Home KWI Surat Pastoral FABC kepada Gereja-gereja Lokal Asia tentang Pemeliharaan Ciptaan: Panggilan untuk...

Surat Pastoral FABC kepada Gereja-gereja Lokal Asia tentang Pemeliharaan Ciptaan: Panggilan untuk Pertobatan Ekologis

11

Surat Pastoral FABC kepada Gereja-gereja Lokal Asia tentang Pemeliharaan Ciptaan:
Panggilan untuk Pertobatan Ekologis

Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, Damai dan berkat bagi Anda semua.

Asia merupakan tanah yang kaya akan budaya, tradisi leluhur, dan iman yang mendalam bagi Gereja. Kami, para gembala Gereja di Asia, menulis surat ini kepada Anda semua. Di sini, di tempat lahirnya keragaman manusia dan spiritual ini, Sabda Tuhan terus menawarkan harapan bagi banyak orang yang menghadapi cobaan dan tantangan.

Hari ini, kita merasakan betapa mendesaknya menanggapi krisis ekologi di zaman kita. Pada peringatan 10 tahun ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’, sebuah panggilan kenabian bagi umat manusia untuk menemukan kembali hubungannya dengan ciptaan, Tuhan, dan satu sama lain, kita membarui komitmen kita untuk merawat rumah kita bersama. Pesan ini semakin diperdalam oleh Laudate Deum dari Paus Fransiskus, yang menyerukan tindakan tegas untuk menjaga bumi bagi generasi mendatang. Saat kita terus merayakan Yubelium Harapan 2025, kita terinspirasi oleh kata-kata St. Paulus kepada jemaat di Roma, bahwa “…penderitaan menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan…” (Rm 5:5). Harapan Kristen memanggil kita untuk terlibat aktif dalam pemulihan ciptaan dan penyembuhan luka-luka dunia kita.

Surat ini merupakan ajakan untuk menyikapi penderitaan ekologis zaman kita—bukan sebagai alasan untuk putus asa, tetapi sebagai undangan untuk bertekun, bertindak, dan berharap yang berakar di dalam Kristus.

I.  Penderitaan Rumah Kita Bersama

Di seluruh Asia, kita melihat ciptaan mengerang karena beban ketidakpedulian, pelecehan, dan eksploitasi manusia. Konsekuensinya sudah terlihat dan dibuktikan secara ilmiah:

  • Deforestasi dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati: Hutan hujan Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, Myanmar, dan Filipina sedang dihancuran, masyarakat adat digusur dan keanekaragaman hayati terancam. Hutan-hutan ini, yang sangat penting bagi kelangsungan hidup planet ini, sangat menderita karena penebangan liar, perluasan area pertanian dan pertambangan.

  • Naiknya Permukaan Laut dan Pengungsian paksa masyarakat Pesisir: Pemanasan di Samudra Pasifik telah mengintensifkan topan, banjir, dan naiknya permukaan laut yang mengancam keberadaan seluruh desa di negara-negara seperti Filipina, Bangladesh, dan Vietnam. Masyarakat pesisir menghadapi peningkatan pengungsian, dengan jutaan orang rentan terhadap dampak migrasi yang disebabkan oleh iklim.

  • Keamanan Air: Mencairnya gletser di Himalaya dan mengeringnya sungai-sungai di Asia Selatan dan Tengah membahayakan pasokan air bagi jutaan orang. Perubahan-perubahan ini memperburuk konflik atas sumber daya air, khususnya di daerah aliran sungai yang dimiliki bersama oleh banyak negara.

  • Dampak Polusi Udara dan Kesehatan: Kota-kota di seluruh Asia, seperti Beijing dan Shanghai, Dhaka, Delhi, Karachi, Jakarta, Manila, dan Bangkok, mengalami sesak napas akibat tingkat polusi udara yang berbahaya. Polusi udara ini berkontribusi signifikan terhadap penyakit pernapasan, khususnya di kalangan anak-anak dan orang tua, dan mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan.

