semua pernyataan dan laporan dari komisi dialog haruslah diserahkan kepada Gereja-Gereja yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan. Pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh komisi dialog mempunyai bobot “intrinsik” karena kompetensi dan status para pembuatnya. Namun itu semua tidak mengikat Gereja Katolik sampai semuanya tadi telah disetujui oleh otoritas gereja yang berwewenang.
179. Bila hasil-hasil dari suatu dialog oleh otoritas yang berwenang dianggap sudah siap untuk dinilai, maka anggota-anggota Umat Allah, sesuai dengan peranan mereka atau karisma mereka, haruslah dilibatkan dalam proses penilaian tadi. Sesungguhnya Umat beriman dipanggil untuk melaksanakan: “perasaan iman adikodrati sensus fidei segenap umat, bila dari para Uskup hingga para awam beriman yang terkecil mereka secara keseluruhan menyatakan kesepakatan mereka tentang perkara-perkara iman dan kesusilaan. Sebab di bawah bimbingan wewenang mengajar yang suci Magisterium, yang dipatuhinya dengan setia, Umat Allah tidak menerima perkataan manusia lagi, melainkan sesungguhnya menerima sabda Allah,[164] iman yang sekali telah diserahkan kepada para kudus.[165] Umat tanpa menyimpang berpegang teguh pada iman,dengan pengertian yang tepat umat semakin mendalam menyelaminya, dan semakin penuh menerapkannya dalam hidup mereka.”[166]
Haruslah dilakukan setiap usaha untuk menemukan jalan yang tepat guna menyampaikan hasil-hasil dialog agar diperhatikan oleh semua anggota Gereja. Sejauh mungkin hendaknya diadakan suatu penjelasan mengenai pemahaman baru dalam iman, kesaksian baru mengenai kebenaran iman, bentuk-bentuk ungkapan baru yang berkembang dalam iman, begitu pula sejauh mana diusulkan kesepakatan-kesepakatan. Ini semua akan membantu mereka untuk mengadakan keputusan yang tepat, dengan menghormati reaksi-reaksi dari mereka yang terlibat, sebab mereka menilai kesetiaan dari hasil-hasil dialog terhadap tradisi iman yang berasal dari para Rasul dan diserahkan kepada jemaat kaum beriman dibawah bimbingan para guru mereka yang berwenang. Diharapkan bahwa proses semacam ini dilakukan oleh tiap-tiap Gereja atau Jemaat gerejawi yang merupakan mitra dialog, demikian juga oleh semua Gereja dan Jemaat yang mendengarkan panggilan untuk bersatu. Kerja sama antar Gereja-Gereja dalam usaha ini sangatlah diharapkan.
180. Kehidupan iman dan doa iman, yang tidak lain adalah refleksi mengenai ajaran iman,masuk dalam proses penerimaan ini, dengan mana seluruh Gereja di bawah ilham Roh Kudus “yang membagi-bagikan rahmat-rahmat istimewa di kalangan umat dari segala lapisan”[167] dan secara khusus membimbing pelayanan mereka yang mengajar, menjadikan hasil-hasil dialog menjadi milik mereka, di dalam suatu proses mendengarkan, menguji, menilai dan menghayatinya.
181. Di dalam menilai dan mengolah bentuk-bentuk ungkapan iman yang baru, yang mungkin muncul dalam pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh dialog ekumenis, atau mungkin ungkapan-ungkapan lama yang diambil lagi karena lebih disukai daripada istilah-istilah teologis baru, orang-orang katolik hendaknya ingat mengenai pembedaan yang dilakukan dalam Dekrit tentang Ekumenisme antara “cara ajaran Gereja dirumuskan” dan “warisan iman itu sendiri.”[168] Hendaknya mereka menghindarkan ungkapan-ungkapan yang kabur, lebih-lebih dalam mencari kesepakatan mengenai butir-butir ajaran yang secara tradisional menimbulkan pertentangan. Mereka juga harus memperhitungkan cara Konsili Vatikan Kedua menerapkan pembedaan tadi dalam rumusannya mengenai iman katolik; mereka juga harus membiarkan “hirarki kebenaran” dalam ajaran katolik, yang tertulis dalam Dekrit tentang Ekumenisme.[169]
182. Proses penerimaan tadi hendaknya mencakup juga refleksi teologis yang bersifat teknis mengenai Tradisi iman, juga kenyataan liturgi modern dan kenyataan pastoral dari Gereja. Sumbangan yang penting dalam hal ini dapat datang dari fakultas-fakultas teologi yang kompeten. Seluruh proses harus dibimbing oleh ajaran dari otoritas resmi Gereja, yang bertanggung jawab untuk mengadakan penilaian terakhir mengenai pernyataan-pernyataan ekumenis. Pemahaman baru yang diterima dengan cara demikian tadi, masuk dalam kehidupan gereja, dan dalam arti tertentu memperbaharui hal yang dapat memupuk rekonsiliasi dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya.
Karya Bersama dalam Kitab Suci
183. Sabda Allah yang ditulis dalam Kitab Suci menyuburkan hidup Gereja dengan macam-macam cara[170] dan merupakan “upaya yang luar biasa dalam tangan Allah yang penuh kuasa untuk mencapai kesatuan, yang oleh Sang Penyelamat ditawarkan kepada semua orang.”[171] Penghormatan kepada Kitab Suci merupakan suatu ikatan persatuan yang mendasar antara orang-orang kristiani, yang tetap kokoh meskipun Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang memilikinya tidak bersatu satu sama lain secara penuh. Maka segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membuat para anggota Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat membaca sabda Allah, dan untuk melakukannya bersama bila mungkin (mis. Minggu Kitab suci) akan memperkokoh tali persatuan yang sudah mempersatukan mereka, membantu mereka untuk menjadi terbuka pada karya Allah yang mempersatukan dan memperkokoh kesaksian bersama yang mereka berikan kepada dunia, mengenai sabda Allah yang menyelamatkan. Pengadaan dan penyebaran edisi Kitab Suci yang cocok, merupakan suatu prasyarat untuk mendengarkan Sabda. Meski orang-orang katolik terus menerbitkan terbitan-terbitan Kitab Suci yang sesuai dengan standar dan kebutuhan mereka, namun secara sukarela juga bekerja sama dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya dalam membuat terjemahan-terjemahan dan menerbitkan terbitan bersama, sesuai dengan apa yang telah dilihat sebelumnya oleh Konsili Vatikan Kedua dan diatur dalam Kitab Hukum Kanonik.[172] Gereja melihat kerja sama ekumenis dalam bidang ini sebagai suatu bentuk pelayanan bersama yang bernilai dan kesaksian bersama dalam Gereja dan dunia.
184. Gereja katolik terlibat dalam kerja sama ini dengan banyak cara dan pada macam-macam tingkat. Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani terlibat dengan pendirian World Catholic Federation for the Biblical Apostolate (Federasi Katolik Sedunia untuk Kerasulan Kitab Suci) yang sekarang ini bernama Catholic Biblical Federation pada tahun 1969, sebagai suatu organisasi katolik internasional yang bersifat umum untuk menindaklanjuti kesimpulan pastoral dari Dei Verbum, bab VI. Sesuai dengan tujuan tersebut, bila keadaan setempat memungkinkan, maka kerja sama pada tingkat Gereja-Gereja lokal, antara petugas ekumene dan cabang Federasi setempat sangatlah dianjurkan.
185. Melalui Sekretariat Jenderal Federasi Katolik untuk Kitab Suci, maka Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani mempertahankan dan mengembangkan hubungan dengan United Bible Societies sebagai suatu organisasi internasional kristen yang secara bersama-sama dengan Sekretariat Federasi Katolik telah menerbitkan Pedoman untuk Kerja sama Antar Gereja dalam Menterjemahkan Kitab Suci.[173] Dokumen ini memberikan beberapa prinsip, metode dan arahan yang konkret mengenai corak kerja sama yang khas di bidang kitab suci. Kerja sama semacam ini telah menunjukkan hasil-hasil yang baik. Hubungan dan kerja sama semacam ini di antara lembaga-lembaga yang memperhatikan secara khusus penerbitan dan penggunaan kitab suci, dianjurkan pada segala tingkat kehidupan Gereja. Hal tadi dapat membantu kerja sama antara Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat dalam karya misioner,katekese dan pendidikan agama, begitu juga dalam doa bersama dan studi. Kerja sama tadi dapat muncul sebagai akibat terbitan bersama Kitab Suci, yang boleh digunakan oleh beberapa Gereja dan Jemaat dalam suatu wilayah budaya tertentu, atau untuk suatu tujuan khusus tertentu seperti misalnya studi atau kehidupan liturgi.[174] Kerja sama semacam ini dapat merupakan semacam penangkal terhadap penggunaan Kitab Suci seperti yang biasa dilakukan oleh kaum fundamentalis atau sekte-sekte.
