Home DOKUMEN GEREJA Katekese Paus Fransiskus tentang Keluarga

Katekese Paus Fransiskus tentang Keluarga

66

PENGANTAR

Saudara-saudari terkasih,

Perhatian dan kepedulian Paus Fransiskus pada kehidupan keluarga sebagai dasar hidup menggereja dan bermasyarakat sangatlah besar. Paus membaktikan dua Sinode Para Uskup yaitu Sinode Luar Biasa III Para Uskup pada tanggal 5–19 Oktober 2014 dan Sinode Para Uskup XIV tanggal 18–25 Oktober 2015 untuk mendalami hidup berkeluarga, yang menjadi bagian terbesar anggota gereja. Rangkuman dari dua Sinode dan pendalaman itu dirangkum dalam dua hal yang indah. Pertama, adalah Kanonisasi St. Louise Martin dan St. Azélia Guérin, Ayah dan Ibu dari Santa Theresia dari Lisieux menjadi orang kudus karena perkawinan dan hidup berkeluarga mereka pada 18 Oktober 2015; yang kedua adalah diterbitkannya Seruan Apostolik Amoris Laetitia pada 19 Maret 2016.

Pada tahun 2014 sebelum munculnya Seruan Apostolik Amoris Laetitia, bahkan di sela-sela Sidang Sinode Para Uskup, Bapa Suci Paus Fransiskus secara khusus memberikan Katekese Tentang Keluarga dalam Audiensi di Lapangan Santo Petrus yang dilaksanakan pada setiap hari Rabu. Secara keseluruhan terdapat 34 minggu dengan 34 tema katekese. Tema-tema yang disampaikan menyentuh aspek-aspek hidup berkeluarga, peran pribadi keluarga, pengalaman nyata keluarga dan cara hidup keluarga kristiani, terutama dalam menyongsong pembukaan Tahun Yubileum 2015. Bahasa yang digunakan sangat sederhana, mudah dicerna dan menyentuh hidup harian keluarga, sehingga katekese ini mudah dipahami oleh setiap orang dan dapat memberikan inspirasi hidup yang menggerakkan.

Teks katekese ini diterjemahkan oleh para pengurus Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia dengan maksud sebagai bahan bacaan renungan keluarga dan dapat menjadi bahan katekese yang bermanfaat bagi para pendamping keluarga baik dalam komunitas kecil maupun dalam pelatihan tim pendamping keluarga. Terima kasih kepada Pengurus Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia yang telah menyelesaikan terjemahan dan menjadi editor atas buku ini.

Harapan kami, semoga katekese Paus Fransiskus tentang keluarga ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk semakin mendalami panggilan dan perutusan hidup berkeluarga.

Berkat Tuhan menyertai kita semua.

Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF
Ketua Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia

01
Keluarga Nazareth

Saudara dan Saudari terkasih, selamat pagi,

Sinode Para Uskup yang mendalami tema keluarga dan diadakan belum lama ini, merupakan awal dari sebuah perjalanan dan akan ditutup pada bulan Oktober mendatang. Penutupan tersebut, sekaligus merupakan awal bagi pertemuan Sinode berikutnya yang mendalami tema: “Panggilan dan Misi Keluarga dalam Gereja dan Dunia Sekarang”. Doa dan refleksi serta keterlibatan seluruh umat Allah sangat dibutuhkan untuk menyertai perjalanan ini. Saya berharap agar renungan yang disampaikan dalam Audiensi setiap hari Rabu dapat turut menyertai perjalanan bersama ini. Oleh karena itu, pada tahun ini, saya memutuskan untuk mengadakan refleksi bersama dengan anda, secara khusus tentang keluarga. Keluarga merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada dunia sejak awal, ketika Ia memberikan tugas kepada Adam dan Hawa untuk beranak cucu dan memenuhi bumi ini (bdk. Kej 1: 28). Karunia Allah kepada Adam dan Hawa ini diteguhkan dan dimeteraikan oleh Yesus di dalam Injil-Nya.

Masa menjelang Natal memberikan cahaya luar biasa yang menyinari misteri ini. Inkarnasi Anak Allah telah membuka babak baru dalam sejarah universal mengenai pria dan wanita. Dan babak baru ini diawali dalam sebuah keluarga di Nazareth. Yesus lahir dalam sebuah keluarga. Ia bisa saja datang dengan cara yang spektakuler, sebagai seorang pejuang, atau sebagai seorang kaisar… namun ternyata tidak, tidak demikian: Ia lahir dalam sebuah keluarga. Maka, penting bagi kita untuk menyadari keindahan peristiwa kelahiran Yesus Kristus ini.

Allah datang ke dunia dan memilih tinggal dalam sebuah keluarga manusia, yang dibentuk-Nya sendiri. Ia membangun keluarga di sebuah desa terpencil, di pinggiran Kekaisaran Romawi; bukan di Roma, ibu kota kekaisaran, juga bukan di kota besar, tetapi di daerah pinggiran yang hampir tidak terpandang, dan benar-benar tidak terkenal. Injil meneguhkan kenyataan ini, dan seolah menyatakan: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh 1:46). Mungkin kita masih berpikir seperti ini terhadap sebagian besar dunia kita, khususnya daerah pinggiran kota besar. Padahal di sanalah, di pinggiran kekaisaran yang besar, kisah yang paling kudus dan indah, kisah Yesus yang hidup di antara manusia, dimulai! Di sanalah, di tempat seperti itulah, keluarga ini berada.

Yesus tinggal di pinggiran kota selama 30 tahun. Penginjil Lukas merangkum periode ini sebagai berikut: Yesus “taat kepada mereka” – yaitu kepada Maria dan Yosef. Mungkin orang akan berkata: “Apakah Tuhan yang datang menyelamatkan kita ini menyia-nyiakan waktu selama 30 tahun tinggal di daerah pinggiran yang kumuh itu?” Ia menyia-nyiakan waktu selama 30 tahun! Sesungguhnya, Ia memang menghendakinya. Jalan Yesus ada dalam keluarga itu – “dan ibunya menyimpan semua ini dalam hatinya. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk 2:51–52). Pada periode itu, tidak ada cerita tentang mukjizat, penyembuhan ataupun khotbah – Ia tidak melakukan apa pun selama itu – tidak ada kerumunan orang yang datang berbondong-bondong; di Nazareth semuanya tampak berjalan “normal” menurut tradisi keluarga Israel yang saleh dan pekerja keras: mereka bekerja, ibunya memasak, melakukan semua pekerjaan rumah tangga, menata baju… sama seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu. Ayahnya, seorang tukang kayu, bekerja dan mengajari Anaknya mengerjakan pekerjaan itu. Tiga puluh tahun. “Tetapi betapa sia-sianya Bapa!”. Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Tetapi yang penting di sana adalah keluarga! Dan 30 tahun bukan waktu yang sia-sia! Mereka adalah orang-orang kudus yang besar: Maria, wanita paling suci, tak bercela, dan Yosef, orang benar…. sebuah Keluarga.

Kita tentu saja terharu oleh kisah tentang bagaimana Yesus remaja mengikuti jadwal keagamaan komunitas dan menjalankan tanggung jawab sosial-Nya; Sebagai seorang pekerja muda, Ia bekerja bersama Yosef; Ia hadir dalam pembacaan Kitab Suci, berdoa Mazmur, serta melakukan banyak kebiasaan lain dalam kehidupan sehari-hari. Injil tidak menjelaskan masa remaja Yesus yang sederhana dan menyerahkan kepada kita untuk merenungkannya dengan penuh kasih. Gambaran kisah ini ada di dalam seni, sastra dan musik. Tidaklah sulit membayangkan bagaimana Maria merawat Anak itu, seperti ibu-ibu pada waktu itu. Dan betapa banyak yang bisa dipetik oleh seorang ayah melalui teladan Yosef, orang benar yang mengabdikan hidupnya untuk mendukung dan melindungi Anak dan istrinya – keluarganya – dalam mengarungi masa-masa sulit. Belum lagi, betapa anak-anak dapat didorong oleh Yesus remaja untuk memahami perlunya dan indahnya mengembangkan panggilan mereka yang paling dalam dan mempunyai mimpi besar! Dalam 30 tahun itu, Yesus mengembangkan panggilan-Nya sebagaimana Bapa mengutus-Nya. Dan selama waktu itu pula, Yesus tidak pernah berputus asa, melainkan Ia semakin berani untuk melanjutkan misi-Nya.

Pertama-tama, setiap keluarga Kristen bisa – seperti Maria dan Yosef – menyambut Yesus, mendengarkan-Nya, berbicara dengan-Nya, menjaga-Nya, melindungi-Nya, tumbuh bersama-Nya; dan dengan cara demikian, keluarga dapat memperbaiki dunia. Marilah kita memberi ruang di hati dan di keseharian kita untuk Tuhan seperti Maria dan Yosef. Memberi ruang itu tidak mudah: berapa banyak kesulitan yang harus mereka tanggung! Mereka bukan keluarga yang dangkal, mereka juga bukan keluarga yang tidak nyata. Keluarga Nazareth mendorong kita untuk menemukan kembali panggilan dan perutusan dari setiap keluarga. Dan apa yang terjadi selama 30 tahun di Nazareth, juga dapat terjadi pada kita: dalam mengupayakan dan mewujudkan cinta sebagai hal yang wajar dan bukan kebencian, dalam mewujudkan sikap saling membantu sebagai sikap yang wajar dan bukan ketidakpedulian atau permusuhan. Bukanlah kebetulan, ketika ternyata kata “Nazareth” berarti “Dia yang menjaga” sebagaimana Maria yang – seperti dikatakan dalam Injil – “menyimpan semua ini dalam hatinya” (bdk. Luk 2:19, 51). Sejak saat itu, setiap kali ada keluarga yang memelihara rahasia ini, meskipun berada di pinggiran dunia, rahasia Anak Allah, Yesus yang datang untuk menyelamatkan kita, misteri itu menjadi nyata. Ia datang untuk menyelamatkan dunia. Dan inilah misi besar keluarga: memberi ruang bagi Yesus yang datang, menyambut Yesus dalam keluarga, dalam setiap anggotanya: anak-anak, suami, istri, kakek-nenek…. Yesus ada di sana. Sambutlah Ia agar Ia tumbuh secara rohani dalam keluarga. Semoga Allah memberi kita anugerah ini di hari-hari terakhir masa Adven ini. Terima kasih.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 17 Desember 2014)

02
Ibu

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Hari ini kita melanjutkan katekese tentang Gereja. Dan kita akan merenungkan Gereja sebagai Ibu. Gereja adalah Ibu. Gereja adalah Ibu kita yang kudus.

Pada hari-hari ini, liturgi Gereja menampilkan di depan kita: ikon Perawan Maria, Bunda Allah. Hari pertama tahun ini adalah Pesta Bunda Allah, yang kemudian diikuti oleh Epifani yang mengenangkan kunjungan orang Majus. Penginjil Matius menulis: “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, Ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Ibu adalah orang, yang setelah melahirkan Anak, memperkenalkan-Nya kepada dunia. Seorang ibu memberikan Yesus kepada kita. Ia menunjukkan Yesus kepada kita. Ia membuat kita melihat Yesus.

Marilah kita lanjutkan katekese kita tentang keluarga dan bahwa di dalam keluarga ada Ibu. Setiap manusia berhutang kehidupan kepada seorang ibu dan hampir selalu berhutang banyak atas segala hal yang dialaminya di dalam kehidupan ini, baik dalam pendidikan manusiawi maupun rohani. Meskipun secara simbolis, seorang ibu sering dipuji – melalui berbagai puisi, di mana ada banyak hal indah yang dikatakan tentang seorang ibu –, namun dalam kenyataannya, Ibu jarang didengarkan ataupun didukung dalam kehidupan sehari-harinya. Peran Ibu jarang ditempatkan sebagai pusat masyarakat. Sebaliknya, sering kali kesediaan ibu untuk berkorban demi anak-anaknya dimanfaatkan untuk “menghemat” pengeluaran atau biaya sosial.