  • Cuaca Ekstrem yang Lebih Kuat dan Lebih Sering Terjadi: Negara-negara Asia Tenggara yang menghadap Samudra Pasifik, khususnya Filipina semakin sering mengalami dampak buruk akibat pemanasan Samudra Pasifik yang memicu topan yang lebih sering, bahkan semakin kuat. Dampak ini juga dirasakan masyarakat di seluruh Asia Selatan (misalnya, India, Pakistan, Bangladesh) dan Asia Timur (misalnya, Tiongkok, Taiwan, Jepang), yang menyebabkan kehancuran, pengungsian, dan kesulitan ekonomi. Badai dahsyat ini mengingatkan kita bahwa kelambanan dalam mengatasi perubahan iklim hanya akan memperparah penderitaan saudara-saudari kita yang paling rentan.

  • Krisis Pertanian dan Ketahanan Pangan: Kekeringan, banjir, dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi menimbulkan malapetaka pada pertanian, berkurangnya hasil panen, dan ancaman bagi ketahanan pangan. Perubahan iklim sangat merusak bagi penduduk pedesaan yang menggantungkan hidup pada pertanian.

Tragedi ekologi ini memengaruhi masyarakat termiskin dan paling rentan di Asia—keluarga pesisir yang rumahnya tersapu banjir, petani yang tidak dapat lagi bercocok tanam, dan anak-anak yang menderita akibat polusi udara dan air. Para pemimpin politik, para pembuat kebijakan, dan pembuat keputusan, terutama umat Katolik awam, harus diingatkan: pilihan yang Anda buat hari ini akan dinilai oleh generasi mendatang. Akankah Anda meninggalkan planet yang terluka oleh eksploitasi, atau rumah yang mencerminkan keindahan ciptaan Tuhan?

Pada masa Yubelium ini, penderitaan ini memanggil kita untuk menyesal, bertobat, dan berkomitmen lebih dalam terhadap tanggung jawab bersama kita, sebagai ciptaan yang diberi kepercayaan oleh Tuhan untu mengelola ciptaan-Nya.

II. Tanda-tanda Harapan: Roh Kudus masih Bekerja

Meskipun menghadapi tantangan-tantangan ini, namun kita melihat adanya tanda-tanda harapan bahwa Roh Kudus hidup dan aktif di dunia kita:

  • Ketahanan Komunitas: Gerakan-gerakan akar rumput, seperti upaya-upaya penghujauan kembali dan rehabilitasi hutan bakau di banyak bagian Asia, menunjukkan ketahanan masyarakat lokal. Upaya-upaya ini mempertahankan keanekaragaman hayati dan mata pencaharian masyarakat adat. Mereka ini berada di garis depan aksi menghadapi krisis iklim.

  • Aktivis Lingkungan Hidup (ekologi) dan Pendidikan: Di seluruh Asia, keuskupan-keuskupan telah menggandeng orang-orang yang berkarya di bidang ekologi, dari green audits (audit lingkungan)[1] paroki-paroki hingga proyek-proyek energi terbarukan, yang mengintegrasikan pemeliharaan ciptaan ke dalam kehidupan paroki dan pendidikan Katolik. Upaya-upaya ini mengilhami orang lain untuk mengikutinya.

  • Keterlibatan Pemuda: Kaum muda di keuskupan-keuskupan kita bangkit sebagai pejuang ekologi integral. Mereka ini menanggapi seruan Paus Fransiskus dalam Laudate Deum untuk bertindak dengan urgensi demi masa depan planet ini. Komitmen mereka menawarkan harapan bagi masa depan ciptaan dan menantang kita semua untuk bertindak dengan tanggung jawab yang lebih besar.

  • Kolaborasi Lintas Agama dan Masyarakat Sipil: Mendesaknya keadilan atas iklim melampaui batas-batas agama. Ini adalah titik awal yang penting untuk suatu dialog ekumenis dan antar agama, serta kemitraan dengan masyarakat sipil dan semua orang yang berkehendak baik. Sebagai orang Kristen, kita harus berjalan bersama dengan saudara-saudara kita yang beragama lain di sekitar kita dalam advokasi bersama untuk merawat rumah kita bersama.

  • Misi untuk Komunitas Basis Gerejawi: Transformasi dari Komunitas Basis Gerejawi (KBG) menjadi Komunitas Basis Manusiawi (KBM) dapat membantu kita memelihara persaudaraan manusiawi yang lebih luas dan rasa tanggung jawab bersama untuk ciptaan, menjembatani upaya berbasis agama dengan tujuan global keberlanjutan.