186. Orang-orang katolik dapat ikut ambil dalam studi tentang Kitab Suci bersama dengan anggota-anggota Gereja dan Jemaat lain dalam macam-macam cara dan pada macam-macam tingkat. Keikut sertaan tadi dapat diawali dengan karya yang dilakukan pada tingkat lingkungan atau kelompok-kelompok paroki, hingga meningkat pada riset ilmiah oleh para ahli tafsir kitab suci. Supaya mempunyai nilai ekumenis, pada tingkat manapun dikerjakan, karya tadi perlu berlandaskan pada iman dan memupuk iman. Hal ini kerap kali akan menyebabkan para peserta melihat kembali bagaimanakah posisi ajaran dari macam-macam Gereja dan Jemaat, serta perbedaan dalam pendekatan dan penggunaan kitab suci, dalam menafsirkan kitab suci, sehingga menyebabkan macam-macam penafsiran terhadap ayat-ayat tertentu dalam Kitab Suci. Maka bergunalah bagi orang-orang katolik bila terbitan-terbitan Kitab Suci yang mereka gunakan, memberikan perhatian pada ayat-ayat di mana ajaran Gereja mengenai hal tersebut masih menjadi persoalan. Mereka akan mau menghadapi kesulitan-kesulitan dan perbedaan-perbedaan, yang berasal dari penggunaan Kitab suci secara ekumenis dengan sikap penuh pengertian dan sikap setia pada ajaran Gereja. Namun hal ini janganlah sampai membuat mereka tidak mengakui bahwa dalam banyak hal mereka sama dengan orang-orang Kristen lain dalam menafsirkan Kitab Suci. Mereka akan bisa menghargai terang cahaya, yang diberikan oleh pengalaman dan tradisi dari macam-macam Gereja, pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci yang secara khusus bermakna bagi mereka. Mereka akan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan untuk menemukan titik-titik awal baru dalam Kitab Suci sendiri, untuk membicarakan soal-soal yang kontroversial atau menimbulkan perselisihan.
Mereka akan ditantang untuk menemukan arti dari Sabda Allah dalam hubungannya situasi manusia zaman sekarang, yang mereka miliki bersama dengan orang-orang Kristiani lain, yang merupakan rekan mereka. Di samping itu mereka akan mengalami sukacita karena daya Sabda Allah yang mempersatukan.
187. Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi, yang umatnya hidup dalam suatu wilayah yang secara budaya serupa, bila mungkin, hendaknya membuat satu teks mengenai doa-doa kristiani yang sangat penting (Doa Bapa kami, Sahadat para Rasul, Sahadat Nicea-Konstantinopel, Doxologi Tritunggal, Kemuliaan kepada Allah). Doa-doa tadi hendaknya digunakan secara tetap oleh semua Gereja dan Jemaat, atau sekurang-kurangnya digunakan bila mereka berdoa bersama-sama pada kesempatan-kesempatan ekumenis. Kesepakatan mengenai Mazmur untuk liturgi, atau sekurang-kurangnya beberapa Mazmur yang kerap digunakan, sangatlah diharapkan; kesepakatan serupa untuk bacaan-bacaan Kitab Suci yang sama untuk kepentingan liturgi, juga dapat diselidiki. Penggunaan doa-doa liturgi dan doa-doa lain, yang berasal dari masa sebelum Gereja terpisah-pisah, dapat membantu untuk memupuk semangat ekumene. Buku-buku nyanyian bersama, atau sekurang-kurangnya kumpulan lagu-lagu bersama yang akan dimasukkan dalam buku nyanyian dari macam-macam Gereja dan Jemaat, begitu pula kerja sama dalam mengembangkan musik liturgi, juga sangat dianjurkan. Bila orang-orang kristiani berdoa bersama-sama dengan satu suara, kesaksian mereka akan mencapai surga.
Kerja sama Ekumenis dalam Katekese
188. Untuk melengkapi katekese biasa, yang harus diterima oleh orang-orang katolik dalam setiap peristiwa penting, maka Gereja Katolik mengakui bahwa, dalam situasi adanya kebhinekaan agama-agama, maka kerja sama dalam bidang katekese dapat memperkaya hidupnya sendiri dan juga hidup Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya. Hal itu juga dapat memperkokoh kemampuan mereka untuk memberikan kesaksian bersama mengenai kebenaran Injil, sejauh ini dimungkinkan. Dasar dari kerja sama semacam ini, syarat-syarat dan batas-batasnya, telah digariskan dalam Seruan Apostolik Catechesi Tradendae: Pengalaman-pengalaman semacam itu mempunyai dasar teologisnya dalam unsur-unsur yang dimiliki bersama oleh semua orang Kristen. Tetapi persekutuan iman antara umat Katolik dan umat Kristen lainnya tidak lengkap dan sempurna. Dalam hal-hal tertentu bahkan terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mendalam. Konsekuensinya: kerja sama ekumenis itu menurut hakikatnya terbatas: tidak pernah boleh berarti suatu “pembatasan” pada yang minimal dimiliki bersama saja. Selain itu katekese tidak melulu berupa penyampaian ajaran; melainkan berarti juga inisiasi ke dalam keseluruhan hidup kristen, membuka pintu bagi partisipasi sepenuhnya dalam Sakramen-Sakramen Gereja. Oleh karena itu, bila ada pengalaman kerja sama ekumenis di bidang katekese, harus diusahakan, agar pembinaan umat katolik dalam Gereja Katolik sungguh terjamin perihal ajaran dan hidup kristen.[175]
189. Dalam beberapa negara suatu bentuk ajaran kristiani yang berlaku umum baik untuk orang-orang katolik maupun orang-orang kristen lainnya dipaksakan oleh negara atau oleh keadaan khusus, dengan buku-buku dan isi pelajaran yang telah ditentukan. Dalam kasus semacam ini, kita bukannya berhadapan dengan katekese sejati, pun pula bukan dengan buku-buku yang dapat digunakan dalam katekese. Namun ajaran semacam itu, bila menyajikan unsur-unsur ajaran kristen dengan setia, mempunyai nilai ekumenis yang autentik. Dalam kasus semacam ini, meskipun kita mengakui nilai-nilai yang secara potensial terdapat di dalam ajaran semacam itu, namun tetap ada keharusan untuk menyediakan katekese yang bersifat khas katolik bagi anak-anak katolik.
190. Bila pengajaran agama di sekolah-sekolah dilakukan dalam kerja sama dengan anggota-anggota dari agama-agama lain yang bukan kristiani, haruslah diusahakan secara khusus untuk menjamin agar pesan kristiani disajikan sedemikian rupa sehingga menyoroti kesatuan iman antara orang-orang kristiani dalam hal-hal yang fundamental, namun sekaligus juga menjelaskan perpecahan-perpecahan yang ada dan langkah-langkah yang sedang dilakukan untuk mengatasinya.
Kerja sama dalam Lembaga-Lembaga Pendidikan Tinggi
191. Ada banyak kesempatan untuk kerja sama ekumenis serta untuk memberikan kesaksian bersama dalam studi ilmiah teologi serta cabang-cabang studi yang terkait dengannya. Kerja sama semacam itu memberikan sumbangan bagi riset teologis. Juga akan meningkatkan kualitas pendidikan teologi dengan membantu para dosen untuk memberikan perhatian pada segi ekumenis dari soal-soal teologis yang dituntut oleh Gereja Katolik dalam Dekrit Konsili Unitatis redintegratio.[176] Kerja sama tadi akan mempermudah pembinaan ekumenis dari para pekerja pastoral (lih. bab III). Kerja sama tadi juga akan membantu orang-orang kristiani untuk secara bersama menghadapi soal-soal intelektual yang dihadapi oleh para pria dan wanita pada zaman sekarang ini, berdasarkan sumber kebijakan kristiani serta pengalaman yang dimiliki bersama oleh orang kristiani. Daripada menekankan perbedaan-perbedaan di antara mereka, mereka dapat lebih mengutamakan pada kesatuan iman yang mendalam serta pemahaman yang dapat ada di dalam perbedaan ungkapan-ungkapan teologis.
Di Seminari-Seminari dan Tingkatan Mahasiswa
192. Kerja sama ekumenis dalam studi dan pengajaran sudah sangat diharapkan dalam program-program pada tahap-tahap awal dari pendidikan teologi mereka, seperti yang diberikan di Seminari dan Tahun pertama fakultas Teologi. Hal ini tidak dapat diberikan dengan cara yang sama pada tingkat riset dan di antara mereka yang telah menyelesaikan pendidikan teologi yang dasariah. Salah satu tuntutan dasariah untuk kerja sama ekumenis pada pendidikan yang lebih tinggi – yang akan dibicarakan pada nomor 196-203 – adalah bahwa para peserta mengenal baik-baik iman mereka dan tradisi Gereja mereka sendiri. Pendidikan teologi di Seminari dan tingkat pertama dalam kuliah, dimaksudkan untuk memberikan kepada para mahasiswa pendidikan dasar tadi. Gereja Katolik, seperti juga Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya, merencanakan program-program dan kuliah-kuliah yang dianggapnya cocok untuk maksud tadi dan memilih Direktur dan Dosen-dosen yang dianggap memenuhi syarat. Yang dijadikan pedoman ialah bahwa para dosen kuliah-kuliah mengenai ajaran katolik haruslah orang-orang katolik. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar untuk masuk ke dalam ekumene dan teologi ekumenis, yang merupakan salah satu dasar yang penting dalam pembinaan teologi, diberikan oleh dosen-dosen katolik.[177] Bila keprihatinan fundamental dari Gereja mengenai tujuan, nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan dari pendidikan awal di bidang teologi dihormati, maka para mahasiswa dan para dosen dari Seminari-Seminari katolik dan Fakultas-Fakultas Teologi dapat bekerja sama secara ekumenis, dengan macam-macam cara. Sikap serupa ini dimengerti dan juga merupakan sikap banyak Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya.