Hal seperti ini juga terjadi dalam komunitas Kristiani. Ibu tidak selalu dianggap benar. Ia hampir tidak didengar. Padahal pusat kehidupan Gereja adalah Bunda Yesus. Mungkin para ibu, yang siap berkorban begitu besar bagi anak-anaknya dan sering kali juga harus berkorban bagi orang-orang lain, harus lebih didengarkan. Kita harus lebih memahami perjuangan mereka sehari-hari ketika mereka berusaha seefisien mungkin di tempat kerja dan memberikan perhatian serta kasih sayang yang penuh kepada keluarganya; kita harus lebih memahami aspirasi para ibu– di mana ibu ingin mengekspresikan hasil yang paling baik dan paling autentik sebagai ungkapan dari emansipasi mereka. Dengan aneka masalah dalam merawat anak-anaknya, seorang ibu tetap bekerja. Saya ingat bahwa di rumah kami ada lima anak. Sementara anak yang satu melakukan hal ini, anak yang lain ingin melakukan hal lain, dan Ibu kami mendatangi anak yang satu dan kemudian ke anak yang lain, dan ia bahagia. Ia sangat memperhatikan kami.

Ibu adalah penangkal yang paling kuat dari penyebaran individualisme yang mementingkan diri sendiri. “Individu” berarti “sesuatu yang tidak dapat dibagi”. Seorang ibu justru “membagi” dirinya sejak mereka mengandung, melahirkan anak ke dalam dunia dan membantu mereka bertumbuh. Merekalah, para ibu, yang paling membenci perang yang mengakibatkan anak-anak mereka terbunuh. Berkali-kali saya memikirkan para ibu yang menerima surat: “Saya memberi tahu anda bahwa anak anda telah gugur dalam membela tanah airnya…”. Betapa malangnya ibu-ibu itu! Betapa menderitanya seorang ibu! Mereka memberikan kesaksian tentang keindahan hidup. Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero mengatakan bahwa seorang ibu menjalani “martir keibuan”. Pada saat homili pemakaman seorang imam yang dibunuh, dia berkata, merujuk pada Konsili Vatikan II: “Kita harus siap mati demi iman kita bahkan jika Tuhan tidak memberikan kita kehormatan ini …. Memberikan hidup tidak hanya berarti dibunuh; memberikan hidup berarti memiliki semangat kemartiran, memberikan dirinya dalam tugas, dalam keheningan, dalam doa, dalam melaksanakan tugasnya secara jujur; dalam ketenangan hidup sehari-hari; memberikan hidupnya sedikit demi sedikit. Ya, seperti yang diberikan oleh seorang ibu yang tanpa takut dan dengan kesederhanaan martir keibuannya, mengandung anak dalam rahimnya, melahirkannya, menyusuinya, membantunya bertumbuh, dan merawatnya dengan kasih sayang. Ia memberikan hidupnya. Ini berarti ia menjadi seorang martir” akhir dari kutipan. Ya, menjadi seorang ibu tidak hanya berarti melahirkan seorang anak ke dunia melainkan juga merupakan suatu panggilan hidup. Apa yang dipilih ketika seseorang memutuskan menjadi seorang Ibu? Apa pilihan hidup seorang ibu? Pilihan hidup seorang ibu adalah memberikan hidup. Pilihan ini sungguh luar biasa,. Ini adalah pilihan yang indah.

Sebuah masyarakat tanpa ibu akan menjadi masyarakat yang tidak manusiawi, karena di saat-saat terburuk sekalipun, ibu selalu menjadi saksi kelembutan, pengabdian, dan kekuatan moral. Ibu sering kali meneruskan makna terdalam dari praktik keagamaan. Secara nyata, di dalam kehidupan manusia, nilai iman sesungguhnya terukir melalui doa-doa, tindakan devosional yang dipelajari oleh seorang anak untuk pertama kalinya. Di sinilah seorang ibu berperan. Seorang ibu yang beriman, tanpa banyak penjelasan, mampu menyampaikan pesan ini kepada anaknya. Penjelasan datang kemudian, tetapi benih iman ada di saat-saat awal yang berharga itu – yang didapat seorang anak dari ibunya ketika ia berdoa. Tanpa Ibu, tidak hanya tidak akan ada umat baru, tetapi iman akan kehilangan sebagian besar kehangatan yang sederhana dan mendalam. Dan Gereja adalah Ibu dari semua ini. Gereja adalah ibu kita! Kita bukan anak yatim piatu; kita memiliki ibu! Bunda kita adalah Maria, Gereja adalah ibu kita. Kita bukan yatim piatu, kita adalah anak-anak Gereja, kita adalah anak-anak Bunda Maria, dan kita adalah anak-anak ibu kita.

Ibu-ibu terkasih, terima kasih, terima kasih atas apa yang anda lakukan di dalam dan bagi keluarga anda, dan atas apa yang anda berikan kepada Gereja dan dunia. Dan kepada anda, Gereja terkasih, terima kasih, terima kasih telah menjadi ibu. Dan kepada anda, Maria Bunda Allah, terima kasih telah membuat kami melihat Yesus. Dan terima kasih untuk semua Ibu yang hadir di sini: mari kita sambut mereka dengan tepuk tangan!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 7 Januari 2015)

03
Ayah
(Bagian Pertama)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Mari kita lanjutkan rangkaian katekese tentang keluarga. Hari ini kita akan menggunakan kata “ayah” sebagai panduan kita. Ayah adalah istilah yang sangat dekat bagi kita orang Kristen karena itulah nama yang diajarkan oleh Yesus kepada kita untuk memanggil Allah: Ayah / Bapa. Nama ini mengungkapkan makna baru yang mendalam, yang dipelajari dari cara bagaimana Yesus menggunakannya untuk berhubungan dengan Allah dan untuk menunjukkan relasi istimewa-Nya dengan Allah. Misteri terberkati dari keintiman Allah: Bapa, Putra, dan Roh Kudus yang diungkapkan oleh Yesus adalah inti dari iman Kristen kita.

“Ayah” adalah istilah yang dikenal oleh semua orang. “Ayah” adalah istilah universal. Sebutan “Ayah” mengekspresikan adanya suatu hubungan mendasar, yang usianya senyatanya sudah setua sejarah manusia. Meskipun demikian, ada yang mengatakan bahwa masyarakat kita sekarang adalah “masyarakat tanpa ayah”. Terutama dalam budaya Barat, figur Ayah secara simbolis tidak ada, memudar, dihapus. Pada awalnya hal ini dirasakan sebagai pembebasan: pembebasan dari ayah-tuan, bebas dari ayah sebagai wakil hukum yang dipaksakan dari luar, bebas dari ayah sebagai sensor kebahagiaan anak-anak, dan bebas dari ayah sebagai penghalang emansipasi dan otonomi kaum muda. Di masa lalu, kadang-kadang otoritarianisme berkuasa di beberapa rumah, dan bahkan dalam beberapa kasus terjadi penindasan: Orang tua memperlakukan anak-anaknya seperti pelayan, tidak menghormati kebutuhan individualitas mereka untuk tumbuh; Ayah tidak membantu dan tidak memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memulai perjalanan mereka – dan tidak mudah membesarkan anak dalam kebebasan; Ayah tidak membantu anak-anaknya menanggung tanggung jawab mereka sendiri untuk membangun masa depannya dan masyarakat.

Pendekatan seperti ini tentu bukan hal yang baik; tetapi hal seperti ini sering terjadi. Pendekatan bergeser dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lain. Di zaman kita, masalahnya tidak lagi menyangkut kehadiran ayah yang invasif, tetapi justru ketidakhadiran ayah, kelambanan ayah. Ayah kadang-kadang begitu fokus pada diri sendiri, pada pekerjaan, dan kadang-kadang pada karier mereka, sehingga mereka melupakan keluarganya. Tidak hanya itu, ayah meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dan masih muda, sibuk dengan diri sendiri. Sebagai Uskup Buenos Aires, saya merasakan apa yang dialami anak yatim piatu pada saat itu. Saya sering bertanya kepada para ayah: Apakah mereka bermain dengan anak-anaknya? Apakah mereka memiliki keberanian dan cinta untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka? Sebagian besar memberi jawaban negatif: “Saya tidak bisa karena saya memiliki begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan …”. Dan ayah itu tidak hadir semenjak anak-anak yang masih kecil itu tumbuh. Ayah tidak pernah bermain dengan mereka. Tidak! Ayah bahkan tidak pernah meluangkan waktu bersama anak-anaknya itu.

Sekarang ini, dalam perjalanan refleksi bersama tentang keluarga, saya ingin mengatakan kepada semua komunitas Kristiani bahwa kita harus lebih memperhatikan bahwa: ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak-anak kecil dan orang muda dapat menyebabkan kekosongan dan luka yang bisa sangat serius. Kenyataan menunjukkan bahwa kenakalan anak dan remaja sebagian besar dapat dikaitkan dengan kekurangan ini, yakni kekurangan contoh dan panduan otoritatif dalam kehidupan sehari-hari mereka, kekurangan kedekatan, kekurangan cinta dari seorang ayah. Perasaan yatim piatu yang dirasakan oleh begitu banyak anak muda ini ternyata lebih dalam dari yang kita perkirakan selama ini.

Mereka menjadi yatim piatu dalam keluarga karena ayah mereka sering tidak hadir secara fisik di rumah. Lebih dari itu, kalaupun secara fisik ayah hadir di rumah, ayah tidak berperan selayaknya sebagai seorang ayah. Ayah tidak berbicara dengan anak-anaknya. Ayah tidak memenuhi perannya sebagai pendidik. Ayah tidak memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya melalui kata-kata, prinsip-prinsip, nilai-nilai, aturan-aturan hidup yang dibutuhkan anak-anak seperti halnya anak-anak ini membutuhkan roti. Dilihat dari segi waktu, kualitas pendidikan yang diusahakan oleh seorang ayah untuk membesarkan anak, sangat diperlukan ketika ayah terpaksa tinggal jauh dari rumah karena pekerjaan. Kadang-kadang tampaknya ayah tidak mengetahui apa peran mereka dalam keluarga atau bagaimana cara membesarkan anak-anaknya. Jadi, dalam keraguan, ayah kemudian menghindar, mundur, dan mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai ayah. Ada kemungkinan mereka berlindung dalam relasi “sejajar” dengan anak-anaknya. Memang benar bahwa anda harus menjadi “teman” bagi anak anda, tetapi tidak boleh lupa bahwa anda adalah seorang ayah! Jika anda hanya berperilaku sebagai teman bagi anak anda, maka hal itu tidak akan baik bagi mereka.

Kita juga melihat masalah ini dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil dengan lembaganya memiliki tanggung jawab – sebut saja tanggung jawab paternal – terhadap anak-anak muda, tanggung jawab yang kadang-kadang diabaikan atau dilaksanakan dengan buruk. Terlalu sering, mereka meninggalkan anak-anak muda menjadi yatim piatu dan tidak memberi mereka perspektif yang benar, sejati, atau sesungguhnya. Akibatnya, anak-anak muda kehilangan jalan aman untuk diikuti, guru yang dapat dipercaya, cita-cita yang dapat menghangatkan hati mereka, nilai-nilai dan harapan yang dapat menopang mereka setiap hari. Mereka mungkin dipenuhi dengan idola, tetapi hati mereka dirampok; mereka dipaksa untuk bermimpi tentang hiburan dan kesenangan, tetapi mereka tidak diberi pekerjaan; mereka dibodohi oleh dewa uang, namun mereka tidak diberi kekayaan yang sebenarnya.

Jadi, akan bermanfaat bagi semua orang, termasuk ayah dan anak-anak, untuk mendengarkan lagi janji yang pernah dibuat oleh Yesus kepada murid-murid-Nya: “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu” (bdk. Yoh 14:18). Dia adalah Jalan yang harus diikuti, Guru yang harus didengarkan, Ada harapan bahwa dunia bisa berubah, bahwa cinta mengalahkan kebencian, bahwa ada masa depan persaudaraan dan perdamaian bagi semua orang. Salah satu dari anda mungkin berkata kepada saya: “Tetapi Bapa, hari ini anda terlalu negatif. Anda hanya berbicara tentang ayah yang tidak hadir, tentang apa yang terjadi ketika ayah tidak dekat dengan anak-anak mereka…. “Benar, saya ingin menekankan hal ini karena Rabu depan saya akan melanjutkan katekese ini dengan menyoroti keindahan ayah. Itulah sebabnya saya memilih untuk memulai dari kegelapan untuk mencapai terang. Semoga Tuhan membantu kita dalam memahami hal-hal ini secara lebih baik.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 17 Desember 2014)

04
Ayah
(Bagian Kedua)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Hari ini saya ingin mengembangkan bagian kedua dari refleksi saya tentang figur ayah dalam keluarga. Terakhir kali saya berbicara tentang bahaya “ketidakhadiran ayah”. Pada hari ini, saya ingin melihat sebaliknya, yaitu aspek positifnya. Bahkan Santo Yosef tergoda untuk meninggalkan Maria ketika mengetahui bahwa Maria hamil; tetapi Malaikat Tuhan campur tangan dan mengatakan kepadanya rencana Allah dan perutusannya sebagai ayah asuh; dan Yosef, orang yang benar, “mengambil Maria sebagai istrinya” (Mt 1:24) dan menjadi ayah dari sebuah keluarga dari Nazareth.