  • Komitmen Gereja di Tahun Yubelium: Sebagai bagian dari Tahun Yubelium Pengharapan 2025, Gereja menjadikan Kepedulian terhadap Ciptaan sebagai tema penting; dan mendesak keuskupan dan paroki untuk memperkuat inisiatif-inisatif ekologis dan mempromosikan gaya hidup berkelanjutan sebagai ungkapan dan perwujudan iman.

Tanda-tanda harapan ini mengingatkan kita bahwa penderitaan bukanlah akhir. Seperti yang ditegaskan Paus Fransiskus, kasih Allah yang dicurahkan melalui Roh Kudus mengilhami kita untuk berpartisipasi dengan berani dalam misi memperbarui ciptaan (lih. Roma 5:5).

III. Panggilan Kita untuk Bertindak

Harapan mendorong kita untuk bertindak. Sebagai Gereja-gereja lokal di Asia, kita harus bangkit untuk menghadapi saat ini dengan keberanian dan tekad yang bulat. Kita harus mengatasi krisis ekologi melalui empat dimensi penting: mitigasi, adaptasi, legislasi, dan keuangan.

a. Mitigasi: Menjembatani Kesenjangan

Kita harus mengadvokasi komitmen iklim yang lebih kuat, seperti Perjanjian Paris, dan bekerja untuk menjembatani kesenjangan antara target-target iklim di tingkat nasional dengan tujuan global 1,5°C yang secara ilmiah diperlukan. Melestarikan hutan hujan, terumbu karang, dan sungai-sungai di Asia harus menjadi prioritas. Pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan ekosistem ini berkembang, dengan masyarakat adat sebagai pelopor. Sebagaimana dinyatakan dalam Dokumen FABC 50 Bangkok yang menggemakan Laudato Si’, kita harus mengakui bahwa “lingkungan adalah pinjaman bagi setiap generasi, dan kita bertanggung jawab atas cara kita meninggalkannya bagi mereka yang mengikutinya” (BD, 104). Kita berutang kepada generasi mendatang untuk melindungi warisan bersama ini.

b. Adaptasi dan Kerugian dan Kerusakan: Berpihak pada yang Rentan

Orang miskin adalah yang pertama dan paling terdampak oleh perubahan iklim. Kita harus menyuarakan aspirasi mereka dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan masyarakat industri. Pendanaan untuk adaptasi dan kerugian dan kerusakan harus dipercepat, khususnya bagi negara-negara dan masyarakat rentan di Asia. Dokumen Bangkok FABC 50 mengingatkan kita bahwa solidaritas antargenerasi bukanlah pilihan, melainkan masalah keadilan (BD, 104).

c. Legislasi Nasional dan Internasional dalam Pembelaan Ekologi

Kita harus secara aktif melobi pembentukan undang-undang lingkungan hidup dengan aturan pelaksanaan yang jelas tentang pengelolaan limbah padat, cair, dan gas, peraturan tentang pertambangan, dan perlindungan daerah aliran sungai, serta memungkinkan masyarakat dan negara-negara kecil untuk menuntut akuntabilitas dari perusahaan nasional dan multinasional yang terbukti melakukan pelanggaran dan perusakan lingkungan.

d. Keuangan

Pendanaan iklim yang berakar pada keadilan sangat penting. Para pencemar harus membayar bagian yang adil, dan negara-negara yang lebih kaya harus memenuhi komitmen mereka untuk mendanai aksi iklim. Pada Tahun Yubileum ini, kita juga harus mengadvokasi keringanan utang, menyadari bahwa perangkap utang mencegah banyak negara mengatasi krisis iklim secara efektif.

Namun, di luar penghapusan utang, yang benar-benar dibutuhkan adalah tinjauan menyeluruh terhadap seluruh sistem pinjaman internasional—yang memprioritaskan kesejahteraan negara-negara debitur daripada mengabadikan siklus ketergantungan dan penindasan finansial. Keadilan ekonomi menuntut lembaga keuangan dan negara-negara kreditur untuk memikirkan kembali struktur tidak adil yang membatasi tindakan-tindakan terhadap iklim dan pembangunan berkelanjutan di belahan bumi selatan.