193. Norma untuk memajukan dan mengatur kerja sama antara orang-orang katolik dengan orang-orang kristen lainnya, pada tingkat Seminari dan Tahun pertama Teologi, harus ditentukan oleh Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja, khususnya sejauh menyangkut pendidikan dari para calon tahbisan. Hendaknya pendapat dari komisi ekumene dalam hal ini didengarkan. Pedoman yang dianggap cocok hendaknya dimasukkan dalam Program Pendidikan Imamat, yang digariskan sesuai dengan Dekrit tentang Pendidikan para Calon Imam Optatam totius. Karena lembaga-lembaga pendidikan para anggota Kongregasi Religius mungkin juga terlibat dalam kerja sama ekumenis semacam ini dalam pendidikan teologi, maka para superior atau wakil mereka hendaknya ikut memberikan sumbangan dalam menyusun peraturan-peraturan, selaras dengan Dekrit Konsili Christus Dominus.[178]
194. Para mahasiswa katolik boleh menghadiri kursus-kursus khusus yang diberikan pada lembaga-lembaga, termasuk Seminari-Seminari, yang dimiliki oleh orang-orang kristen dari Gereja-Gereja dan Jemaat gerejawi lainnya, sesuai dengan kriteria untuk pembinaan para mahasiswa katolik. Mereka harus menaati norma-norma yang mungkin diberikan oleh Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik atau Konferensi Waligereja. Bila harus diambil suatu keputusan mengenai apakah mereka akan menghadiri kuliah-kuliah khusus atau tidak, maka haruslah diperhatikan kegunaan dari kuliah tadi dalam konteks umum dari pendidikan mereka, kualitas dan sikap ekumenis dari dosen, tingkat kesiapan dari para mahasiswa sendiri, begitu pula kematangan rohani dan kejiwaan mereka. Bila kuliah-kuliah sangat dekat hubungannya dengan soal-soal ajaran, maka diperlukan perhatian yang lebih saksama sebelum menentukan keikut sertaan dari para mahasiswa. Pembinaan para mahasiswa dan perkembangan semangat ekumene mereka, haruslah dilakukan secara bertahap.
195. Dalam siklus kedua dan ketiga dari Fakultas dan Seminari, setelah para mahasiswa mendapatkan pendidikan dasar, maka para dosen dari Gereja dan Jemaat lain, boleh diundang untuk memberikan kuliah mengenai pendirian teologis dari Gereja dan Jemaat yang mereka wakili, untuk melengkapi pembinaan ekumene dari para mahasiswa yang telah mereka terima dari para dosen mereka yang katolik. Dosen-dosen semacam ini dapat memberikan kuliah-kuliah yang bersifat teknis, seperti misalnya kursus bahasa, kuliah mengenai media komunikasi, sosiologi keagamaan, dan lain-lain. Dalam menentukan norma-norma untuk mengatur hal ini, Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dan Konferensi Waligereja hendaknya mengingat derajat perkembangan yang telah tercapai dalam gerakan ekumenis di negeri mereka serta keadaan hubungan antara orang-orang katolik dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya.[179] Secara khusus hendaknya mereka menentukan bagaimana kriteria dari Gereja Katolik mengenai kualifikasi dari para dosen, jangka waktu mereka mengajar dan cocok tidaknya isi dari kuliah mereka[180] untuk diterapkan dalam wilayah mereka. Mereka juga hendaknya memberikan petunjuk-petunjuk bagaimanakah ajaran yang diterima oleh mahasiswa katolik dalam kuliah-kuliah semacam itu, dapat diintegrasikan dengan seluruh program. Dosen-dosen yang diundang hendaknya digolongkan dalam kelompok “dosen tamu”. Bila perlu, lembaga-lembaga katolik hendaknya mengorganisir seminar-seminar atau kursus-kursus untuk menempatkan dalam konteks keseluruhan, kuliah-kuliah yang diberikan oleh para dosen dari Gereja dan Jemaat lain. Para dosen katolik yang diundang untuk memberikan kuliah, dalam situasi yang serupa, di Seminari-Seminari dan Sekolah Teologi dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lain, hendaknya dengan senang hati bertindak demikian dengan persyaratan yang sama. Tukar-menukar dosen semacam ini, yang menghargai kepentingan dari masing-masing Gereja dan Jemaat, demi pembinaan dasar para anggotanya, dan lebih-lebih pembinaan mereka yang dipanggil untuk menjadi pemuka-pemuka, merupakan suatu bentuk kerja sama ekumenis yang efektif dan memberikan kesaksian yang tepat mengenai keprihatinan kristiani untuk mendapat ajaran yang sehat dalam Gereja Kristus.
Dalam Penelitian Teologis dan Studi Pasca Sarjana
196. Suatu bidang yang lebih luas dalam bidang kerja sama ekumenis terbuka untuk mereka yang terlibat dalam penelitian teologis dan kuliah pada tingkat pasca-sarjana, daripada dalam tingkat Seminari atau pada tingkat mahasiswa. Kematangan para peserta (para peneliti, dosen, mahasiswa) dan tingkat studi lebih lanjut yang sudah diperoleh dalam iman dan teologi mengenai Gerejanya sendiri memberikan suatu rasa aman tertentu dan sumbangan bagi kerja sama mereka, suatu hal yang tak dapat diharapkan dari mereka yang masih dalam pendidikan sebagai mahasiswa atau di Seminari.
197. Kerja sama dalam studi lebih lanjut dilakukan oleh para ahli yang saling berkonsultasi dan saling tukar menukar hasil penelitian mereka dengan para ahli dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lain. Kerja sama ini dilakukan oleh kelompok-kelompok ekumenis dan perkumpulan para ahli, yang didirikan untuk maksud ini. Kerja sama tadi harus ditemukan secara khusus dalam macam-macam bentuk hubungan yang terjadi antara lembaga-lembaga studi teologi yang menjadi milik macam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi.Hubungan dan kerja sama semacam itu yang mereka lakukan, dapat membantu memberikan suatu corak ekumenis pada semua karya dari lembaga-lembaga yang ikut ambil bagian. Semuanya ini akan menyebabkan mereka bisa saling tukar menukar tenaga, perpustakaan, kuliah-kuliah, rencana dan sumber-sumber lain, yang bisa menguntungkan para peneliti, para dosen dan para mahasiswa.
198. Kerja sama ekumenis secara khusus diperlihatkan dalam minat dari lembaga-lembaga tadi yang didirikan dalam fakultas-fakultas teologi yang ada untuk penelitian dan pendidikan khusus dalam teologi ekumenis atau untuk praktik pastoral ekumenisme. Kerja sama tadi juga dapat menguntungkan lembaga-lembaga yang tergantung dari mereka, yang didirikan untuk maksud yang sama. Meskipun lembaga-lembaga tadi mungkin menjadi milik suatu Gereja atau Jemaat tertentu, mereka akan lebih bermanfaat bila bekerja sama secara aktif dengan lembaga-lembaga serupa yang dimiliki Gereja-Gereja lain. Dari segi pandangan ekumenis mungkin bergunalah bila lembaga-lembaga semacam itu mempunyai anggota dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya, sebagai staf mereka dan dalam Dewan Mahasiswa mereka.
199. Pengaturan dan administrasi dari lembaga-lembaga dan struktur-struktur untuk kerja sama ekumenis dalam studi teologi, biasanya hendaknya diserahkan kepada mereka yang memimpin lembaga tersebut, dan kepada mereka yang bekerja di dalamnya dengan suatu semangat kebebasan akademis yang sah. Agar secara ekumenis berhasil maka dituntut dari mereka agar bekerja sama secara erat dengan para pimpinan dari Gereja dan Jemaat, yang diikuti oleh para anggotanya. Bila lembaga yang terlibat dalam struktur kerja sama semacam itu merupakan bagian dari suatu fakultas teologi yang sudah menjadi milik Gereja katolik, atau didirikan olehnya sebagai suatu lembaga terpisah di bawah pimpinannya, maka hubungannya dengan pimpinan Gereja dalam kegiatan ekumenis akan dirumuskan dalam pasal-pasal mengenai kesepakatan dalam kerja sama.
200. Lembaga-lembaga antar-Gereja, yang didirikan dan diurus secara bersama oleh beberapa Gereja dan Jemaat gerejawi,secara khusus akan sangat efektif untuk mengurus topik-topik yang merupakan keprihatinan bersama dari semua orang kristen. Studi bersama mengenai pertanyaan-pertanyaan tertentu akan memberikan sumbangan bagi pemecahan persoalan-persoalan dan disetujui kebijakan-kebijakan yang sesuai, dengan demikian ikut memberikan sumbangan bagi kemajuan persatuan umat kristen. Di sini dapat disebutkan beberapa pertanyaan: karya misi,hubungan dengan agama-agama bukan kristiani, ateisme dan sikap tidak percaya, penggunaan media komu nikasi sosial, arsitektur dan seni sakral, persoalan-persoalan teologis seperti misalnya penjelasan tentang Kitab Suci, sejarah keselamatan dan teologi pastoral. Tanggung jawab dari lembaga-lembaga semacam ini kepada pimpinan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang terlibat, haruslah dirumuskan dengan jelas dalam statuta mereka.