Setiap keluarga membutuhkan ayah. Hari ini kita akan merenungkan mengenai nilai peran seorang ayah. Saya ingin memulai renungan hari ini dengan melontarkan beberapa ungkapan yang dapat kita temukan dalam Kitab Amsal. Di dalam Kitab Amsal, ada kata-kata yang disampaikan oleh seorang ayah kepada anaknya sendiri, seperti tertulis: “Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur” (Ams 23:15–16). Tidak ada yang bisa lebih baik dibandingkan dengan mengungkapkan kebanggaan dan emosi yang dirasakan seorang ayah ketika ia tahu bahwa ia telah mewariskan kepada anaknya apa yang benar-benar penting dalam hidup, yaitu hati yang bijaksana. Ayah ini tidak berkata: “Aku bangga padamu karena kamu sama seperti saya, karena kamu mengulangi apa yang aku katakan dan lakukan”. Tidak, ia tidak mengatakan sesuatu yang begitu sederhana kepadanya. Ia mengatakan sesuatu yang jauh lebih penting, yang dapat kita pahami dengan cara ini: “Aku bahagia ketika setiap kali saya melihatmu bertindak dengan bijaksana dan aku terharu ketika setiap kali aku mendengarmu berbicara dengan benar. Inilah yang ingin aku wariskan kepadamu, bahwa ini menjadi milikmu: sikap untuk merasakan dan bertindak, berbicara dan menilai dengan bijaksana dan benar. Dan agar kamu bisa seperti ini, aku mengajarimu hal-hal yang tidak kamu ketahui. Aku memperbaiki kesalahan yang tidak kamu lihat. Aku membuatmu merasakan kasih sayang yang mendalam dan lembut yang mungkin tidak sepenuhnya kamu sadari ketika kamu masih muda dan tidak yakin. Aku memberikan kesaksian tentang keteguhan dan ketabahan yang mungkin tidak kamu pahami ketika kamu hanya menginginkan kedekatan dan perlindungan. Aku pertama kali harus menguji diriku sendiri mengenai kebijaksanaan hati, waspada terhadap ekses perasaan dan dendam untuk menanggung kesalahpahaman yang tak terelakkan, serta untuk menemukan kata-kata yang tepat agar aku dapat dipahami.” Sekarang, lanjut sang Ayah, “Aku melihat bahwa kamu sudah berusaha menjadi seperti ini dengan anak-anakmu sendiri dan dengan semua orang, dan itu membuatku haru. Aku bahagia menjadi ayahmu”. Inilah yang dikatakan seorang ayah yang bijaksana, seorang ayah yang dewasa. Seorang ayah tahu betul berapa harga yang harus dibayar untuk mewariskan warisan ini: Seberapa dekat, seberapa lembut, dan seberapa tegas untuk menjadi ayah bagi anak-anaknya. Tetapi betapa besar penghiburan dan imbalan yang ia dapatkan ketika anak-anak menghormati warisan ini! Itu adalah kegembiraan yang diperoleh dari semua kerja keras yang mengatasi setiap kesalahpahaman dan menyembuhkan setiap luka.

Dengan demikian, kebutuhan pertama adalah bahwa ayah hadir dalam keluarga. Bahwa ia dekat dengan istrinya untuk berbagi segalanya: kegembiraan dan kesedihan, harapan dan kesulitan. Dan bahwa ia dekat dengan anak-anaknya ketika mereka tumbuh (ketika mereka bermain maupun ketika mereka berjuang, ketika mereka menikmati saat santai maupun ketika mereka gelisah, ketika mereka bicara banyak maupun ketika mereka diam, ketika mereka berani maupun ketika mereka takut, ketika mereka salah langkah maupun ketika mereka menemukan jalan kembali); seorang Ayah yang selalu hadir. “Hadir” bukan berarti “mengontrol”! Ayah yang terlalu mengontrol akan meniadakan anak-anak mereka. Mereka tidak membiarkan anak-anaknya berkembang.

Injil berbicara kepada kita tentang teladan Bapa yang ada di Surga – yang dikatakan oleh Yesus sendiri sebagai yang benar-benar dapat disebut “Bapa yang baik” (bdk. Mrk 10:18). Semua orang tahu perumpamaan luar biasa tentang “anak yang hilang” atau lebih baik lagi tentang “Bapa yang penuh belas kasih” yang kita temukan dalam Injil Lukas bab 15 (bdk. 15:11–32). Betapa martabat dan kelembutan yang terkandung dalam harapan ayah itu, yang berdiri di pintu rumah, menunggu putranya kembali! Ayah harus sabar. Sering kali tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu; berdoa dan menunggu dengan kesabaran, kelembutan, kemurahan hati, dan belas kasih.

Seorang ayah yang baik tahu bagaimana menunggu dan tahu bagaimana memaafkan dari dalam hatinya. Tentu saja ia juga tahu bagaimana memperbaiki dengan tegas: ia bukan ayah yang lemah, penurut, dan sentimental. Ayah yang tahu bagaimana memperbaiki tanpa mempermalukan adalah orang yang tahu bagaimana melindungi tanpa menyelamatkan diri sendiri. Suatu kali, saya mendengar seorang ayah dalam pertemuan yang bertema perkawinan berkata: “Kadang-kadang saya harus memukul anak-anak dengan lembut … tetapi tidak pernah di wajah mereka agar tidak menghina mereka”. Betapa indahnya! Dia tahu apa artinya martabat. Dia harus menghukum tetapi dia melakukannya dengan cara yang adil dan benar.

Jika ada seseorang yang dapat sepenuhnya menjelaskan doa “Bapa Kami” yang diajarkan oleh Yesus, maka ia adalah orang yang menjalani peran ayah secara langsung. Tanpa rahmat yang datang dari Bapa yang ada di Surga, seorang ayah akan kehilangan keberanian dan akan meninggalkan kamp. Padahal pada saat itu, anak-anak perlu menemukan seorang ayah yang menunggu mereka ketika mereka pulang setelah mengalami kegagalan. Mereka akan melakukan segalanya untuk tidak mengakui kebutuhannya akan sosok seorang ayah, untuk tidak menunjukkan hal ini. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap membutuhkan sosok ayah. Tidak menemukan kehadiran sosok ayah dapat menimbulkan luka di dalam diri anak-anak yang sulit disembuhkan.

Gereja, sebagai Ibu kita, berkomitmen dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk mendukung dengan kehadiran sosok ayah yang baik dan murah hati di dalam keluarga, karena ayah adalah penjaga dan mediator iman yang tak tergantikan dalam hal kebaikan, iman akan keadilan dan perlindungan Allah, sebagaimana yang tampak dalam pribadi Santo Yosef.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 4 Februari 2015)

05
Anak-anak

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Setelah merenungkan sosok Ibu dan Ayah, dalam katekese tentang keluarga kali ini saya ingin berbicara tentang anak, atau lebih tepatnya tentang anak-anak. Saya akan menggunakan gambaran yang indah dari Yesaya. Nabi Yesaya menulis: “mereka semua berkumpul dan datang kepadamu; anak-anak laki-lakimu akan datang dari tempat yang jauh, dan anak-anak perempuanmu akan digendong. Pada waktu itu engkau akan melihat dengan heran dan berseri-seri, engkau akan tercengang dan akan berbesar hati” (Yes 60:4–5). Ayat ini memberi gambaran yang sangat indah, gambaran tentang kebahagiaan yang terwujud karena perjumpaan kembali orang tua dengan anak-anak mereka, yang melakukan perjalanan bersama menuju masa depan yang merdeka dan damai, setelah sekian lama mengalami kesulitan dan perpisahan, ketika orang-orang Yahudi berada jauh dari tanah air mereka.

Intinya, ada kaitan erat antara harapan suatu bangsa dengan keharmonisan antar-generasi. Kita harus mempertimbangkan harapan ini dengan cermat. Ada kaitan erat antara harapan suatu bangsa dan keharmonisan antar generasi. Kegembiraan anak-anak akan memicu kegembiraan di hati orang tua dan membuka kembali harapan di masa depan. Anak-anak merupakan kebahagiaan keluarga dan masyarakat. Ini bukanlah tentang masalah reproduksi biologis, atau salah satu dari banyak cara untuk pemenuhan diri, apalagi menjadikan mereka milik orang tua …. Tidak. Anak-anak adalah anugerah. Mereka adalah anugerah: paham? Anak-anak adalah anugerah. Masing-masing anak itu unik dan tak tergantikan; dan pada saat yang sama mereka memang tertambat pada akarnya. Bahkan menurut rencana Tuhan, menjadi anak laki-laki dan perempuan berarti membawa kenangan dan harapan akan cinta yang terpenuhi dengan mengobarkan semangat hidup orang lain, yang baru dan orisinal. Bagi orang tua, setiap anak itu orisinal, berbeda dan beragam. Izinkan saya untuk berbagi kenangan tentang keluarga saya. Saya ingat apa yang dikatakan oleh ibu saya tentang kami — kami berlima: — “Saya punya lima anak”. Ketika mereka bertanya kepadanya: “Siapa yang menjadi favorit ibu?”, Ibu menjawab: “Saya mempunyai lima anak, seperti lima jari. [Dia memperlihatkan jari-jarinya] Jika mereka menyerang yang ini, itu menyakitkan saya; jika mereka menyerang yang itu, itu menyakitkan saya. Kelimanya menyakitiku. Semuanya adalah anak-anakku dan semuanya berbeda bagaikan jari-jari tangan”. Dan beginilah sebuah keluarga! Semua anak berbeda, tetapi semuanya adalah anak-anak.

Seorang anak disayangi karena ia adalah seorang anak: bukan karena ia cantik, atau karena ia seperti ini atau seperti itu; tidak, karena dia masih anak-anak! Bukan karena dia berpikir seperti saya, atau bisa mewujudkan impian saya. Seorang anak adalah seorang anak: kita memberikan kehidupan tetapi dimaksudkan untuk dia, demi kebaikannya, demi kebaikan keluarga, masyarakat, dan umat manusia secara keseluruhan.

Dari sini pula diperoleh kedalaman pengalaman manusia sebagai putra atau putri, yang memungkinkan kita menemukan dimensi cinta yang paling berkelimpahan, yang tak henti-hentinya membuat kita takjub. Inilah indahnya dicintai terlebih dahulu: anak-anak dicintai sebelum mereka lahir. Sering kali saya menjumpai ibu-ibu hamil di jalan dan mereka meminta berkat kepada saya …… bayi-bayi ini dicintai sebelum dilahirkan. Ini gratis, inilah cinta; mereka dicintai sebelum dilahirkan, seperti cinta Tuhan yang selalu mencintai kita terlebih dahulu. Mereka dicintai sebelum mampu melakukan apa pun, sebelum tahu berbicara atau berpikir, bahkan sebelum lahir ke dunia! Menjadi anak-anak adalah syarat dasar untuk mengenal kasih Tuhan, yang merupakan sumber utama keajaiban sejati ini. Dalam jiwa setiap anak, betapa pun rentannya, Tuhan membubuhkan meterai cinta, yang menjadi dasar martabat pribadinya, suatu martabat yang tidak dapat dihancurkan oleh apa pun dan oleh siapa pun.

