KONSTITUSI APOSTOLIK
PAUS FRANSISKUS
PASCITE GREGEM DEI
REFORMASI BUKU VI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM KANONIK
“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah” (lih. 1 Pet 5:2). Kata-kata yang terilhami dari Rasul Petrus itu digaungkan dalam Ritus Penahbisan Episkopal: “Tuhan kita Yesus Kristus, yang diutus dari Bapa untuk menebus umat manusia, sendiri mengutus dua belas rasul ke dunia. Dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus, mereka harus memberitakan Injil, dan mengumpulkan semua orang menjadi satu kawanan, mereka harus menguduskan dan menggembalakan mereka…. Melalui kearifan dan kebijaksanaan uskup, Kristus sendiri memimpin Anda dalam peziarahan duniawi Anda menuju kebahagiaan abadi” (lih. Ordinasi Uskup, Imam, dan Diakon, edisi tipikal kedua, terjemahan bahasa Inggris, 2018, hlm. 41, 43 ). Oleh karena itu, para uskup dipanggil untuk menggembalakan “dengan nasihat, nasihat dan teladan, serta dengan otoritas dan kuasa suci mereka” (Lumen Gentium, 27), karena kasih dan belas kasihan menuntut agar seorang Bapa juga melakukan segala upaya untuk mengoreksi berbagai penyimpangan.
Dalam peziarahan duniawinya, sejak zaman para Rasul, Gereja telah menetapkan hukum dan aturan perilaku yang selama berabad-abad membentuk kumpulan terpadu norma-norma yang mengikat yang menjaga kesatuan Umat Allah. Para uskup bertanggung jawab untuk memastikan bahwa aturan-aturan ini dipatuhi, karena aturan-aturan itu mencerminkan iman yang kita semua anut dan darinya kekuatan mengikat mereka ditarik; berdasarkan iman itu, mereka memanifestasikan belas kasih keibuan Gereja, yang selalu memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa. Karena norma-norma itu dimaksudkan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam perjalanan waktu, norma-norma itu harus memperhitungkan perubahan-perubahan dalam masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan baru Umat Allah, oleh karena itu kadang-kadang perlu untuk mengubah dan menyesuaikannya dengan keadaan yang berubah.
Di tengah pesatnya perubahan sosial dewasa ini, “kita mengalami bukan hanya zaman perubahan tetapi perubahan zaman” (Pidato Kuria Romawi untuk Pertukaran Ucapan Natal, 21 Desember 2019). Dengan demikian menjadi jelas bahwa tanggapan yang tepat terhadap kebutuhan Gereja di seluruh dunia memerlukan revisi disiplin hukum dalam Kitab Hukum Kanonik yang diumumkan oleh Santo Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983, sehingga para gembala Gereja dapat menggunakannya sebagai sarana perbaikan dan penyelamatan yang lebih fleksibel, dapat diterapkan dengan cepat dan dengan cinta kasih pastoral guna menghindari kejahatan yang lebih serius dan untuk menyembuhkan luka-luka yang disebabkan oleh kelemahan manusia.
Untuk tujuan ini, Pendahulu saya Benediktus XVI pada tahun 2007 memerintahkan Dewan Kepausan untuk Teks Undang-Undang untuk memulai proses revisi atas peraturan pidana yang terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Kanonik tahun 1983. Dalam melaksanakan tugas ini, Dikasteri melakukan upaya nyata untuk menentukan kebutuhan baru, mengidentifikasi keterbatasan dan kekurangan undang-undang saat ini, dan menunjukkan kemungkinan solusi-solusi yang jelas dan sederhana. Studi itu dilakukan dalam semangat kolegialitas dan kerja sama, dengan bantuan para ahli dan uskup, dengan maksud untuk mengadaptasi solusi akhirnya untuk berbagai kebutuhan dan budaya Gereja-Gereja lokal.
Draft pertama Buku VI yang baru dari Kitab Hukum Kanonik kemudian dibuat dan dikirim ke semua Konferensi Waligereja, Dikasteri Kuria Roma, Pemimpin Besar Lembaga Religius, Fakultas Hukum Kanonik dan Lembaga Gerejawi lainnya untuk observasi. Sementara itu, sejumlah kanonis dan ahli hukum pidana di seluruh dunia juga diajak berkonsultasi. Tanggapan dari konsultasi pendahuluan ini dikumpulkan dan diserahkan kepada sekelompok ahli, yang merevisi draf berdasarkan saran-saran tersebut dan kemudian menyerahkannya sekali lagi kepada para konsultan untuk ditinjau dengan cermat. Setelah dilakukan revisi dan pembahasan lebih lanjut, draft final tersebut diperiksa dalam Sidang Paripurna Anggota Dewan Kepausan untuk Naskah Legislatif. Terakhir, setelah memasukkan koreksi dari Sidang Paripurna, teks itu diserahkan kepada Paus Roma pada Februari 2020.
Penegakan hukum pidana mengikat seluruh Umat Allah, tetapi tanggung jawab untuk penerapannya yang benar — sebagaimana dinyatakan di atas — secara khusus terletak pada para uskup dan para pemimpin komunitas individu. Ini adalah tugas yang tidak dapat dipisahkan dengan cara apa pun dari munus pastorale yang dipercayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan sebagai tuntutan cinta kasih yang konkret dan esensial, tidak hanya terhadap Gereja, komunitas Kristen dan pihak-pihak yang berpotensi dirugikan, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan mereka sendiri membutuhkan belas kasihan dan koreksi Gereja.