201. Perkumpulan-perkumpulan atau Lembaga-lembaga dapat didirikan untuk mengadakan studi bersama mengenai pertanyaan-pertanyaan teologis dan pastoral, oleh para pelayan dari macam-macam Gereja dan Jemaat. Di bawah bimbingan dan dengan bantuan dari para ahli di berbagai bidang, para pelayan gerejawi tadi mendiskusikan dan menganalisa bersama-sama segi-segi teoretis dan praktis dari pelayanan mereka dalam Jemaat mereka sendiri, dalam segi-segi ekumenisnya dan sumbangannya bagi kesaksian kristiani secara bersama-sama.
202. Bidang studi dan penelitian dalam lembaga-lembaga untuk kegiatan dan kerja sama ekumenis dapat meliputi seluruh kenyataan ekumene, atau dapat dibatasi pada pertanyaan-pertanyaan khusus yang dipelajari secara mendalam. Bila lembaga-lembaga tadi mengkhususkan diri dalam mempelajari salah satu bidang ekumenisme (mis: Tradisi Ortodoks, Protestantisme, Gereja Anglikan, juga soal-soal yang disebutkan pada nomor 200), maka penting bahwa mereka mempelajari hal itu dalam konteks seluruh gerakan ekumenisme serta semua pertanyaan lain yang ada hubungannya dengan persoalan yang dibahas.
203. Lembaga-lembaga katolik dianjurkan untuk menjadi anggota dari perkumpulan-perkumpulan ekumenis yang dimaksudkan untuk memajukan perbaikan dalam standard dari pendidikan teologi, melatih dengan lebih baik mereka yang akan ditugaskan untuk pelayanan pastoral dan agar terjadi kerja sama yang lebih baik, antara mereka juga hendaknya terbuka pada saran-saran yang sekarang ini kerap diajukan oleh para penguasa umum dan universitas-universitas yang bukan milik Gereja, untuk mempersatukan macam-macam lembaga, yang ada hubungannya dengan mereka guna mempelajari agama. Keanggotaan dalam perkumpulan ekumenis semacam itu serta keterlibatan mereka dalam mengajar di lembaga-lembaga yang terkait, haruslah menghormati otonomi yang sah dari lembaga-lembaga katolik dalam soal membuat program studi, isi ajaran dari kuliah-kuliah yang diberikan, dan pendidikan rohani dan imamat dari para mahasiswa yang akan ditahbiskan.
Kerja sama Pastoral dalam Situasi-Situasi Khusus
204. Meskipun tiap-tiap Gereja dan Jemaat gerejawi menjalankan reksa pastoral bagi anggota mereka dan secara tak tergantikan dibina oleh para pelayan jemaat mereka masing-masing, namun ada situasi-situasi tertentu di mana kebutuhan agama dari umat kristiani mungkin dapat dilayani dengan lebih baik dan lebih efektif bila para petugas pastoral, entah ditahbiskan atau yang awam, dari macam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi, bekerja bersama-sama. Bentuk kerja sama ekumenis semacam ini dapat dilakukan dengan berhasil dalam reksa pastoral kepada mereka yang ada dalam rumah-rumah sakit, penjara-penjara, angkatan bersenjata, universitas-universitas serta kompleks-kompleks industri yang besar. Kerja sama semacam ini juga efektif untuk menyampaikan pesan kristiani dalam dunia media komunikasi. Untuk mengkoordinir pelayanan-pelayanan ekumenis yang khusus ini, hendaknya diperhatikan struktur-struktur pastoral setempat dari masing-masing Gereja. Kerja sama akan lebih mudah berhasil bila struktur-struktur tadi sudah diresapi dengan semangat ekumenis dan melaksanakan kerja sama ekumenis dengan unit-unit lokal dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang bersangkutan. Pelayanan liturgis, lebih-lebih pelayanan Ekaristi dan Sakramen-Sakramen lainnya, dalam kerja sama semacam itu diatur menurut norma-norma yang diberikan oleh masing-masing Gereja dan Jemaat bagi para anggota mereka, sedangkan untuk orang-orang katolik seperti yang dinyatakan pada bab IV dari Pedoman ini.
Kerja sama dalam Kegiatan Misioner
209. Kesaksian bersama, yang diberikan oleh segala bentuk kerja sama ekumenis sudah bersifat misioner. Gerakan ekumenis sesungguhnya berjalan bersamaan dengan suatu penemuan baru oleh banyak Jemaat, yang berdasarkan hakikat misioner Gereja.
Kerja sama ekumenis memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka yang percaya kepada Kristus hidup berdasarkan Roh, dengan demikian menjadi anak-anak Allah yang menjadi Bapa semua orang, dapat mulai mengatasi mengatasi perpecahan-perpecahan manusiawi, bahkan juga dalam hal-hal yang peka seperti misalnya iman dan praktik keagamaan, dengan penuh keberanian dan pengharapan. Perpecahan-perpecahan yang ada di antara orang-orang kristiani tentu merupakan hambatan yang besar bagi pewartaan Injil yang berhasil.[181] Namun usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasinya, banyak memulihkan batu sandung an tadi dan memberikan kredibilitas kepada orang-orang kristiani yang mewartakan bahwa Kristuslah yang mempersatukan semua hal dan semua orang dalam diri-Nya: “Sebagai penginjil-penginjil, kita harus menyajikan citra Kristus yang setia, bukan gambaran umat yang terbagi-bagi dan terpisah-pisah karena pertengkaran yang tidak membangun, tapi gambaran umat yang matang dalam iman dan mampu menemukan titik temu di balik ketegangan-ketegangan yang nyata, berkat suatu usaha bersama-sama mencari kebenaran dengan jujur dan tanpa pamrih. Nasib evangelisasi tentu tergantung saja terkait dengan kesaksian mengenai persatuan, yang diberikan oleh Gereja. Ini merupakan suatu sumber tanggungjawab dan juga hiburan.”[182]
206. Kesaksian ekumenis dapat diberikan dalam kegiatan misioner itu sendiri. Bagi orang-orang katolik, dasar kerja sama ekumenis dengan orang-orang kristen lain dalam perutusan ialah “dasar dari Baptis dan warisan iman yang sama buat kita.”[183]
Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya yang mengajak orang-orang untuk beriman kepada Kristus Penebus dan kepada Baptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, mengajak mereka ke persatuan yang nyata meskipun tidak penuh, yang ada di antara mereka dengan Gereja Katolik. Orang-orang katolik menginginkan bahwa semua orang yang dipanggil kepada iman kristiani untuk bergabung dengan mereka dalam kepenuhan persatuan, yang mereka yakini ada dalam Gereja Katolik. Tetapi orang-orang katolik juga mengakui bahwa dalam Penyelenggaraan Allah bahwa beberapa orang akan menghayati hidup kristiani mereka di Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi yang tidak memberikan kepenuhan semacam itu. Mereka hendaknya dengan penuh perhatian menghargai iman yang hidup dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya, yang mewartakan Injil, dan bersuka cita dalam rahmat Allah yang bekerja di antara mereka.
207. Orang-orang katolik dapat bergabung dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi di dalam organisasi-organisasi dan program-program yang memberikan dukungan bersama kepada kegiatan misioner dari Gereja-Gereja yang ikut bergabung, asalkan tidak ada yang bersifat sektarian atau dengan sengaja bersifat anti-katolik dalam karya evangelisasi mereka. Suatu pokok khusus dari kerja sama semacam itu hendaknya menjamin bahwa faktor-faktor manusiawi, budaya dan politik yang tersangkut dalam perpecahan pada awal mula antara Gereja-Gereja, dan telah menandai tradisi sejarah dari perpecahan tadi, hendaknya tidak dipindahkan atau ditanamkan di daerah-daerah di mana Injil sedang diwartakan dan Gereja-Gereja sedang dibangun. Mereka yang telah dikirim oleh lembaga-lembaga misionaris untuk membantu berdirinya dan tumbuhnya Gereja-Gereja baru, hendaknya secara khusus peka terhadap kebutuhan ini. Para Uskup hendaknya memberikan perhatian khusus pada hal ini. Uskuplah yang berhak menentukan apakah perlu menekankan secara khusus butir-butir ajaran dan kesusilaan, di mana Gereja Katolik berbeda dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya. Mungkin Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat tadi juga perlu berbuat serupa dalam hubungannya dengan Gereja Katolik. Tapi semua tadi harus dilakukan bukan dengan semangat kebencian atau sektarian, tapi dengan saling menghormati dan dengan kasih.[184] Mereka yang baru bertobat ke dalam iman hendaknya dengan hati-hati dibina dalam semangat ekumene, “sehingga enyahlah setiap kesan sikap masa bodoh dan mencampur adukkan maupun persaingan yang tidak sehat, dan sejauh mungkin umat katolik bekerja sama dengan saudara-saudara yang terpisah, dalam pengikraran iman bersama akan Allah dan akan Yesus Kristus di hadapan para bangsa, pun juga dalam kerja sama di bidang sosial dan teknis maupun di bidang kebudayaan dan keagamaan.”[185]
208. Kerja sama ekumenis sangatlah penting sekali di dalam perutusan kepada orang banyak pada zaman sekarang ini yang mengalami dekristenisasi. Kemampuan orang kristiani, kendati masih terpisah-pisah, untuk memberikan kesaksian bersama mengenai kebenaran-kebenaran pokok dari Injil,[186] pada zaman sekarang ini, dapat merupakan suatu ajakan yang kuat untuk menghargai iman kristiani secara baru dalam suatu masyarakat yang sekuler. Suatu penilaian bersama mengenai bentuk-bentuk ateisme, sekularisasi dan materialisme, yang terjadi pada dunia zaman sekarang ini, serta suatu strategi bersama untuk menghadapinya, akan sangat menguntungkan perutusan kristiani kepada dunia modern.