Saat ini tampaknya lebih sulit bagi anak-anak untuk membayangkan masa depan mereka. Para ayah – yang telah saya singgung dalam katekese sebelumnya – mungkin telah mengambil suatu langkah mundur dan anak-anak menjadi semakin tidak yakin ketika akan mengambil langkah maju. Kita dapat mempelajari hubungan baik antar-generasi dari Bapa Surgawi kita, yang memberikan kebebasan kepada kita masing-masing, namun tidak pernah meninggalkan kita sendirian. Jika kita berbuat salah, Ia tetap mendampingi kita dengan penuh kesabaran, tanpa mengurangi kasih-Nya kepada kita. Tuhan kita tidak pernah mundur untuk mengasihi kita! Ia selalu berjalan maju dan jika kita tidak bisa maju, Ia menunggu kita. Ia tidak pernah berjalan mundur; Ia ingin anak-anaknya berani dan melangkah maju.

Sebagai anak-anak, mereka tidak boleh takut dengan tugas untuk membangun dunia baru: memang benar mereka ingin meningkatkan apa yang telah mereka dapatkan! Namun hal ini harus dilakukan tanpa kesombongan, tanpa prasangka. Anak harus tahu bagaimana menempatkan diri sebagai seorang anak, dan selalu menghormati orang tua.

Perintah keempat dalam 10 Perintah Allah, memerintahkan kepada anak-anak — kita semua adalah anak-anak! — untuk menghormati ayah dan ibu kita (lih. Kel 20:12). Perintah ini berada langsung di bawah perintah terhadap Tuhan sendiri. Memang benar, hal ini mengandung sesuatu yang sakral, sesuatu yang Ilahi, sesuatu yang merupakan akar dari semua jenis rasa hormat di antara manusia. Pada rumusan Kitab Suci dari Perintah keempat ditambahkan: “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”. Ikatan kebajikan antar generasi adalah jaminan masa depan, dan merupakan jaminan sejarah kemanusiaan yang sesungguhnya. Masyarakat yang anak-anaknya tidak menghormati orang tuanya adalah masyarakat tanpa kehormatan; bila seseorang tidak menghormati orang tuanya maka ia kehilangan kehormatannya sendiri! Menjadi masyarakat yang dipenuhi oleh kaum muda yang egois, liar, dan gersang. Namun, bahkan masyarakat yang generasi mudanya sedikit, yang tidak suka dikelilingi oleh anak-anak, yang menganggap mereka sebagai sumber kekhawatiran, beban, dan risiko, adalah masyarakat yang tertekan. Mari kita perhatikan masyarakat yang kita kenal di Eropa: mereka adalah masyarakat yang tertekan, karena mereka tidak menginginkan anak, mereka tidak mempunyai anak, angka kelahiran tidak mencapai satu persen. Mengapa? Marilah kita masing-masing mempertimbangkan dan menanggapinya. Jika keluarga dengan banyak anak dipandang sebagai beban, maka ada yang salah! Generasi anak harus bertanggung jawab, sebagaimana juga diajarkan dalam Ensiklik Humanae Vitae Paus Paulus VI. Memiliki banyak anak tidak serta merta menjadi pilihan yang tidak bertanggung jawab. Tidak memiliki anak adalah pilihan yang egois. Kehidupan diremajakan dan memperoleh energi dengan berkembang biak: kehidupan diperkaya, bukan dimiskinkan! Anak-anak belajar memikul tanggung jawab terhadap keluarganya. Mereka dewasa dalam berbagi kesulitannya. Mereka bertumbuh dalam apresiasi terhadap karunia-karunianya. Pengalaman persaudaraan yang membahagiakan dapat menginspirasi rasa hormat dan kepedulian terhadap orang tua, yang pengakuan kepadanya patut kita berikan. Begitu banyak dari anda yang hadir di sini mempunyai anak dan kita semua adalah anak-anak. Mari kita lakukan sesuatu, mari kita hening sejenak. Masing-masing dari kita merenungkan dalam hati tentang anak-anak kita – jika kita mempunyai anak; — dalam keheningan kita renungkan. Marilah kita semua mengingat orang tua kita dan bersyukur kepada Tuhan atas anugerah kehidupan. Merenungkan, mereka yang mempunyai anak, memikirkan mereka, dan kita semua mengingat orang tua kita. (Tetap hening). Semoga Tuhan memberkati orang tua kita dan memberkati anak-anak anda. Semoga Yesus, Putera yang kekal, yang setelah genap waktunya menjadi seorang anak, membantu kita menemukan jalan terang yang baru dari pengalaman kemanusiaan-Nya yang begitu besar dan sederhana sebagai anak-anak. Dalam pertumbuhan generasi baru, terdapat misteri pengayaan kehidupan semua orang, yang berasal dari Tuhan sendiri. Kita harus menemukannya kembali, menolak prasangka; dan menjalaninya, dalam iman, dalam kebahagiaan sempurna, dan aku berkata kepadamu: betapa indahnya ketika aku lewat di tengah-tengahmu dan aku melihat para ayah dan ibu menggendong anak-anak mereka untuk diberkati; ini merupakan sikap menuju kekudusan yang sangat luar biasa.

Terima kasih Anda semua telah melakukannya!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 11 Februari 2015)

06
Saudara kandung

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Sebagai lanjutan katekese kita tentang keluarga, setelah mempertimbangkan peran ibu, ayah dan anak-anak, hari ini kita akan merenungkan tentang saudara kandung. “Saudara laki-laki” dan “saudara perempuan” adalah kata-kata yang sangat disukai dalam agama Kristen, dan, berkat pengalaman dalam keluarga, kata saudara kandung menjadi kata-kata yang dapat dipahami oleh semua budaya dan zaman.

Ikatan persaudaraan mempunyai tempat istimewa dalam sejarah Umat Allah, yang menerima wahyu-Nya sebagai inti pengalaman manusia. Pemazmur bernyanyi tentang indahnya ikatan persaudaraan: “Lihatlah, betapa baik dan menyenangkannya bila saudara-saudara tinggal dalam kesatuan!” (Mzm 133:1). Memang benar, persaudaraan itu indah! Yesus Kristus juga mewujudkan sepenuhnya pengalaman manusiawi sebagai saudara, menyatukannya dalam kasih Tritunggal dan dengan demikian memberdayakannya untuk melebihi ikatan kekeluargaan dan memampukannya untuk mengatasi setiap hambatan dari luar.

Kita mengetahui bahwa ketika hubungan persaudaraan rusak, ketika hubungan antar-saudara kandung hancur, maka akan terbuka jalan untuk mengalami konflik, pengkhianatan, dan kebencian yang menyakitkan. Contohnya adalah kisah Kain dan Habel dalam Kitab Suci. Setelah Habel terbunuh, Allah bertanya kepada Kain: “Di manakah Habel, saudaramu?” (Kej 4:9a). Ini adalah pertanyaan yang terus diulangi oleh Allah kepada setiap generasi. Sayangnya, di setiap generasi, jawaban dramatis dari Kain selalu terulang: “Aku tidak tahu; apakah Aku penjaganya?” (Kej 4:9b). Putusnya ikatan persaudaraan adalah hal yang menyedihkan dan tidak baik bagi umat manusia. Begitu pula dalam keluarga, berapa banyak saudara kandung yang bertengkar karena hal-hal kecil, atau karena harta warisan, lalu mereka tidak lagi berbicara satu sama lain, tidak lagi saling menyapa. Ini mengerikan! Persaudaraan adalah suatu hal yang luar biasa, mengingat semua saudara-saudari kita pernah hidup dalam kandungan Ibu yang sama selama sembilan bulan, berasal dari daging Ibu! Persaudaraan tidak bisa dipatahkan. Marilah kita mempertimbangkan hal ini: kita semua mengetahui keluarga-keluarga yang mempunyai saudara kandung yang terpisah, yang pernah bertengkar; marilah kita memohon kepada Tuhan – mungkin dalam keluarga kita ada beberapa kasus – untuk membantu keluarga-keluarga ini menyatukan kembali saudara kandung mereka, untuk membangun kembali keluarga. Persaudaraan tidak boleh terputus. Ketika putus, terjadilah seperti yang terjadi pada Kain dan Habel. Ketika Allah bertanya kepada Kain di mana saudaranya berada, dia menjawab: “Saya tidak tahu, saudara laki-laki saya tidak penting bagi saya”. Ini mengerikan, hal yang keterlaluan, sangat menyakitkan untuk didengar. Dalam doa kita, marilah kita selalu mendoakan saudara kandung yang sedang berselisih.

Seharusnya ikatan persaudaraan antar anak-anak yang terbentuk dalam sebuah keluarga, dapat bertumbuh dalam iklim pendidikan yang mendorong keterbukaan terhadap yang lain. Ikatan persaudaraan antar-saudara kandung di dalam keluarga merupakan sebuah sekolah yang hebat yang mengajarkan kebebasan dan perdamaian. Hubungan antara saudara kandung di dalam keluarga mengajarkan bagaimana manusia harus hidup berdampingan, bagaimana seseorang harus hidup bermasyarakat. Mungkin kita tidak selalu menyadarinya bahwa ternyata keluarga sendirilah yang memperkenalkan persaudaraan di dalam masyarakat! Dimulai dengan pengalaman persaudaraan yang pertama ini, yang dipupuk dengan kasih sayang dan pendidikan di rumah, sifat persaudaraan menjalar seolah memberikan harapan kepada seluruh masyarakat dan mengajarkan hubungan antar-bangsa.

Berkat yang dicurahkan Allah dalam Yesus Kristus terhadap ikatan persaudaraan ini, berkembang dengan cara yang tak terbayangkan. Tuhan memampukan kita mengatasi segala perbedaan kebangsaan, bahasa, budaya, bahkan agama.

Bayangkan bagaimana ini bisa terjadi, ikatan antara laki-laki dan perempuan, walaupun mereka benar-benar berbeda satu sama lain, ketika mereka mampu mengatakan satu sama lain: “Dia benar-benar seperti saudara laki-lakiku, dia sudah seperti saudara perempuanku!”. Betapa indahnya! Bagaimanapun juga, sejarah telah menunjukkan dengan jelas bahwa kebebasan dan kesetaraan, tanpa disertai hubungan persaudaraan, mengakibatkan hidup kita dipenuhi oleh individualisme dan konformisme, dan bahkan kepentingan pribadi.

Persaudaraan dan kekeluargaan memancar dengan cara yang luar biasa ketika kita memperlihatkan kepedulian, kesabaran, kasih sayang yang menaungi adik laki-laki atau perempuan yang paling lemah, sakit, atau cacat fisik. Di dunia ini terdapat banyak saudara laki-laki dan saudara perempuan yang melakukan hal ini, dan mungkin kita kurang menghargai kemurahan hati mereka. Seandainya kita mempunyai banyak saudara kandung dalam sebuah keluarga — hari ini, saya menyapa sebuah keluarga yang memiliki sembilan anak — anak laki-laki atau perempuan tertua membantu ayahnya, sementara ibunya merawat anak-anak yang lebih kecil. Dalam keluarga seperti ini, pekerjaan membantu antar-saudara merupakan hal yang sungguh indah.

Memiliki seorang kakak, adik, yang menyayangimu adalah pengalaman yang mendalam, berharga, dan tak tergantikan. Persaudaraan Kristiani terjadi dengan cara yang sama. Yang terkecil, terlemah, termiskin meluluhkan kita: mereka mempunyai “hak” untuk mengambil hati dan jiwa kita. Ya, mereka adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan kita dan oleh karena itu kita harus mengasihi dan merawat mereka. Ketika hal ini terjadi, ketika orang miskin sudah seperti anggota keluarga, maka persaudaraan Kristiani kita akan hidup kembali. Umat Kristiani secara nyata pergi menjumpai orang-orang miskin dan lemah bukan untuk menaati program ideologis, namun karena firman dan teladan Tuhan telah memberitahu kita bahwa kita semua adalah bersaudara. Inilah prinsip kasih Tuhan dan prinsip keadilan di antara manusia. Saya ingin menyarankan sesuatu: sebelum menyimpulkan, hanya beberapa kata, dalam keheningan kita masing-masing, marilah kita mengingat saudara-saudari kita, dan dalam hati marilah kita mendoakan mereka dalam keheningan. Hening sejenak.

Maka di sini, melalui doa ini, kita telah membawa semua, saudara laki-laki dan saudara perempuan, di pikiran kita, di hati kita, hadir ke tempat ini untuk menerima berkat.