Di masa lalu, kerusakan yang besar terjadi karena kegagalan untuk menghargai hubungan erat yang ada di Gereja antara pelaksanaan amal kasih dan jalan lain – di mana keadaan dan keadilan mengharuskan – untuk sanksi-sanksi disipliner. Cara berpikir ini – belajar dari pengalaman kita – beresiko mengarahkan pada toleransi atas perilaku hidup yang bertentangan dengan disiplin moral, yang tidak dapat diobati hanya dengan nasihat atau saran. Situasi ini sering membawa bahaya bahwa dengan berlalunya waktu, perilaku seperti itu menjadi semakin sulit untuk diperbaiki dan dalam banyak kasus menciptakan skandal dan kebingungan di antara umat beriman. Inilah sebabnya mengapa penerapan hukuman menjadi perlu di pihak para Uskup dan para Pemimpin. Kelalaian seorang Uskup dalam menempuh sistem pidana memperjelas bahwa ia tidak menjalankan fungsinya dengan benar dan setia, sebagaimana telah saya tegaskan dalam dokumen-dokumen terakhir, termasuk Surat-Surat Apostolik yang diberikan dalam bentuk “Motu Proprio” (Seperti Bunda Tercinta tanggal 4 Juni 2016 dan Kamulah Terang Dunia tanggal 7 Mei 2019).
Memang, cinta kasih mengharuskan para gembala Gereja menggunakan sistem pidana sesering yang diperlukan, mengingat tiga tujuan yang membuatnya perlu dalam komunitas gerejawi, yaitu pemulihan tuntutan keadilan, koreksi pihak yang bersalah dan pemulihan skandal.
Seperti yang saya katakan baru-baru ini, sanksi kanonik juga memiliki fungsi pemulihan dan penyelamatan dan di atas semuanya mencari kebaikan umat beriman, yang “itu merupakan sarana positif untuk realisasi Kerajaan Allah, untuk membangun kembali keadilan dalam komunitas umat beriman yang dipanggil untuk pengudusan pribadi dan umum “(Kepada Peserta Sidang Paripurna Dewan Kepausan untuk Teks Legislatif, 21 Februari 2020).
Oleh karena itu, dalam kesinambungan dengan sifat-sifat umum sistem kanonik, yang mengikuti tradisi Gereja yang terkonsolidasi sepanjang masa, teks baru itu memperkenalkan berbagai macam perubahan pada undang-undang saat ini dan memberikan sanksi kepada beberapa tokoh kriminal baru, yang menanggapi semakin meluasnya kebutuhan di berbagai masyarakat untuk melihat pemulihan keadilan dan ketertiban bahwa kejahatan telah rusak.
Naskah tersebut juga mengalami perbaikan dari segi teknis, terutama yang menyangkut aspek fundamental hukum pidana, seperti hak pembelaan, ketentuan penuntutan pidana, penetapan hukuman yang lebih tepat, yang menjawab tuntutan hukum pidana. dan menawarkan kriteria objektif bagi para Ordinaris dan para Hakim dalam mengidentifikasi sanksi yang paling tepat untuk diterapkan dalam kasus tertentu.
Revisi juga mengikuti prinsip pengurangan kasus-kasus di mana pengenaan sanksi diserahkan kepada kebijaksanaan penguasa, untuk mendukung kesatuan gerejawi dalam penerapan hukuman, servatis de iure servandis, terutama untuk kejahatan. dan penyebab skandal di masyarakat.
Setelah mengatakan semua ini, dengan Konstitusi Apostolik ini, saya mengumumkan teks revisi Buku VI Kitab Hukum Kanonik seperti yang diperintahkan dan direvisi, dengan harapan bahwa itu akan terbukti menjadi instrumen untuk kebaikan jiwa-jiwa, dan bahwa resep akan diterapkan oleh para gembala, bila perlu, dengan keadilan dan belas kasihan, dengan kesadaran bahwa itu adalah milik pelayanan mereka, sebagai tugas keadilan – suatu kebajikan utama yang utama – untuk menjatuhkan hukuman ketika kebaikan umat beriman membutuhkannya.
Akhirnya, agar setiap orang dapat dengan mudah memahami ketentuan-ketentuan yang bersangkutan secara mendalam, saya menetapkan bahwa revisi Buku VI Kitab Hukum Kanonik ini diundangkan melalui penerbitan di L’Osservatore Romano, mulai berlaku mulai tanggal 8 Desember 2021. dan selanjutnya dimasukkan ke dalam Komentar Resmi Acta Apostolicae Sedis.
Saya juga menetapkan bahwa dengan berlakunya Buku VI yang baru, Buku VI Kitab Hukum Kanonik yang sekarang ini dibatalkan, meskipun ada hal yang bertentangan, bahkan jika perlu disebutkan secara khusus.
Diberikan di Roma, di St. Petrus, Hari Raya Pentakosta, 23 Mei 2021, tahun kesembilan Kepausan saya.
Fransiskus