209. Hendaknya ada tempat khusus untuk kerja sama antara para anggota dari macam-macam Gereja dan Jemaat, di dalam refleksi yang perlu diadakan terus menerus mengenai arti perutusan kristiani, mengenai soal melakukan dialog keselamatan dengan umat dari agama-agama lain dan pertanyaan umum mengenai hubungan antara pewartaan Injil Kristus dengan kebudayaan-kebudayaan dan cara berpikir dari dunia modern.
Kerja sama Ekumenis dalam Dialog dengan Agama-agama lain.
210. Terjadi hubungan yang semakin meningkat dalam dunia sekarang ini antara orang-orang kristiani dengan orang-orang dari agama-agama lain. Hubungan-hubungan tadi secara radikal berbeda dengan hubungan antara Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi lainnya, yang bertujuan memulihkan persatuan yang dikehendaki Kristus di antara murid-murid-Nya dan dengan tepat disebut ekumenis. Tetapi dalam praktik hubungan-hubungan tadi secara mendalam dipengaruhi tapi juga pada gilirannya juga mempengaruhi hubungan-hubungan ekumenis. Melalui hubungan-hubungan tadi orang-orang kristiani dapat memperdalam tingkat persatuan yang ada di antara mereka sendiri, dan dengan demikian juga dianggap sebagai salah bagian yang penting dalam kerja sama ekumenis. Secara khusus hal ini memang benar, sehubungan dengan semua yang telah dilakukan untuk mengembangkan hubungan-hubungan keagamaan yang khusus antara orang-orang kristiani dengan orang Yahudi.
Bagi orang-orang katolik, petunjuk-petunjuk mengenai hubungan dengan umat Yahudi dibimbing oleh Komisi untuk Hubungan Keagamaan dengan Orang-Orang Yahudi. Hubungan dengan umat agama-agama lain dibimbing oleh Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama. Di dalam mengerjakan hubungan keagamaan dengan orang-orang Yahudi dan dengan umat-umat dari agama-agama lain, sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang seharusnya, orang-orang katolik dapat menemukan banyak kesempatan untuk bekerja sama dengan para anggota dari Gereja dan Jemaat lain. Ada banyak bidang di mana orang-orang kristiani dapat bekerja bersama untuk memupuk dialog dan aksi bersama dengan orang-orang Yahudi, seperti misalnya berjuang melawan semangat anti-Yahudi, fanatisme keagamaan dan sektarianisme. Kerja sama dengan umat beriman lainnya dapat terjadi dengan memajukan perspektif keagamaan dalam soal-soal keadilan dan perdamaian, dukungan untuk hidup keluarga, hormat pada kelompok-kelompok minoritas. Kerja sama semacam ini dapat juga menangani banyak soal-soal baru pada zaman sekarang ini. Dalam kontak-kontak antar agama tadi, orang-orang kristiani dapat bersama-sama menggunakan sumber-sumber yang berasala dari Kitab Suci yang mereka miliki bersama dan sumber-sumber teologis, dengan demikian menempatkan pandangan kristiani pada suatu konteks yang lebih luas, dengan demikian juga mendorong kesatuan di antara umat kristiani.
Kerja sama Ekumenis dalam Kehidupan Sosial dan Budaya
211. Gereja katolik menganggap bahwa kerja sama ekonomis dalam kehidupan sosial dan budaya merupakan suatu segi penting dalam karya menuju ke persatuan. Dektrit tentang Ekumenisme melihat kerja sama demikian itu sebagai suatu ungkapan yang jelas dari ikatan yang mempersatukan semua orang yang telah dibaptis.[187] Oleh karena alasan inilah maka Gereja mendorong dan mendukung bentuk-bentuk yang sangat konkret dari kerja sama semacam ini: “Kerja sama antara semua orang kristen secara cermelang mengungkapkan persatuan yang sudah ada antara mereka, dan lebih jelas menampilkan wajah Kristus Sang Hamba. Kerja sama itu, yang sudah dimulai di banyak negara, hendaknya makin dipererat, terutama di daerah-daerah, yang tengah mengalami perkembangan sosial dan teknologi, dalam usaha menghargai sepantasnya martabat pribadi manusia, dalam memajukan perdamaian, dalam menerapkan Injil pada situasi kemasyarakatan, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun kesenian dalam suasana kristen, dalam menggunakan segala macam usaha untuk menanggulangai penderitaan-penderitaan zaman sekarang, misalnya : kelaparan dan bencana-bencana, buta aksara dan kemelaratan, kekurangan akan perumahan, dan pembagian harta benda yang tidak adil.”[188]
212. Sebagai suatu prinsip umum, kerja sama ekumenis dalam kehidupan sosial dan budaya haruslah dilaksanakan dalam konteks keseluruhan dari persatuan kristiani. Bila kerja sama tadi tidak dilengkapi dengan bentuk-bentuk ekumenisme yang lain, lebih-lebih doa dan tukar menukar pengalaman rohani, dapat dengan mudah dikaburkan dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan politis semata-mata, dengan demikian merupakan suatu hambatan untuk mencapai kemajuan dalam persatuan. Seperti halnya semua bentuk ekumenisme, kerja sama tadi harus dilaksanakan di bawah pengawasan dari Ordinaris wilayah, Konferensi Waligereja atau Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik.
213. Melalui kerja sama semacam itu maka semua umat yang percaya kepada Kristus dapat dengan mudah belajar bagaimanakah mereka dapat saling memahami dengan lebih baik dan dengan demikian menyiapkan jalan menuju ke persatuan kristiani.[189] Pada banyak kesempatan, Paus Yohanes Paulus II telah menegaskan keterlibatan Gereja Katolik pada kerja sama ekumenis.[190] Penegasan yang sama diungkapkan dalam pernyataan bersama antara Kardinal Johannes Willebrands dan Dr. Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja-Gereja Sedunia, pada kesempatan kunjungan Santo Bapa ke kantor pusat Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Jenewa, th 1984.[191] Berdasarkan pada hal ini maka Pedoman Ekumenisme memberikan beberapa contoh kerja sama pada macam-macam tingkat tanpa berpretensi bahwa hal ini bersifat menyeluruh.[192]
a. Kerja sama dalam Studi Bersama mengenai Persoalan-persoalan Sosial dan Etis.
214. Konferensi Waligereja, Regional atau Nasional, dalam kerja sama dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya, serta juga dengan Dewan Gereja-Gereja, dapat juga mengadakan kelompok-kelompok untuk menyampaikan ungkapan bersama mengenai nilai-nilai kristiani dan manusiawi.
Semacam penilaian bersama ini akan membantu untuk memberikan titik awal bagi penanganan secara ekumenis persoalan-persoalan sosial dan ethis; juga akan membuka dimensi sosial dan moral dari persatuan tidak utuh yang sekarang ini dimiliki oleh orang-orang kristen dari macam-macam Gereja dan Jemaat.
Maksud dari studi bersama ini ialah untuk memajukan suatu budaya kristiani, suatu “budaya kasih” – humanisme kristiani, yang kerap kali dibicarakan oleh Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II. Untuk membangun budaya ini, kita dengan jelas harus menetapkan nilai-nilai yang membentuknya maupun yang mengancamnya. Oleh karena itu dengan jelas studi tersebut akan meliputi, misalnya suatu penilaian kristiani terhadap nilai kehidupan, arti kerja manusia, persoalan keadilan dan perdamaian, kebebasan agama, hak-hak azasi dan hak memiliki tanah. Studi juga akan dipusatkan pada faktor-faktor dalam masyarakat yang mengancam nilai-nilai dasar, seperti misalnya kemiskinan, rasialisme, konsumerisme, terorisme, dan segala sesuatu yang mengancam perkembangan hidup manusia pada tingkatan mana saja. Tradisi yang cukup lama dari ajaran sosial Gereja akan memberikan pedoman yang diharapkan serta ilham untuk kerja sama semacam ini.
b. Kerja sama dalam Bidang Pengembangan, Kebutuhan Manusiawi dan Pengaturan Alam Ciptaan
215. Ada hubungan batin antara perkembangan, kebutuhan manusia dan pengaturan alam ciptaan. Pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa perkembangan dalam menanggapi kebutuhan manusia tidak boleh menyalah gunakan atau menggunakan sumber-sumber alam secara berlebih-lebihan, sebab akan menimbulkan akibat-akibat yang serius.
Tanggung jawab untuk memelihara alam ciptaan, yang dalam dirinya sendiri mempunyai suatu martabat khusus, diberikan oleh Sang Pencipta sendiri kepada semua orang, sejauh mereka menjadi penguasa seluruh ciptaan.[193] Orang-orang katolik didorong untuk ikut, pada macam-macam tingkat, bergabung dalam prakarsa-prakarsa bersama yang dimaksudkan untuk mempelajari dan mengambil tindakan menghadapi soal-soal yang mengancam martabat ciptaan dan membahayakan seluruh umat manusia. Topik-topik lain untuk studi dan aksi bersama, dapat meliputi juga soal-soal seperti misalnya bentuk-bentuk tertentu dari industrialisasi yang cepat dan tak terkendali serta teknologi yang menyebabkan pencemaran pada lingkungan alam di sekitarnya serta menimbulkan akibat-akibat yang serius pada keseimbangan alam, penggundulan hutan-hutan, percobaan nuklir dan penggunaan secara tidak rasional atau penyalahgunaan terhadap sumber-sumber alami yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui lagi. Suatu segi yang penting dalam aksi bersama dalam bidang ini ialah mendidik orang-orang untuk menggunakan sumber-sumber dan juga menggunakannya dengan secara terencana serta memelihara alam ciptaan.