Saat ini, semakin penting untuk menempatkan kembali persaudaraan sebagai pusat dari masyarakat teknokratik dan birokratis. Melalui cara ini, maka kebebasan dan kesetaraan pun akan mencapai keseimbangan yang tepat. Oleh karena itu, janganlah kita tanpa pikir panjang menghilangkan keindahan pengalaman persaudaraan putra-putri kita, karena kritik atau ketakutan. Selain itu janganlah kita kehilangan kepercayaan bahwa kedalaman iman dapat diperoleh dari pengalaman persaudaraan, yang tercerahkan oleh berkat dari Tuhan sendiri.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 18 Februari 2015)

07
Lanjut Usia

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat Pagi,

Katekese hari ini dan katekese Rabu depan akan dipersembahkan untuk para lanjut usia, yang dalam keluarga adalah kakek-nenek, orang tua, bibi dan paman. Hari ini kita akan merenungkan kondisi problematik yang dialami oleh para lanjut usia saat ini, dan pada kesempatan berikutnya, hari Rabu depan, dengan nada yang lebih positif, saya akan membahas mengenai panggilan yang berkaitan dengan tahap kehidupan ini.

Berkat kemajuan pengobatan, masa kehidupan manusia telah meningkat: namun masyarakat belum menyadari hal ini. Jumlah lanjut usia semakin bertambah banyak, namun masyarakat kita belum terorganisir dengan baik untuk memberi ruang bagi mereka, dengan rasa hormat yang layak serta pertimbangan praktis atas kelemahan dan martabat mereka. Ketika kita masih muda, kita diarahkan untuk mengabaikan usia tua, seolah-olah usia tua adalah penyakit yang harus dijauhi; kemudian ketika kita menjadi tua, terutama jika kita miskin, sakit dan sendirian, kita mengalami situasi di mana merasa kurang diperhatikan oleh masyarakat yang diprogram untuk efisien, yang akibatnya mengabaikan masyarakat lanjut usia. Para lanjut usia adalah kekayaan yang tidak boleh diabaikan.

Paus Benediktus XVI, saat mengunjungi panti wreda, menggunakan kata-kata yang jelas dan bijak, dengan mengatakan sebagai berikut: “Kualitas suatu masyarakat, yang saya maksudkan adalah sebuah peradaban, juga dinilai dari cara masyarakat tersebut memperlakukan orang-orang lanjut usia dan dari tempat yang diberikan kepada mereka dalam kehidupan bermasyarakat” (12 November 2012). Memang benar, perhatian terhadap orang lanjut usia membuat perbedaan dalam sebuah peradaban. Apakah ada perhatian terhadap lanjut usia dalam suatu peradaban? Apakah ada ruang untuk orang lanjut usia? Peradaban ini akan maju jika tahu bagaimana menghargai kebijaksanaan, kebijaksanaan dari orang yang lebih tua. Dalam sebuah peradaban di mana tidak ada tempat bagi orang lanjut usia atau di mana mereka dibuang karena menimbulkan masalah, masyarakat ini membawa virus kematian.

Di Barat, para ilmuwan menggambarkan abad ini sebagai Aging Century: abad di mana jumlah anak-anak semakin berkurang, sementara jumlah orang lanjut usia semakin bertambah. Ketidakseimbangan ini merupakan tantangan bagi kita, dan menjadi tantangan besar bagi masyarakat masa kini. Namun budaya yang mengutamakan keuntungan menuntut untuk membuang yang lama yang dianggap sebagai sebuah “beban”. Dalam budaya seperti ini, orang lanjut usia bukan hanya dipandang sebagai pribadi yang tidak menghasilkan apa-apa. Lebih dari itu, mereka dianggap sebagai sebuah beban. Singkatnya, apa akibat dari pemikiran seperti ini? Mereka dibuang. Sungguh kejam melihat orang-orang lanjut usia dibuang. Tindakan ini brutal. Ini adalah dosa! Tidak ada yang berani mengatakannya secara terbuka, namun inilah senyatanya yang terjadi! Ada kekejian ketika mengikuti budaya membuang ini. Tapi kita sudah terbiasa membuang orang. Kita ingin menghilangkan ketakutan kita yang semakin besar terhadap kelemahan dan kerentanan; namun dengan melakukan hal ini, kita membuat para lanjut usia semakin cemas karena mereka tidak diterima dan diabaikan.

Selama pelayanan saya di Buenos Aires saya bersentuhan langsung dengan kenyataan ini dan permasalahannya: “Orang lanjut usia ditinggalkan, bukan hanya karena alasan ketidakstabilan materi. Mereka ditinggalkan karena egoisme, ketidakmampuan untuk menerima keterbatasan mereka yang mencerminkan keterbatasan kita sendiri. Karena terdapat banyak kesulitan yang harus diatasi agar dapat bertahan hidup dalam masyarakat yang tidak memperbolehkan mereka untuk berpartisipasi atau menyampaikan pendapat. Mereka juga tidak diizinkan untuk menjadi referensi atau rujukan dalam suatu model konsumen di mana “hanya kaum muda yang dapat berguna dan yang dapat menikmati”. Padahal di seluruh masyarakat mana pun, para lanjut usia seharusnya menjadi sumber kebijaksanaan atau kearifan bagi masyarakat kita! Betapa mudahnya hati nurani menjadi tumpul ketika tidak ada kasih!” (Solo l’amore ci può salva atau Hanya kasih yang bisa menyelamatkan kita, Kota Vatikan, 2013, hal. 83).

Pernah terjadi. Saya ingat, ketika saya mengunjungi panti wreda, saya berbicara dengan setiap orang dan saya sering mendengar ini: “Apa kabar? Bagaimana kabar anak-anakmu? Baik-baik. Berapa anakmu? Banyak. Apakah mereka datang mengunjungimu? Oh tentu, ya, selalu, ya, mereka datang. Kapan terakhir kali mereka datang?” Saya ingat seorang wanita tua yang berkata kepada saya: “Mmm, Natal yang lalu”. Saat itu bulan Agustus! Delapan bulan tanpa dijenguk anak-anaknya, ditelantarkan selama delapan bulan! Ini merupakan dosa besar, paham? Suatu ketika, seorang nenek menceritakan kepada kami kisah tentang seorang kakek tua yang menjadi kotor saat makan karena dia tidak bisa dengan mudah memasukkan sesendok sup ke dalam mulutnya. Putranya, yang merupakan ayah dari keluarga tersebut, memutuskan untuk memindahkannya dari meja makan dan menyiapkan meja kecil di dapur untuk makan sendirian supaya tidak terlihat. Dengan cara seperti ini, ia tidak akan memberikan kesan buruk ketika teman-temannya datang untuk makan siang atau makan malam. Beberapa hari kemudian, ia pulang ke rumah dan menemukan anak bungsunya sedang bermain dengan kayu dan palu serta paku. Anaknya sedang membuat sesuatu. Dia berkata: “Kamu sedang membuat apa? — Aku sedang membuat meja, Papa. — Sebuah meja, kenapa? — Supaya saat Papa sudah tua, Papa bisa makan di sana”. Anak-anak ini lebih sadar daripada kita!

Dalam tradisi Gereja terdapat kekayaan kearifan yang selalu mendukung budaya kedekatan dengan orang lanjut usia, menempatkan persahabatan yang hangat dan suportif dalam fase akhir kehidupan. Tradisi ini berakar dari Kitab Suci, seperti yang dapat dilihat pada bagian-bagian dari Kitab Sirakh berikut ini: “Tuturan orang tua-tua jangan kauabaikan, sebab mereka juga berguru kepada nenek moyangnya. Dari pada mereka engkau akan memperoleh pengertian, dan bagaimana engkau mesti menjawab pada waktu tepat.” (Sir 8:9).

Gereja tidak dapat dan tidak terpengaruh dengan mentalitas ketidaksabaran, apalagi ketidakpedulian dan penghinaan, terhadap usia tua. Kita harus membangkitkan kembali rasa syukur, penghargaan, keramahtamahan kolektif, yang membuat para lanjut usia merasa menjadi bagian hidup dari komunitas.

Para lanjut usia kita adalah pria dan wanita, ayah dan ibu, yang lahir sebelum kita menapaki perjalanan di kehidupan kita sendiri, di rumah kita, dalam perjuangan kita sehari-hari untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka adalah pria dan wanita yang telah memberi kita begitu banyak hal. Yang lebih tua itu bukanlah alien. Kita akan menjadi lanjut usia: dalam waktu dekat atau jauh di masa depan, pasti terjadi, walaupun kita tidak memikirkannya. Jika kita tidak belajar bagaimana memperlakukan orang yang lebih tua dengan lebih baik, maka kita juga akan diperlakukan seperti itu.

Kita, orang lanjut usia, semuanya agak rapuh. Ada yang sangat lemah, banyak pula yang sendirian, dan terserang penyakit. Beberapa dari kita bergantung pada perawatan dan membutuhkan perhatian lebih dari orang lain. Apakah kita akan mengambil langkah mundur? Menyerahkan mereka pada nasib mereka? Dalam sebuah masyarakat tanpa kedekatan, di mana rasa terima kasih dan kasih sayang tanpa imbalan di antara orang-orang juga menghilang, adalah sebuah masyarakat yang sesat. Gereja, yang setia pada Sabda Allah, tidak dapat menoleransi kemerosotan seperti itu. Sebuah komunitas Kristiani yang tidak lagi menganggap kedekatan dan kasih sayang sebagai hal yang sangat diperlukan adalah sebuah masyarakat yang akan kehilangan jiwanya. Jika tidak ada kehormatan bagi yang lebih tua, maka tidak ada masa depan bagi yang muda.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 18 Februari 2015)

08
Kakek-Nenek

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Dalam katekese hari ini, kita akan melanjutkan refleksi kita tentang kakek-nenek, dengan mempertimbangkan nilai dan pentingnya peran mereka dalam keluarga. Saya melakukannya dengan menempatkan diri pada posisi mereka, karena saya juga termasuk dalam kelompok usia ini.

Ketika saya berada di Filipina, orang-orang Filipina menyambut saya dengan mengatakan “Lolo Kiko” – yang berarti Kakek Fransiskus – “Lolo Kiko”, kata mereka! Hal penting pertama yang perlu ditekankan: memang benar bahwa masyarakat cenderung membuang kita, tetapi Tuhan jelas tidak! Tuhan tidak pernah membuang kita. Dia memanggil kita untuk mengikuti-Nya di setiap periode kehidupan, dan usia tua memiliki rahmat dan misi juga, panggilan sejati dari Tuhan. Usia tua adalah panggilan. Ini belum waktunya untuk “menarik dayung”. Periode kehidupan ini berbeda dari sebelumnya, tidak ada keraguan; Kita bahkan harus “menciptakannya sendiri”, karena masyarakat kita belum siap, secara spiritual dan moral, untuk menghargai nilai sebenarnya dari tahap kehidupan usia tua ini. Memang, dulu tidak begitu normal untuk memiliki waktu luang; apalagi sekarang ini. Spiritualitas Kristen juga agak mengejutkan karena menguraikan semacam spiritualitas orang tua. Tetapi syukur kepada Tuhan karena kita tidak kekurangan kesaksian dari orang-orang kudus lanjut usia, baik pria maupun wanita!