IV. Partisipasi dalam COP 30:[2] Seruan untuk Terlibat secara Aktif

Sejalan dengan usaha kita untuk memperdalam komitmen kita terhadap perubahan ekologis dan solidaritas global, kami juga mendorong semua Gereja lokal di Asia untuk berpartisipasi aktif dalam COP 30 mendatang, yang akan berlangsung di Belem, Brasil, pada tahun 2025. Konferensi ini menawarkan platform penting bagi negara-negara dan masyarakat untuk bersatu dan membarui komitmen terhadap kegiatan-kegiatan menyikapi iklim. Kami menyerukan keuskupan-keuskupan untuk berkontribusi dengan meningkatkan kesadaran, mendukung advokasi iklim, dan melibatkan para pembuat keputusan untuk mendorong solusi iklim yang ambisius dan adil. Mari kita pastikan bahwa suara-suara dari mereka yang paling rentan didengar dan bahwa seruan untuk keadilan bergema kuat, terutama dalam konteks tanggung jawab Kristen kita bersama untuk merawat bumi dan semua penghuninya.

V. Musim Penciptaan: Saat Pembaruan Spiritual dan Ekologis

Saat kita merayakan ulang tahun ke-10 Laudato Si’ dan Tahun Yubelium Pengharapan 2025, kami juga mengundang semua Gereja lokal di Asia untuk merayakan Musim Penciptaan, mulai 1 September (Hari Raya Penciptaan di banyak Gereja Timur) hingga 4 Oktober (Peringatan Santo Fransiskus dari Assisi, Santo Pelindung Ekologi). Waktu khusus ini adalah kesempatan untuk memperdalam pembaruan spiritual dan ekologis kita dengan:

a. Mendidik masyarakat kita tentang tanggung jawab ekologis.

b. Mempromosikan gaya hidup yang lebih sederhana dan lebih berkelanjutan.

c. Memupuk spiritualitas ciptaan yang memperdalam hubungan kita dengan Tuhan, manusia, dan kosmos.

    Jangan sampai rasa takut atau apatis melumpuhkan kita. Sebaliknya, marilah kita bersama- sama menapaki Ziarah Pengharapan ini, menanggapinya dengan iman dan keberanian. Kita percaya bahwa Kristus berjalan bersama kita, memperbarui muka bumi melalui upaya kolektif kita.

    Kesimpulan

    Marilah kita menjadikan Masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk memeriksa hati nurani kita dan dengan rendah hati mengakui dosa-dosa kita terhadap ciptaan Tuhan. Biarlah ini menjadi kesempatan bagi kita untuk menanggapi panggilan Tuhan untuk pertobatan ekologis.

    Saat kita melanjutkan perjalanan kita untuk menjadi Gereja sinodal yang misioner, marilah kita mempercayakan diri kita kepada Maria, Bunda Maria kita yang Terberkati, yang berjalan bersama kita saat kita merawat ciptaan Tuhan. Semoga perantaraannya mengilhami kita untuk bertindak dengan keberanian, kebijaksanaan, dan belas kasih demi rumah kita bersama.

    Hormat saya dalam Kristus,

    +Cardinal Filipe Neri Ferrao+Cardinal Pablo David
    President of FABCVice President of FABC
    +Cardinal Isao Kikuchi, SVD
    Secretary General of FABC

    [1] Audit lingkungan atau audit hijau adalah istilah umum yang dapat mencerminkan berbagai jenis evaluasi yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi kesenjangan kepatuhan lingkungan dan penerapan sistem manajemen, beserta tindakan perbaikan terkait.

    [2] COP (Conference of the Parties) merupakan pertemuan tingkat tinggi tahunan yang diselenggarakan oleh Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Tema utama untuk COP30 adalah kebutuhan untuk meningkatkan pendanaan iklim. Presidensi COP30 juga mengumumkan akan mengadakan “pembahasan etika” yang melibatkan sekelompok ilmuwan, pemimpin agama, filsuf, masyarakat adat, dan pihak lain yang “beragam” untuk mengusulkan cara mengatasi perubahan iklim. Pertemuan akan diadakan di Belém, Brasil, dari tanggal 10 hingga 21 November 2025.