Bidang perkembangan, yang secara dasariah merupakan jawaban terhadap kebutuhan manusia, memberikan macam-macam kemungkinan untuk kerja sama antara Gereja katolik dengan Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat lainnya, pada tingkat regional maupun nasional dan tingkat lokal. Kerja sama semacam itu meliputi di antaranya, bekerja untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih adil, untuk perdamaian, untuk memajukan hak-hak dan martabat kaum wanita, dan supaya ada pembagian sumber-sumber secara lebih adil dan merata. Dalam arti demikian tadi, maka ada kemungkinan diusahakan pelayanan bersama terhadap kaum miskin, orang-orang sakit, orang-orang cacat, kaum lanjut usia dan mereka yang menderita karena “dosa-dosa akibat struktur-struktur” yang tidak adil.[194] Kerja sama dalam bidang ini secara khusus dianjurkan di tempat-tempat di mana sebagian besar penduduk tinggal terpusat di sana, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang berat di bidang perumahan, penyediaan pangan, air, pakaian, sarana dan perawatan kesehatan. Salah satu segi yang penting dalam kerja sama di bidang ini ialah ialah menangani persoalan orang-orang yang pindah tempat atau bermigrasi, para pengungsi dan para kurban bencana alam. Bila ada keadaan-keadaan darurat yang memerlukan bantuan dunia, maka Gereja katolik mendorong dikumpulkannya sumbangan dan bantuan-bantuan pada organisasi-organisasi internasional milik Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejawi, untuk menghemat beaya. Gereja juga mendorong kerja sama ekumenis dengan organisasi-organisasi internasional yang mengkhususkan diri dalam menangani hal-hal tadi.
c. Kerja sama dalam Bidang Pengobatan
216.Seluruh bidang kesehatan merupakan suatu tantangan yang sangat penting bagi kerja sama ekumenis. Di beberapa negara kerja-sama ekumenis yang dilakukan oleh Gereja-Gereja dalam program-program kesehatan adalah perlu sekali, bila pelayanan kesehatan yang memadai memang harus diberikan. Namun dengan meningkatnya kerja dalam seluruh bidang ini, baik itu pada tingkat penelitian maupun pada tingkat perawatan kesehatan secara praktis, akan menimbulkan persolan-persoalan etika medis, yang merupakan tantangan tapi juga suatu kesempatan untuk kerja sama ekumenis. Tugas yang telah disebutkan di atas, untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dasar yang selaras dengan hidup kristiani sangatlah mendesak, karena adanya perkembangan yang begitu cepat dalam bidang-bidang seperti genetika. Dalam konteks ini,petunjuk-petunjuk dari dokumen tahun 1975 tentang kerja sama ekumenis[195] sangatlah cocok: “Khususnya bila menyangkut norma-norma ethika, maka pendirian Gereja Katolik dalam hal ajarannya. haruslah dijelaskan dan kesulitan-kesulitan yang dapat ditimbulkannya sehubungan dengan kerja sama ekumenis, haruslah dihadapi dengan kejujuran dan kesetiaan pada ajaran Katolik.”
d. Kerja sama dalam Media Komunikasi Sosial.
217. Ada kemungkinan bekerja sama dalam hal ini, dengan menyadari hakikat dari media modern dan lebih-lebih tantangan-tantangannya bagi orang-orang kristiani pada masa sekarang ini. Kerja sama dalam bidang ini meliputi: cara-cara memasukkan prinsip-prinsip kristiani dalam media komunikasi dan mempelajari masalah-masalah yang dijumpai dalam bidang ini, serta mendidik orang-orang untuk secara kritis menggunakan media komunikasi. Kelompok-kelompok antar Gereja, secara khusus dapat sangat efektif sebagai dewan penasihat dalam media sekuler, khususnya dalam menangani masalah-masalah keagamaan. Secara khusus hal ini akan berguna di negara-negara di mana sebagian besar para pemirsa,pendengar atau pembaca dari suatu Gereja atau Jemaat tertentu. “Hampir tidak ada batasnya kesempatan-kesempatan untuk mengadakan kerja sama semacam ini. Beberapa di antaranya yang jelas: program bersama pada siaran radio dan televisi; proyek pendidikan dan pelayanan, lebih-lebih untuk para orang tua dan kaum muda; pertemuan dan diskusi antara para professional pada tingkat internasional; pengakuan akan prestasi di bidang ini dengan memberikan penghargaan tiap tahun; kerja sama dalam penelitian mengenai media komunikasi dan lebih-lebih melatih dan mendidik secara profesional.”[196] Bila struktur-struktur antar Gereja, di mana orang katolik ikut ambil bagian secara penuh, sudah ada, hendaknya diperkokoh, khususnya dalam menggunakan radio dan televisi, serta dalam penerbitan dan karya audio-visual. Sekaligus tiap-tiap lembaga yang ikut ambil bagian hendaknya diberi kesempatan untuk mengemukakan ajaran dan praktik keagamaan mereka sendiri.[197]
218. Pentinglah bahwa kadang-kadang bekerja untuk saling membantu; entah misalnya meminta para ahli komukasi katolik untuk ikut ambil bagian dalam prakarsa-prakarsa yang diadakan oleh Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat, atau mengundang para ahli komunikasi dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat tadi untuk ikut ambil bagian dalam inisiatif yang diprakarsai Gereja Katolik. Kerja sama ekumenis juga dapat dilakukan dengan mengadakan tukar-menukar antara Organisasi-Organisasi Katolik Internasional dengan organisasi komunikasi dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat (seperti misalnya dalam merayakan Hari Komunikasi Sedunia). Menggunakan satelit dan jaringan-jaringan kabel televisi, memberikan kesempatan-kesempatan praktis untuk kerja sama ekumenis.[198] Jelaslah bahwa pada tingkat regional, kerja sama ekumenis semacam ini hendaknya terjadi dengan memperhatikan kerja sama dengan komisi-komisi ekumenis, dan pada tingkat internasional hendaknya berhubungan dengan Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani. Pembinaan para ahli komunikasi katolik hendaknya juga mencantumkan suatu persiapan yang serius mengenai ekumenisme.
Pada tanggal 25 Maret 1993, Bapa Suci Yohanes Paulus II telah mengesahkan Pedoman ini, diteguhkan dengan kewibawaannya dan memerintahkan agar Pedoman ini diterbitkan.
Kardinal Edward Idris Cassidy
Ketua
Ϯ Pierre Dupprey
Uskup Tituler dari Thibar
Sekretaris
[1] Sekretariat Untuk Persatuan Kristiani, Ecumenical Directory, Ad Totam Ecclesiam, AAS 1967, 574-592; AAS 1970, 705-724.
[2] Pidato Paus Yohanes Paulus II kepada Sidang Paripurna Sekretariat Untuk Persatuan Kristiani, tgl 6 Februari 1988, AAS 1988, 1203.
[3] Di antara dokumen-dokumen tadi, antara lain Motu Proprio Matrimonia Mixta, AAS 1970, 257-263; Refleksi dan Saran-saran mengenai dialog ekumenis, Sekretariat Persatuan Kristiani, Information Service (IS), 12, 1970, hlm. 5-11; Instruksi dalam hal memberikan izin kepada orang-orang Kristen lain untuk menerima Komuni dalam Ekaristi Gereja Katolik, AAS 1972, 518-525; Suatu Catatan mengenai interpretasi-interpretasi tertentu dari Instruksi mengenai kasus-kasus khusus kalau orang Kristen lain diizinkan untuk menerima Komuni dalam Ekaristi Gereja Katolik, AAS 1973, 616-619; Dokumen tentang Kerja sama Ekumenis pada tingkat Regional, Nasional dan Lokal, Sekretariat Untuk Persatuan Kristiani, IS 29,1975, hlm 8-31; Paus Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (EN), 1975; Johanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana (SapC) mengenai Universitas-Universitas dan Fakultas-Fakultas Gerejani, 1979; Johanes Paulus II, Imbauan Apostolik Catechesi tradendae, 1979; dan Relatio finalis Sinode Luar Biasa Para Uskup, 1985; Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis dari Kongregasi Untuk Pendidikan Katolik, Roma, 1985; Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae, AAS 1990, 1475-1509.
[4] AAS 1988, 1204.
[5] Bdk. KHK, kanon 755; Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 902 dan 904, paragraf 1. Dalam Pedoman ini,kata sifat Katolik dimaksudkan untuk umat beriman dan Gereja-Gereja yang bersatu secara penuh dengan Uskup Roma.
[6] Lih. no 35-36 di bawah.