Saya benar-benar tersentuh oleh “Hari yang didedikasikan untuk Lanjut Usia” yang kami adakan di sini di Lapangan Santo Petrus tahun lalu. Lapangan itu penuh. Saya mendengarkan kisah-kisah orang tua yang mengabdikan diri kepada orang lain, dan kisah-kisah pasangan yang sudah menikah, yang mengatakan: “Kami merayakan ulang tahun perkawinan kami yang ke-50, kami merayakan ulang tahun perkawinan kami yang ke-60”. Penting untuk menyajikan ini kepada kaum muda yang mudah lelah; Kesaksian para lanjut usia mengenai kesetiaan itu penting. Ada begitu banyak orang tua di lapangan ini pada saat itu. Refleksi ini baik untuk dilanjutkan, baik di bidang gerejawi maupun sipil. Injil memberi kita gambaran yang benar-benar mengharukan dan membesarkan hati. Gambaran itu adalah Simeon dan Hanna, yang dibicarakan dalam Injil masa kanak-kanak Yesus, yang disusun oleh Santo Lukas. Tentu saja ada orang tua, “orang tua”, Simeon, dan “nabiah”, Hana, yang berusia 84 tahun. Wanita ini tidak menyembunyikan usianya. Injil mengatakan bahwa mereka menantikan kedatangan Allah setiap hari, dengan kepercayaan yang besar, selama bertahun-tahun. Mereka benar-benar ingin melihat-Nya hari itu, untuk memahami tanda-tanda-Nya, untuk memahami asal-usul-Nya. Pada saat itu, mereka mungkin juga sudah lebih pasrah untuk mati terlebih dahulu: penantian panjang itu, bagaimanapun, terus mengisi seluruh hidup mereka, tidak memiliki komitmen yang lebih penting selain: menantikan Allah dan berdoa. Jadi, ketika Maria dan Yosef pergi ke Bait Suci untuk menggenapi ketentuan-ketentuan Hukum, Simeon dan Hana bergerak cepat, diilhami oleh Roh Kudus (bdk. Luk 2:27). Beban usia dan penantian menghilang dalam sekejap. Mereka mengenali Anak itu, dan menemukan kekuatan baru, untuk perutusan baru: mengucap syukur dan bersaksi tentang tanda dari Allah ini. Simeon mengimprovisasi himne kegembiraan yang indah (bdk. Luk 2:29–32) – pada saat itu ia adalah seorang penyair – dan Hana menjadi wanita pertama yang berkhotbah tentang Yesus: ia “berbicara tentang Dia kepada semua orang yang mencari penebusan Yerusalem” (Luk 2:38).

Kakek-Nenek terkasih, lanjut usia terkasih, mari kita ikuti jejak para penatua yang luar biasa ini! Marilah kita juga menjadi seperti penyair doa: marilah kita mengembangkan rasa untuk menemukan kata-kata kita sendiri. Marilah kita sekali lagi memahami kata-kata yang mengajarkan kepada kita mengenai Firman Allah. Doa kakek-nenek dan orang tua adalah karunia besar bagi Gereja! Doa kakek-nenek dan orang tua adalah hadiah besar bagi Gereja. Itu adalah harta! Suntikan besar kebijaksanaan untuk seluruh masyarakat manusia: terutama untuk orang yang terlalu sibuk, terlalu terganggu. Seseorang juga harus bernyanyi, untuk mereka juga, menyanyikan tanda-tanda Allah, memberitakan tanda-tanda Allah, berdoa untuk mereka! Marilah kita memandang Benediktus XVI, yang memilih untuk menghabiskan rentang terakhir hidupnya dalam doa dan mendengarkan Allah! Ini indah! Seorang penganut besar abad terakhir, dari tradisi Ortodoks, Olivier Clément, mengatakan: “Sebuah peradaban yang tidak memiliki tempat untuk berdoa adalah peradaban di mana usia tua telah kehilangan semua makna. Dan peradaban ini menakutkan. Karena, di atas segalanya, kita membutuhkan orang tua yang berdoa; Doa adalah tujuan usia lanjut”. Kita membutuhkan orang-orang tua yang berdoa karena ini adalah tujuan utama dari usia tua. Doa orang tua adalah hal yang indah.

Kita dapat bersyukur kepada Tuhan atas manfaat yang diterima, dan mengisi kekosongan rasa tidak tahu berterima kasih yang mengelilingi kita. Kita mampu menjadi perantara terhadap harapan generasi muda dan memberikan martabat terhadap ingatan dan pengorbanan generasi sebelumnya. Kita mampu mengingatkan orang-orang muda yang ambisius bahwa hidup tanpa cinta adalah kehidupan yang tandus. Kita dapat mengatakan kepada orang-orang muda yang takut bahwa kecemasan tentang masa depan dapat diatasi. Kita mampu mengajar kaum muda yang terlalu mementingkan diri sendiri bahwa ada lebih banyak sukacita dalam memberi daripada menerima. Kakek dan nenek membentuk “paduan suara” abadi dari tempat kudus spiritual yang besar, di mana doa-doa permohonan dan lagu-lagu pujian mendukung komunitas yang bekerja keras dan berjuang di bidang kehidupan.

Terakhir, doa tak henti-hentinya memurnikan hati. Pujian dan permohonan kepada Allah mencegah hati menjadi keras oleh kebencian dan keegoisan. Betapa mengerikannya sinisme seorang lanjut usia yang telah kehilangan makna kesaksiannya, yang mencemooh kaum muda dan tidak mengomunikasikan kebijaksanaan hidup! Namun, betapa indahnya dorongan yang berhasil disampaikan oleh seorang lanjut usia kepada seorang anak muda yang sedang mencari makna iman dan kehidupan! Ini sungguh misi kakek-nenek, panggilan orang tua. Kata-kata kakek-nenek memiliki nilai khusus bagi kaum muda. Dan kaum muda tahu itu. Saya masih membawa bersama saya, selalu, dalam doa brevir saya, kata-kata yang diberikan nenek saya kepada saya secara tertulis pada hari tahbisan imamat saya. Saya sering membacanya dan hal itu bermanfaat bagi saya.

Betapa saya ingin sebuah Gereja yang menantang “budaya membuang” dan dengan sukacita meluap menyambut keakraban baru yang saling merangkul antara muda dan tua! Inilah yang saya minta dari Tuhan hari ini, keakraban yang saling merangkul ini!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 11 Maret 2015)

09
Anak-anak (I)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Setelah membahas tema tentang anggota keluarga – ibu, ayah, anak-anak, saudara kandung, kakek-nenek – saya ingin menyimpulkan kelompok katekese pertama tentang keluarga ini dengan membahas mengenai anak-anak. Saya akan melakukannya dalam dua tahap. Hari ini, saya akan fokus pada pembahasan tentang anak-anak sebagai karunia besar untuk kemanusiaan – memang benar mereka adalah karunia besar bagi umat manusia, tetapi anak-anak juga disingkirkan dan kadang bahkan dihalangi untuk dilahirkan – dan lain kali saya akan fokus pada beberapa luka yang patut disayangkan karena membahayakan masa kanak-kanak. Yang terlintas dalam pikiran adalah, bahwa selama perjalanan saya baru-baru ini ke Asia, saya menemukan anak-anak yang penuh kehidupan, antusiasme. Namun di sisi lain, saya juga melihat bahwa di dunia ini, banyak di antara mereka hidup dalam kondisi yang tidak layak…. Bahkan, dari melihat bagaimana anak-anak tersebut diperlakukan oleh masyarakat, dapat dinilai – tidak hanya secara moral tetapi juga secara sosiologis – apakah itu masyarakat liberal atau masyarakat yang diperbudak oleh kepentingan internasional.

Pertama-tama, anak-anak mengingatkan kita semua pada tahun-tahun pertama kehidupan, bahwa kita sepenuhnya bergantung pada perawatan dan kebajikan orang lain. Anak Allah tidak luput dari tahap ini. Misteri ini selalu kita renungkan setiap tahun pada saat Natal. Kisah kelahiran Yesus adalah ikon yang mengkomunikasikan realitas ini dengan cara yang paling sederhana dan paling langsung. Anehnya: Allah tidak mengalami kesulitan dalam membuat diri-Nya dipahami oleh anak-anak. Dan anak-anak tidak mengalami kesulitan dalam memahami Allah. Bukan kebetulan bahwa di dalam Injil ada beberapa kata-kata Yesus yang sangat indah dan kuat mengenai “anak-anak kecil”. Istilah ini, “bayi”, merujuk pada semua orang yang bergantung pada bantuan orang lain, dan khususnya merujuk pada anak-anak. Sebagai contoh, Yesus berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, bahwa Engkau telah menyembunyikan hal-hal ini dari orang-orang yang bijak dan orang-orang yang mengerti, dan menyatakannya kepada bayi-bayi” (Mat 11:25). Dan lagi: “Janganlah kamu memandang rendah salah seorang dari anak-anak kecil ini, sebab Aku berkata kepadamu bahwa di surga, malaikat-malaikat mereka selalu melihat wajah Bapa-Ku yang di surga” (Mat 18:10).

Dengan demikian, anak-anak di dalam dan dari diri mereka sendiri merupakan harta bagi umat manusia dan juga harta bagi Gereja, karena mereka terus-menerus membangkitkan kondisi yang diperlukan untuk memasuki Kerajaan Allah: bahwa kita tidak menganggap diri kita mandiri, tetapi membutuhkan bantuan, cinta, pengampunan. Kita semua membutuhkan bantuan, cinta dan pengampunan! Selain itu, anak-anak juga mengingatkan kita akan hal indah lain: mereka mengingatkan kita bahwa kita selalu merupakan putra dan putri. Bahkan jika seseorang menjadi dewasa, atau menjadi orang tua, bahkan jika seseorang menjadi lanjut usia, jika seseorang menempati posisi penerima tanggung jawab, maka masih terdapat identitas sebagai seorang anak. Kita semua adalah putra dan putri. Pemahaman ini membawa kita kembali pada kenyataan bahwa kita tidak memberi diri kita kehidupan, tetapi kita menerima kehidupan. Karunia besar kehidupan adalah karunia pertama yang kita terima. Terkadang dalam hidup ini, kita bisa lupa, seolah-olah kita adalah penguasa keberadaan kita. Padahal sebaliknya, kita pada dasarnya tergantung dari orang lain. Sungguh, sebuah sukacita besar jika kita merasakan bahwa di setiap tahap kehidupan, dalam setiap situasi, dalam setiap kondisi sosial, kita pada dasarnya dan selamanya adalah putra dan putri. Inilah pesan utama yang diberikan anak-anak kepada kita, melalui kehadiran mereka: kehadiran mereka. Mereka mengingatkan bahwa kita masing-masing dan setiap orang dari kita adalah putra atau putri.

Namun ada begitu banyak hadiah. Ada begitu banyak kekayaan yang dibawa anak-anak kepada umat manusia. Saya hanya akan menyebutkan beberapa.

Mereka memiliki cara yang khas dalam melihat realitas, melalui tatapan yang memancarkan rasa percaya dan hati yang murni. Seorang anak secara spontan percaya kepada ayah dan ibunya; secara spontan anak juga percaya kepada Allah, kepada Yesus, kepada Bunda Maria. Pada saat yang sama, pandangan batinnya murni, belum tercemar oleh kedengkian, oleh duplikasi, oleh “celah-celah” kehidupan yang membuat hati menjadi keras. Kita tahu bahwa anak-anak juga ditandai oleh dosa asal. Mereka egois, tetapi mereka menjaga kemurnian, dan kesederhanaan batin. Namun demikian, anak-anak bukanlah diplomat: mereka mengatakan apa yang mereka rasakan, mengatakan apa yang mereka lihat secara langsung. Dan begitu sering mereka menempatkan orang tua mereka dalam kesulitan, ketika mengatakan hal seperti ini di depan orang lain: “Saya tidak suka ini karena jelek”. Tetapi ketika anak-anak mengatakan apa yang mereka lihat, mereka tidak bermuka dua. Mereka belum belajar ilmu bermuka dua, yang sayangnya telah dipelajari oleh orang dewasa.

Selain itu, anak-anak – melalui kesederhanaan batin yang dimilikinya – memungkinkan mereka untuk menerima dan memberikan dengan kelembutan. Kelembutan berarti memiliki hati yang terbuat “dari daging” dan bukan “dari batu”, sebagaimana yang dinyatakan dalam Kitab Suci (bdk. Yehezkiel 36:26). Kelembutan berarti sebuah puisi: yang dapat “merasakan” berbagai hal dan peristiwa, tidak memperlakukan sesuatu hanya sekadar sebagai objek belaka, yang hanya untuk digunakan, karena kegunaannya ….

Anak-anak memiliki kemampuan untuk tersenyum dan menangis. Ada beberapa anak-anak, ketika saya mengangkat dan memeluk mereka, mereka tersenyum. Namun ketika anak-anak lain melihat saya berpakaian putih dan berpikir bahwa saya seorang dokter, dan mengira bahwa saya akan memvaksinasi anak-anak itu, maka anak-anak itu pun menangis … secara spontan! Anak-anak memang seperti ini: mereka tersenyum dan menangis secara spontan. Dua ekspresi yang sering “tertahan” pada orang dewasa. Sebagai orang dewasa kita tidak lagi mampu melakukannya (tertawa dan menangis) secara spontan. Begitu sering senyum kita menjadi senyum kardus, senyum yang terpaku, senyum yang tidak alami, bahkan senyum buatan, seperti badut. Anak-anak tersenyum secara spontan dan menangis secara spontan pula. Pada dasarnya tersenyum dan menangis tergantung pada hati. Namun sering kali hati kita tersumbat dan kehilangan kemampuan untuk tersenyum ataupun menangis. Jadi anak-anak bisa mengajar kita tentang bagaimana cara tersenyum dan menangis lagi. Tetapi kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah saya tersenyum secara spontan, terus terang, dengan cinta, atau apakah senyum saya itu dibuat-buat? Apakah saya masih bisa menangis atau sudah kehilangan kemampuan untuk menangis? Ini adalah dua pertanyaan yang sangat manusiawi yang diajarkan anak-anak kepada kita.

Untuk semua alasan ini, Yesus mengundang murid-murid-Nya untuk “menjadi seperti anak-anak”, karena “Kerajaan Allah adalah milik orang-orang yang seperti mereka” (Mat 18:3; Mrk 10:14).

Saudara dan saudari terkasih, anak-anak membawa kehidupan, keceriaan, harapan, tetapi juga masalah. Tapi begitulah hidup ini. Tentu saja, anak-anak juga dapat menimbulkan kekhawatiran dan terkadang menimbulkan banyak masalah. Akan tetapi, lebih baik masyarakat khawatir karena masalah anak-anak ini, daripada masyarakat menjadi sedih dan abu-abu karena tidak ada anak-anak! Ketika kita melihat bahwa tingkat kelahiran di suatu masyarakat hampir tidak mencapai 1%, kita dapat mengatakan bahwa masyarakat ini sedang bersedih. Masyarakat itu sedang berada dalam situasi abu-abu karena mereka tidak memiliki anak.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 18 Maret 2015)

10
Anak-anak (II)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Dalam seri katekese tentang keluarga hari ini, kita akan mendalami tema anak-anak, yang merupakan karunia dan berkat terindah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada pria dan wanita. Kita telah berbicara tentang karunia besar yang dimiliki anak-anak. Hari ini, sayangnya kita harus berbicara tentang “gairah” yang dialami oleh banyak anak-anak.

Dari saat-saat pertama kehidupan mereka, banyak anak ditolak, ditinggalkan, dan dirampok masa kecil dan masa depan mereka. Ada orang-orang yang berani mengatakan, seakan-akan mau membenarkan diri, bahwa melahirkan anak-anak ke dunia adalah sebuah kesalahan. Ini memalukan! Janganlah kita membongkar kesalahan kita kepada anak-anak. Tolong, jangan! Anak-anak tidak pernah menjadi “kesalahan”. Kelaparan mereka bukanlah kesalahan, demikian juga kemiskinan, kerentanan, dan ketelantaran mereka bukanlah kesalahan mereka – begitu banyak anak ditinggalkan di jalanan – dalam ketidaktahuan atau ketidakberdayaan mereka … Begitu banyak anak bahkan tidak tahu apa itu sekolah. Apabila masalah ini memang benar ada, maka masalah ini harus menjadi alasan untuk lebih mencintai mereka (anak-anak), dengan kemurahan hati yang lebih besar. Bagaimana kita bisa membuat deklarasi serius tentang hak asasi manusia dan hak-hak anak, jika kita kemudian menghukum anak-anak karena kesalahan yang dilakukan oleh orang dewasa?

Mereka yang memiliki tugas memerintah, mendidik, meskipun demikian saya lebih suka mengatakan, semua orang dewasa, bertanggung jawab atas anak-anak, termasuk juga bertanggung jawab untuk melakukan apa pun yang dapat kita lakukan untuk mengubah situasi ini. Saya mengacu pada “gairah” anak-anak. Setiap anak yang terpinggirkan, ditinggalkan, yang hidup di jalanan lalu mengemis dengan segala macam tipuan, tidak bersekolah, tidak memperoleh perawatan medis, sesungguhnya adalah suatu jeritan tangis kepada Tuhan dan suatu bentuk pengaduan dari anak-anak terhadap sistem yang telah diatur oleh kita, orang dewasa. Dan sayangnya, anak-anak ini menjadi mangsa penjahat yang mengeksploitasi mereka untuk dijualbelikan atau untuk perdagangan manusia yang memalukan, atau melatih mereka untuk berperang dan melakukan kekerasan. Bahkan di negara-negara yang disebut kaya sekalipun, banyak anak hidup dalam situasi dramatis yang sangat melukai mereka, karena terjadi krisis di dalam keluarga, kesenjangan pendidikan, dan kadang-kadang kondisi kehidupan yang tidak manusiawi. Dalam setiap kasus, masa kecil mereka telah dilanggar sehingga mencederai tubuh dan jiwa mereka. Namun demikian, tidak satu pun dari anak-anak ini dilupakan oleh Bapa yang ada di surga! Tidak satu pun dari air mata mereka hilang. Demikian juga, tanggung jawab kita tidak hilang, tanggung jawab sosial banyak orang, kita masing-masing, dan negara.

Suatu ketika Yesus menegur murid-murid-Nya karena mereka mengusir anak-anak yang diantar oleh orang tuanya kepada-Nya untuk diberkati. Narasi Injil ini mengharukan: “Kemudian anak-anak dibawa kepada-Nya agar Dia dapat menumpangkan tangan-Nya ke atas mereka dan berdoa. Para murid menghardik orang-orang; tetapi Yesus berkata, ‘Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan menghalangi mereka; karena merekalah yang empunya kerajaan surga.’ Ia menumpangkan tangan-Nya ke atas mereka dan pergi” (Mat 19:13–15). Betapa indahnya kepercayaan orang tua dan tanggapan Yesus ini! Saya berharap bahwa bagian ini menjadi norma untuk semua anak! Memang benar, bahwa melalui kasih karunia Allah, anak-anak yang berada dalam kesulitan besar sering diberi orang tua yang luar biasa, orang tua yang siap dan bersedia untuk melakukan pengorbanan apa pun. Tetapi orang tua ini tidak boleh dibiarkan sendirian! Kita harus menemani mereka dalam kerja keras mereka, dan juga menawarkan saat-saat sukacita bersama dan keceriaan ringan, sehingga mereka tidak hanya ditinggalkan dan dibiarkan menjalani terapi rutin saja untuk anaknya.

Ketika menyangkut anak-anak, apa pun yang terjadi, seharusnya tidak ada ucapan yang terdengar seperti mekanisme pertahanan diri yang dianggap benar secara hukum, misalnya: “Bagaimanapun juga, kami bukan badan amal”, atau, “Secara pribadi, setiap orang bebas melakukan apa yang dia inginkan”, atau bahkan, “Kami minta maaf tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa”. Kata-kata ini tidak diperhitungkan ketika menyangkut anak-anak.

Terlalu sering anak terkena dampak buruk dari kehidupan yang tidak stabil dan bergaji rendah, jam kerja yang tidak berkelanjutan, transportasi yang buruk …. Anak-anak juga menanggung akibat dari perkawinan yang tidak matang dan perpisahan yang tidak bertanggung jawab: mereka adalah korban pertama; Mereka menderita akibat dari budaya yang mengedepankan hak-hak individual secara berlebihan, sehingga mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Mereka sering kali terpapar dan belajar mengenai kekerasan yang tidak dapat mereka “hindari”. Dan di depan mata orang dewasa, mereka dipaksa untuk terbiasa dengan sikap merendahkan orang lain.

Di zaman kita, seperti juga di masa lalu, Gereja menempatkan peran keibuannya untuk melayani anak-anak dan keluarga mereka. Kepada para orang tua dan anak-anak di dunia kita ini, Gereja membawa berkat Allah, kelembutan keibuan, teguran keras dan kecaman keras. Anak-anak bukanlah bahan tertawaan!

Pikirkanlah apa yang akan terjadi seandainya masyarakat memutuskan, sekali dan untuk selamanya, prinsip seperti ini: “Memang benar, kita tidak sempurna dan kita membuat banyak kesalahan. Tetapi ketika menyangkut anak-anak yang datang ke dunia, tidak ada pengorbanan orang dewasa yang terlalu mahal atau terlalu besar, untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang percaya bahwa dia adalah kesalahan, tidak berharga atau ditinggalkan untuk kehidupan yang penuh luka dan kesombongan manusia”. Betapa indahnya masyarakat seperti ini! Saya mengatakan bahwa untuk masyarakat seperti itu, kesalahan yang tak terhitung banyaknya bisa diampuni. Benar-benar banyak yang bisa diampuni.

Tuhan menilai hidup kita berdasarkan apa yang dikatakan malaikat anak-anak kepada-Nya, malaikat yang “selalu melihat wajah Bapa yang di surga” (Mat 18:10). Marilah kita selalu bertanya kepada diri kita sendiri: apa yang akan dikatakan oleh malaikat pelindung anak-anak kepada Allah tentang kita?

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 8 April 2015)

11
Laki-laki dan Perempuan (I)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat Pagi!

Katekese hari ini didedikasikan untuk aspek inti dari pembahasan tentang keluarga, yaitu: karunia besar yang Allah berikan kepada umat manusia melalui penciptaan laki-laki dan perempuan dan karunia melalui sakramen perkawinan. Katekese hari ini dan katekese berikutnya akan membahas mengenai perbedaan dan peluang saling melengkapi di antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan puncak ciptaan Ilahi. Setelah membahas kedua hal itu, akan dilanjutkan dengan mendalami tema tentang perkawinan.

Mari kita mulai dengan komentar singkat tentang narasi pertama kisah penciptaan, sebagaimana yang dicantumkan dalam Kitab Kejadian. Dalam Kitab Kejadian ini, kita membaca bahwa Allah, setelah menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup, Allah menciptakan mahakarya-Nya, yaitu manusia, yang Dia ciptakan menurut gambar-Nya sendiri: “menurut gambar Allah Dia menciptakan mereka; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27), demikianlah kutipan dari Kitab Kejadian.

Sebagaimana kita semua tahu, bahwa perbedaan seksual ada dalam begitu banyak bentuk kehidupan, bentuk makhluk hidup dalam jumlah yang besar. Tetapi hanya laki-laki dan perempuan saja-lah yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah: teks Kitab Suci mengulanginya sebanyak tiga kali dalam dua bagian (26–27): laki-laki dan perempuan adalah gambar dan rupa Allah. Teks ini menjelaskan bahwa bukan hanya pria saja yang merupakan gambar Allah atau wanita saja yang merupakan gambar Allah, tetapi laki-laki dan perempuan sebagai pasangan adalah gambar Allah. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dimaksudkan untuk berdiri dalam pertentangan, atau untuk saling menundukkan, tetapi dimaksudkan demi persekutuan dan generasi, selalu ada dalam gambar dan rupa Allah.

Pengalaman mendidik kita: bahwa untuk mengenal diri dengan baik dan berkembang secara harmonis, manusia membutuhkan relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan. Apabila kurang ada timbal balik ini, orang dapat melihat akibatnya. Kita diciptakan untuk saling mendengarkan dan saling membantu. Kita dapat mengatakan bahwa tanpa saling memperkaya dalam relasi – dalam pikiran dan tindakan, dalam kasih sayang dan dalam pekerjaan, serta dalam iman – keduanya tidak dapat memahami secara mendalam apa artinya menjadi seorang laki-laki dan menjadi seorang perempuan.