[7] Konstitusi Apostolik Pastor bonus menyatakan: “Art. 135: Fungsi dari Dewan ialah untuk secara tepat memusatkan perhatian pada prakarsa-prakarsa dan kegiatan ekumenis demi membangun kembali persatuan di antara orang-orang kristiani.” “Art. 136: (1) Dewan memperhatikan agar Dekrit-Dekrit Konsili Vatikan Kedua yang berhubungan dengan soal-soal ekumenisme dilaksanakan. Dewan berurusan dengan soal tafsiran yang tepat mengenai prinsip-prinsip ekumenisme dan perintah untuk melaksanakannya. (2) Dewan mendorong, mempersatukan dan mengkoordinir organisasi-organisasi nasional dan internasional yang mengembangkan persatuan orang-orang Kristiani, dan menaruh perhatian pada inisiatif mereka. (3) Setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan Sri Paus, Dewan memperhatikan hubungan-hubungan dengan orang-orang Kristiani dari Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat gerejani yang belum bersatu secara penuh dengan Gereja Katolik. Terlebih-lebih menyelenggarakan dialog dan percakapan-percakapan untuk memajukan kesatuan dengan mereka, tugas ini dilakukan dengan mengikut sertakan para ahli yang terlatih, yang mempunyai ajaran teologis yang sehat dan benar. Dewan menugaskan para peninjau Katolik untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh orang-orang Kristen dan mengundang para peninjau dari Gereja-Gereja lain serta Jemaat-Jemaat gerejani di dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan orang-orang Katolik, bilamana dianggap cocok untuk mereka.” “Art. 137: (1) Oleh karena persoalan-persoalan yang ditangani oleh Departemen ini, dari hakikatnya kerap kali menyentuh persoalan-persoalan iman, maka harus dilaksanakan dalam kerja sama yang erat dengan Kongregasi Ajaran Iman, lebih-lebih menyangkut penerbitan Dokumen-dokumen yang bersifat publik serta membuat pernyataan-pernyataan. (2) Namun di dalam melaksanakan hal-hal yang penting, yang berhubungan dengan Gereja-Gereja Timur yang terpisah, haruslah lebih dahulu berkonsultasi dengan Kongregasi Gereja-Gereja Timur.”
[8] Bila tidak disebutkan dengan cara lain, maka istilah Gereja khusus, yang digunakan dalam seluruh Pedoman ini dimaksudkan untuk menyebut suatu Dioses, Eparchy atau wilayah gerejawi yang sejajar dengannya.
[9] Yoh 17 : 21; Bdk Ef 4 : 12.
[10] Konstitusi Dogmatik Lumen gentium (LG) no 1.
[11] Bdk. LG 1-4 dan juga Dekrit Konsili tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio (UR), no 2.
[12] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 2.
[13] Lumen Gentium, no 2 dan 5.
[14] Unitatis Redintegratio, no 2; bdk Ef 4:12.
[15] Lumen Gentium, Bab III.
[16] Kis 2:42.
[17] Relatio finalis dari Sinode Luar Biasa Para Uskup tahun 1985, “Eklesiologi mengenai persatuan adalah gagasan pokok dan fundamental dari Dokumen-dokumen Konsili” (C,1). Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Surat pada para Uskup Gereja Katolik tentang segi-segi tertentu dari Gereja sebagai Persekutuan (28 Mei 1992).
[18] Bdk. Lumen Gentium, no 14.
[19] Dekrit Konsili tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja, Christus Dominus (CD), no. 11.
[20] Bdk. Lumen Gentium, no 22.
[21] Yoh. 17:21.
[22] Lumen Gentium, no 8.
[23] Lumen Gentium, no 9.
[24] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 3 dan 13.
[25] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 3: “Memanglah karena bermacam-macam perbedaan antara mereka dan Gereja Katolik, baik perihal ajaran dan adakalanya juga dalam tata tertib, maupun mengenai tata susunan Gereja, persekutuan gerejawi yang sepenuhnya terhalang oleh cukup banyak hambatan, di antaranya ada yang memang agak berat. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan itu.” Perbedaan-perbedaan semacam ini tetap berpengaruh dan kadang-kadang menimbulkan perpecahan-perpecahan baru.
[26] Unitatis Redintegratio, no 3.
[27] Unitatis Redintegratio, no 4.
[28] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 14-18. Istilah Ortodoks pada umumnya diterapkan pada Gereja-Gereja Timur yang menerima keputusan-keputusan Konsili Efese dan Chalcedon. Namun akhir-akhir ini, karena alasan historis,istilah tadi juga diterapkan juga pada Gereja-Gereja yang tidak menerima rumusan tentang ajaran, yang berasal dari salah satu Konsili tadi atau Konsili-Konsili yang lain (bdk. UR no 13).Untuk menghindarkan kebingungan maka istilah umum Gereja-Gereja Timur akan digunakan dalam seluruh Pedoman ini untuk menyebut semua Gereja dari macam-macam Tradisi Timur, yang tidak bersekutu secara penuh dengan Gereja Roma.
[29] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 21-23.
[30] Ibid, no 3.
[31] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 4.
[32] Unitatis Redintegratio, no 2; Lumen Gentium, no 14; KHK, kan 205; KKGKT, kan 8.
[33] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 4, dan 15-16.
[34] Relatio finalis dari Sidang Luar iasa Para Uskup, 1985, C.7.
[35] Bdk. Yoh 17:21.
[36] Bdk. Rom 8:26-27.
[37] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 5.
[38] Bdk. no 92-101 di bawah.
[39] Di dalam Pedoman ini, bila digunakan istilah Waligereja setempat, juga dimaksudkan bagi hirarki lokal Gereja-Gereja Timur sesuai dengan istilah dalam KKGKT.
[40] Istilah Sinode-Sinode Gereja-Gereja Timur Katolik dimaksudkan untuk menyebut Pihak Penguasa yang berwewenang dalam Gereja-Gereja Timur Katolik sui juris, seperti yang terdapat dalam KKGKT.
[41] Bdk. Deklarasi dari Konsili Dignitatis Humanae (DH), no 4: “Dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan mana pun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Sekaligus Deklarasi yang sama ini juga menegaskan bahwa jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman mereka dan memberi kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan mau pun melalui tulisan.” (ibid).
[42] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 9-12 ; 16-18.
[43] Unitatis Redintegratio, no 8.
[44] 1 Kor 13:7.
[45] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 3.
[46] Bdk. Lumen Gentium, no 23; Christus Dominus, no 11; KHK, kan 383, 3 dan KKGKT, kan 192, 2.
[47] Bdk. KHK, kan 755,1; KKGKT, kan 902 dan 904, 1.
[48] Bdk. KHK, kan 216 dan 212; KKGKT, kan 19 dan 15.
[49] Bdk. Sekte-Sekte atau Gerakan-Gerakan keagamaan yang baru: Sebuah Tantangan Pastoral; sebuah laporan sementara berdasarkan pada jawaban-jawaban (kira-kira 75) dan dokumen-dokumen yang diterima sampai tgl. 30 Oktober 1985 dari Konferensi Waligereja regional atau nasional, SPCU, IS 1986, no 61, hlm. 144-154.
[50] Bdk. no 166-171 di bawah.
[51] Unitatis Redintegratio, no 4.
[52] Bdk. KKGKT, kan 904, 1; KHK, kan 755, 2.
[53] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 9 dan 11 dan Refleksi dan Saran-saran mengenai dialog ekumenis, op. cit.
[54] Bdk. Unitatis Redintegratio , no 12; Dekrit Konsili mengenai Kegiatan Misioner Gereja Ad gentes, no 12, dan Kerja sama Ekumenis pada tingkat Regional, Nasional dan Lokal, op.cit. no 3.
[55] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 5.
[56] Bdk. Ad Gentes, no 15; lih. juga ibid no 5 dan 29; bdk. EN, no 23, 28, 77; lih. juga di bawah nomor 205-209.
[57] Unitatis Redintegratio, no 5.
[58] Bdk. ibid, no 7.
[59] Ibid, no 6.
[60] Ambrosiaster, PL 17, 245.
[61] Bdk. KHK, kan 209, 1; KKGKT, kan 12, 1.
[62] Konstitusi Dogmatik tentang wahyu illahi Dei Verbum, no 21.
[63] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 21.
[64] Evangelii Nuntiandi, no 77.
[65] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 11; Ad Gentes, no 15. Untuk pertimbangan-pertimbangan mengenai hal ini, bdk. Petunjuk umum Katekese no 27, 43, dan bdk. di bawah no 75 dan 176.
[66] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 3-4.
[67] Bdk. Catechesi Tradendae, no 3 dan KKGKT, kan 625
[68] Bdk. Catechesi Tradendae, no 32.
[69] Ibid.
[70] Bdk. Unitatis Redintegratio, no 6 dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et spes, no 62.
[71] Tentang kerja sama di bidang katekese, lih. Catechesi Tradendae, no. 33 dan juga no 188-190 di bawah.
[72] Lih. Konstitusi mengenai Liturgi Suci Sacrosanctum concilium, no 14.
[73] Ibid., no 2
[74] Unitatis Redintegratio, no 2.
[75] Sacrosanctum Concilium, no 48.
[76] Unitatis Redintegratio, no 8.
[77] Bdk. ibid, no 7, Bdk. ibid, no 7.
[78] Bdk. Lumen Gentium, no 15 dan UR, no. 3.
[79] Bdk. no 102-142 di bawah.
[80] Bdk. no 161-218 di bawah.
[81] LG, no. 11
[82] Bdk. Evangelii Nuntiandi, no 71; lih. juga no. 143-160 di bawah.
[83] Paus Yohanes Paulus II, Seruan Apostolik Familiaris consortio, no 78.
[84] Bdk. KHK, kan 529, 2.
[85] Bdk. Dekrit Konsili Gravissimum educationis, no 6-9.
[86] Bdk. Lumen Gentium, no. 31.
[87] Unitatis Redintegratio, no. 24.
[88] Bdk. Gaudium et Spes, no. 62, 2: Unitatis Redintegratio, no. 6; Kongregasi Ajaran Iman Mysterium Ecclesiae, no. 5.
[89] Mysterium Ecclesiae, no. 5.
[90] Pedoman Ekumenis, AAS 1970, no. 74.
[91] Bdk. Mysterium Ecclesiae, no. 4; lih. juga no 61 a dan 176.
[92] Unitatis Redintegratio, no. 10; bdk. KHK, kan 256, 2; KKGKT, kan. 350, 4 dan 352, 3.
[93] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 14-17.
[94] Bdk. Unitatis Redintegratio, bab I.
[95] Bdk. ibid, bab. III.
[96] Bdk. no. 76-80 di atas.
[97] Bdk. no 194-195 di bawah.
[98] Bdk. no. 192-194 di bawah.
[99] Dekrit Konsili Perfectae caritatis, no. 2.
[100] Bdk. no. 50-51 di bawah.
[101] Bdk. Sapientia Christiana, Norma-norma Praktis, art 51, 1, b.
[102] Sapientia Chistiana, no. 69.
[103] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 22.
[104] Bdk. ibid no. 22.
[105] Dalam hubungan dengan semua orang kristiani, hendaknya dipertimbangkan bahaya tidak sahnya Baptis, bila Baptis tadi diberikan dengan percikan air, lebih-lebih bila diberikan kepada beberapa orang sekaligus.
[106] Bdk. Pedoman Ekumenis (1967)
[107] Bdk. KHK, kanon 874, 2. Menurut penjelasan yang diberikan oleh Acta Commissionis (Communicationes 5,1983, hlm. 182),kata jemaat gerejawi tidak mencakup Gereja-gereja Ortodoks Timur yang tidak dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik (Notatur insuper Ecclesias Orientales Ortodoksas in schemate sub nomine communitatis ecclesialis non venire)
[108] Bdk. Pedoman Ekumenis (1967), no. 48; KKGKT, kan 685,3.
[109] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 4; KKGKT, kan 881, 1.
[110] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 4.
[111] Bdk. KHK, kan. 869, 2 dan no. 95 di atas.
[112] Bdk. KHK, kan. 869, 1 dan 3.
[113] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 8.
[114] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 3 dan 8; lih. juga nomor 116 di bawah.
[115] Bdk. Lumen Gentium, no. 8; Unitatis Redintegratio, no. 4.
[116] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 3.
[117] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 3, 15, 22.
[118] Bdk. KHK, kan 908; KKGKT, kan. 702.
[119] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 8.
[120] Bdk. Sacrosantum Concilium, no. 106.
[121] Bdk. KKGKT, kan. 881, 1; KHK, kan 1247.
[122] Bdk. KHK, kan. 1247; KKGKT, kan. 881, 1.
[123] Bdk. KHK, kan. 1183, 3: KKGKT, kan 876, 1.
[124] Bdk. KHK, kan. 1184; KKGKT, kan. 887.
[125] Bdk. Unitatis Redintegratio. no. 14.
[126] Bdk. Ibid, no. 15.
[127] Ibid.
[128] Bdk. KHK, kan 844,2 dan KKGKT, kan 671, 2 .
[129] Bdk. KHK, kan. 844, 3 dan bdk. no. 106 di atas.
[130] Bdk. KHK kan. 840 dan KKGKT, kan 671, 2.
[131] Bdk. Unitatis Redintegratio, no.3
[132] Unitatis Redintegratio, no 22.
[133] Bdk. Unitatis Redintegratio, no.8; KHK, kan. 844,1 dan KKGKT, kan 671, 1.
[134] Bdk. KHK, kan. 844,4 dan KKGKT, kan 671, 1.
[135] Untuk menetapkan norma-norma tadi, kami tunjukkan dokumen-dokumen berikut ini: Tentang pemberian izin kepada orang-orang kristen lain untuk menerima komuni ekaristi dalam Gereja katolik (1972) dan Catatan untuk menafsirkan “Instruksi mengenai pemberian izin kepada orang-orang kristen lain untuk menerima komuni ekaristi berdasarkan syarat-syarat tertentu”. (1973)
[136] Bdk. KHK, kan 844, 5 dan KKGKT.
[137] Bdk. KHK, kan. 844, 5 dan KKGKT, kan 671, 5.
[138] Bdk. KHK, kan. 767 dan KKGKT, kan 614, 4.
[139] Bdk. KHK, kan. 1124 dan KKGKT, kan. 813.
[140] Bdk. Familiaris Consortio, no. 78
[141] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 3.
[142] Bdk. KHK, kan. 1125, 1126 dan KKGKT, kan 814, 815.
[143] Bdk. KHK, kan 1366 dan KKGKT, kan 1439.
[144] Bdk. Unitatis Redintegratio. no. 15.
[145] Bdk. KHK, kan. 1127,1 dan KKGKT, kan. 834, 2.
[146] Bdk. KHK, kan. 1127,1 dan KKGKT, kan 834, 1.
[147] Bdk. KKGKT, kan. 835.
[148] Bdk. KHK, kan. 1127, 2.
[149] Bdk. KHK, kan. 1127,2.
[150] Bdk. KHK, kan. 1127,3 dan KKGKT, kan 839.
[151] Bdk. Ordo celebrandi matrimonium, no. 8.
[152] Bdk. no 125 di atas.
[153] Bdk. no. 129-131 di atas.
[154] Bdk. no 125, 130, 131 di atas.
[155] Bdk. no 132 di atas.
[156] Unitatis Redintegratio, no. 12.
[157] Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Redemptor hominis, no. 12.
[158] Dalam konteks ini istilah Gereja biasanya harus dimengerti secara sosiologis dan bukan dalam arti teologis yang sempit.
[159] SPCU, Kerja sama Ekumenis pada tingkat regional, nasional dan lokal, op.cit, no. 4 A.c.
[160] Konferensi Waligereja dan Sinode Gereja-Gereja Timur hendaknya berhati-hati sehingga tidak memberikan kewenangan kepada orang katolik yang ikut dalam Dewan Gereja-Gereja, karena kelompok-kelompok tadi saat sekarang ini tidak boleh dianggap sebagai Jemaat-Jemaat gerejawi.
[161] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 9.
[162] Unitatis Redintegratio, no. 11; bdk. Ef 3:8.
[163] Refleksi dan Saran-saran, op.cit no. 4,b; bdk juga Unitatis Redintegratio, no. 11 dan Mysterium Ecclesiae, no. 4. Lih. juga no 61a, 74-75 di atas dan 181 di bawah.
[164] Bdk. 1 Tess 2: 13.
[165] Bdk. Yud 3.
[166] Lumen Gentium, no. 2.
[167] Ibid.
[168] Bdk. Unitatis Redintegratio no. 6 dan Gaudium et Spes no. 62.
[169] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 11.
[170] Bdk. Dei Verbum, bab VI.
[171] Unitatis Redintegratio no. 21.
[172] Bdk. KHK kan. 825,2 dan KKGKT, kan 655, 1.
[173] Terbitan tahun 1987 yang merupakan revisi terbaru dari naskah tahun 1968. Diterbitkan dalam IS, terbitan Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani, no. 65 (1987), hlm. 140-145.
[174] Sesuai dengan norma yang ditetapkan dalam KHK, kanon 825-827, 838 dan KKGKT, kanon 655-659 dan Dekrit dari Kongregasi Untuk Pengajaran Iman Ecclesiae pastorum de Ecclesiae pastorum vigilantia circa Libros (19 Maret 1975) dalam AAS 1975, 281-284.
[175] No. 33.
[176] Bdk. UR, no. 10-11.
[177] Bdk. No. 72 di atas dan Surat Edaran dari Sekretariat untuk Persatuan Kristiani, mengenai pengajaran ekumenis, dalam IS, no. 62 (1986), hlm. 196.
[178] Bdk. Christus Dominus, no 35, 5-6.
[179] Bdk. Sekretariat Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani, Surat Edaran mengenai Ajaran Ekumenis, 10 a, op.cit. hlm 197.
[180] Bdk. Ibid.
[181] Bdk. Unitatis Redintegratio, no.1.
[182] Evangelii Nuntiandi, no. 77.
[183] Ibid.
[184] Bdk. Ad Gentes, no. 6.
[185] Ibid no. 15.
[186] Bdk. Redemptor Hominis, no. 11.
[187] Bdk. Unitatis Redintegratio, no. 12.
[188] Ibid.
[189] Bdk. Ibid.
[190] Bdk. Paus Yohanes Paulus II, Pidato kepada Kuria Roma, 28 Juni 1985, AAS 1985, 1148-1159; bdk. idem Surat Ensiklik Sollicitudo rei socialis, no. 32.
[191] Bdk Sekretariat Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani, IS, 55, 1984, hlm 42-43.
[192] Kerja sama Ekumenis, op.cit no. 3.
[193] Redemptor Hominis, no. 8, 15, 16; Sollicitudo Rei Socialis, no. 26, 34.
[194] Sollicitudo Rei Socialis, no. 36.
[195] Bdk. op.cit. no 3 g.
[196] Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Instruksi Pastoral Communio et progressio, no 99, AAS 1971, 593-656.
[197] Bdk. Kerja sama Ekumenis, op.cit. 3 f.
[198] Bdk. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Kriteria bagi Kerja sama Ekumenis dan Antar Agama di bidang Komunikasi, no. 11 dan 14, th 1989, Origins, 1989, no. 23, 375-377.