Budaya kontemporer modern telah membuka ruang baru, bentuk-bentuk kebebasan baru dan pedalaman baru yang memperkaya pemahaman tentang perbedaan ini. Namun demikian, pemahaman mengenai perbedaan juga menimbulkan banyak keraguan dan banyak skeptisisme. Sebagai contoh, saya bertanya pada diri sendiri, apa yang disebut dengan teori gender, pada saat yang sama, apakah bukan merupakan sebuah ekspresi frustrasi dan kepasrahan, yang berupaya menghilangkan perbedaan seksual karena tidak lagi tahu bagaimana menyikapinya. Ya, kita berisiko mengambil langkah mundur. Penghapusan perbedaan sebenarnya menciptakan masalah, bukan solusi. Untuk menyelesaikan masalah relasi antara pria dan wanita, mereka perlu lebih banyak saling berbicara, lebih banyak saling mendengarkan, mengenal satu sama lain dengan lebih baik, lebih mencintai satu sama lain. Mereka harus memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan bekerja sama dalam persahabatan. Atas dasar persahabatan manusiawi yang ditopang oleh kasih karunia Allah, menjadi mungkin bagi mereka untuk merencanakan persatuan perkawinan dan keluarga seumur hidup. Ikatan perkawinan dan keluarga adalah hal serius bagi semua orang, bukan hanya bagi orang beriman saja. Saya akan mendesak para intelektual untuk tidak mengesampingkan tema ini. Para intelektual sepertinya menganggap hal ini sebagai masalah sekunder demi tumbuhnya masyarakat yang lebih bebas dan adil, menurut pandangan mereka.

Allah mempercayakan bumi kepada persekutuan antara laki-laki dan perempuan: kegagalan persekutuan antara laki-laki dan perempuan dapat menghilangkan kehangatan di bumi ini dan menggelapkan langit yang dapat memberikan harapan. Ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan dan kita telah melihatnya. Di antara banyak tanda,  saya ingin menunjukkan dua pokok yang menurut saya mendesak untuk diperhatikan.

Yang pertama. Tidak perlu diragukan lagi bahwa ada banyak hal yang harus kita perbuat untuk mengangkat perempuan, khususnya jika kita ingin memperkuat relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, perempuan tidak hanya perlu lebih didengarkan, namun juga perlu disadari bahwa suara perempuan mengandung bobot yang nyata. Dan otoritas suara perempuan juga perlu diakui di masyarakat maupun di Gereja. Dibandingkan di situasi sekarang, cara Yesus memperlakukan perempuan di masa itu memang kurang menguntungkan, karena di masa itu perempuan diposisikan di tempat kedua. Yesus memandang perempuan dengan cara yang memancarkan terang yang kuat, yang menerangi jalan yang mengarah jauh, di mana hal ini hanya akan kita bahas sedikit saja. Kita belum memahami secara mendalam apa yang bisa diberikan oleh kaum jenius feminin kepada kita, apa yang bisa diberikan perempuan kepada masyarakat dan juga kepada kita. Mungkin perempuan melihat hal-hal dengan cara yang dapat melengkapi pikiran laki-laki. Jalan ini perlu diikuti dengan kreativitas dan keberanian yang lebih besar.

Pokok kedua menyangkut laki-laki dan perempuan yang diciptakan menurut gambar Allah. Saya bertanya-tanya apakah krisis kepercayaan kolektif kepada Allah, yang sangat merugikan kita, dan membuat kita pucat karena kepasrahan, ketidakpercayaan dan sinisme, tidak juga terkait dengan krisis perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Fakta yang kita jumpai pada catatan Kitab Suci, yang menggunakan simbol firdaus duniawi dan dosa asal, menunjukkan kita bahwa persekutuan dengan Allah tercermin dalam persekutuan pasangan manusia. Dan hilangnya kepercayaan kepada Bapa surgawi menghasilkan perpecahan dan konflik antara laki-laki dan perempuan.

Tanggung jawab besar Gereja, sebagai orang beriman, dan pertama-tama dari keluarga yang beriman, adalah mendorong orang untuk menemukan kembali keindahan desain kreatif yang melukiskan gambar Allah dalam perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Bumi dipenuhi dengan harmoni dan kepercayaan ketika perjanjian antara laki-laki dan perempuan dijalani dengan benar. Dan apabila pria dan wanita mencarinya bersama-sama, di antara mereka sendiri, dan dengan Allah, dapat dipastikan bahwa mereka akan menemukan keindahan itu. Yesus mendorong kita secara jelas untuk memberikan kesaksian tentang keindahan ini, yang adalah gambar Allah.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 15 April 2015)

12
Laki-laki dan Perempuan (II)

Saudara dan saudari terkasih,

Dalam katekese sebelumnya yang mengulas tentang keluarga, saya merenungkan narasi pertama tentang penciptaan manusia, yakni dalam pasal pertama Kejadian, di mana ada tertulis: “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri, menurut gambar Allah Ia menciptakan dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27).

Hari ini, saya ingin melengkapi refleksi itu dengan narasi kedua, yang dapat kita temukan dalam bab kedua. Di sana kita membaca bahwa Allah, setelah menciptakan langit dan bumi, “membentuk manusia dari debu dari tanah, dan menghembuskan ke dalam lubang hidungnya nafas kehidupan; dan manusia menjadi makhluk hidup” (Kej 2:7). Inilah puncak dari penciptaan. Namun ada sesuatu yang hilang: maka Allah menempatkan manusia di taman yang paling indah agar ia dapat membudidayakan dan merawatnya (Kej 2:15).

Roh Kudus, yang mengilhami seluruh Kitab Suci, sekelebat memunculkan gambaran tentang laki-laki saja – ada sesuatu yang hilang – tanpa perempuan. Dan Roh Kudus membangkitkan pikiran Allah, bahkan emosi-Nya, ketika Dia menatap Adam, mengamati bahwa ia sendirian di taman. Dia bebas, dia adalah seorang raja … Tapi dia sendirian. Dan Allah melihat bahwa ini “tidak baik”: seakan-akan ada sesuatu yang hilang yaitu persekutuan. Ia tidak memiliki persekutuan, kurang ada kepenuhan. “Itu tidak baik”, Allah berkata, dan menambahkan: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej 2:18).

Maka Allah membawa semua binatang kepada manusia; Manusia memberikan nama kepada masing-masing – dan ini adalah gambaran lain dari kekuasaan manusia atas ciptaan – tetapi ia melihat bahwa tidak satu pun dari binatang itu seperti dirinya. Manusia tetap hidup sendirian. Ketika akhirnya Allah menghadirkan perempuan, pria dengan gembira mengakui bahwa ciptaan ini, dan makhluk ini saja, adalah bagian dari dirinya: “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23). Akhirnya, ada relasi timbal balik. Ketika seseorang – hendak memberikan contoh dan berusaha menjelaskan sesuatu kepada kita – ketika seseorang ingin berjabat tangan dengan orang lain, maka harus ada orang lain di hadapannya: jika dia mengulurkan tangannya padahal tidak ada orang lain di hadapannya … Tangannya tetap terulur, namun tidak ada timbal balik. Inilah yang dimaksud dengan keberadaan pria sebelumnya, terdapat suatu kekurangan yang membuatnya tidak bisa mencapai kepenuhannya; kekurangan itu adalah tidak adanya relasi timbal balik. Perempuan bukanlah replika dari pria; perempuan datang langsung dari tindakan kreatif Tuhan. Citra “tulang rusuk” sama sekali tidak mengekspresikan inferioritas atau subordinasi, tetapi, sebaliknya, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki substansi yang sama dan saling melengkapi, dan bahwa mereka juga perlu saling timbal balik ini. Bahwa dalam perumpamaan itu disebutkan – Allah membentuk perempuan ketika laki-laki tidur, berarti bahwa perempuan sama sekali bukan ciptaan manusia, tetapi ciptaan Allah. Dia juga menyebutkan hal lain yang juga penting: untuk menemukan perempuan – dan kita bisa mengatakan untuk menemukan cinta pada perempuan – laki-laki pertama-tama harus memimpikannya dan kemudian menemukannya. Allah percaya kepada laki-laki dan perempuan, dan kepada mereka Allah mempercayakan bumi. Ini memperlihatkan bahwa Allah sungguh murah hati, bertindak langsung dan penuh. Dia memercayai mereka. Tetapi kemudian iblis merasuki pikiran mereka dengan kecurigaan, ketidakpercayaan, rasa tidak yakin dan akhirnya, ketidaktaatan terhadap perintah yang sebetulnya bersifat melindungi mereka. Mereka jatuh ke dalam delirium kemahakuasaan yang mencemari segalanya dan menghancurkan harmoni. Kita sering kali juga merasakan hal ini di dalam diri kita, kita semua.

Dosa menghasilkan ketidakpercayaan dan perpecahan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan mereka akan dirusak oleh seribu bentuk pelecehan dan penaklukan, rayuan yang menyesatkan dan pengabaian yang memalukan, bahkan dalam bentuk yang paling dramatis dan kejam. Dan sejarah menanggung bekas luka itu. Mari kita pikirkan, misalnya, ekses negatif dari budaya patriarki. Pikirkan mengenai maraknya berbagai bentuk dominasi laki-laki; sementara perempuan dianggap kelas dua. Pikirkan mengenai eksploitasi dan komersialisasi tubuh perempuan dalam budaya media saat ini. Dan marilah kita juga memikirkan epidemi ketidakpercayaan, skeptisisme, dan bahkan permusuhan yang akhir-akhir ini menyebar dalam budaya kita – khususnya ketidakpercayaan dari pihak perempuan – pada bagian dari perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang mampu, pada saat yang sama, menyempurnakan keintiman persekutuan dan sekaligus menjaga martabat perbedaan.

Jika kita tidak menemukan gelombang penghormatan terhadap perjanjian ini, yang mampu melindungi generasi baru dari sikap tidak percaya dan tidak peduli, maka anak-anak yang dilahirkan akan semakin tercabut dari rahim ibu. Devaluasi sosial atas perjanjian yang stabil dan generatif antara laki-laki dan perempuan tentu saja merupakan kerugian bagi semua orang. Kita harus mengembalikan hakikat perkawinan dan keluarga ke tempat yang terhormat! Kitab Suci mengatakan sesuatu yang indah: laki-laki menjumpai perempuan, mereka bertemu. Dan laki-laki harus meninggalkan sesuatu untuk menemukan perempuan itu sepenuhnya. Itulah sebabnya laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk pergi kepada perempuan. Itu indah! Artinya bahwa laki-laki menetapkan jalur baru. Laki-laki adalah segalanya bagi perempuan dan perempuan adalah segalanya bagi laki-laki.

Tanggung jawab untuk menjaga perjanjian antara laki-laki dan perempuan ini adalah tanggung jawab kita, meskipun kita adalah orang berdosa dan terluka, bingung dan terhina, putus asa dan tidak pasti; Namun demikian, bagi kita orang-orang percaya, tanggung jawab ini merupakan panggilan yang menuntut dan pakem dalam situasi saat ini. Narasi yang sama tentang penciptaan dan tentang dosa, berakhir dengan menunjukkan kepada kita sebuah ikon yang sangat indah: “Tuhan Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka” (Kej 3:21). Tindakan Tuhan ini merupakan gambaran kelembutan terhadap pasangan berdosa yang membuat mulut kita ternganga: kelembutan Allah terhadap laki-laki dan perempuan! Ini adalah gambaran kepedulian kebapakan kepada pasangan manusia. Allah sendiri peduli dan melindungi mahakaryanya.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 22 April 2015)

13
Perkawinan (I)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Setelah mendalami dua narasi dari Kitab Kejadian, permenungan kita tentang rencana awal Allah bagi laki-laki dan perempuan untuk hidup sebagai pasangan, sekarang ini beralih langsung kepada Yesus.

Di bagian awal Injilnya, Yohanes menceritakan kisah perkawinan di Kana, di mana Perawan Maria dan Yesus hadir bersama murid-muridnya yang pertama (Yoh 2:1–11). Yesus tidak hanya berpartisipasi dalam perkawinan itu, tetapi “menyelamatkan pesta” melalui mukjizat anggur! Yesus mengadakan tanda mujijat yang luar biasa, di mana Ia menyatakan kemuliaan-Nya, dalam konteks perkawinan. Tindakan ini mengungkapkan simpati yang begitu besar bagi sebuah keluarga baru, yang dimohonkan oleh Bunda Maria yang peduli. Peristiwa ini mengingatkan kita pada Kitab Kejadian, ketika Allah menyelesaikan karya penciptaan-Nya dan membuat mahakarya-Nya; Mahakarya itu adalah laki-laki dan perempuan. Dan di sini, di sebuah perkawinan, di sebuah pesta perkawinan, Yesus memulai mukjizat-mukjizat-Nya dengan mahakarya ini: seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dengan demikian Yesus mengajarkan kepada kita bahwa keluarga adalah karya agung masyarakat: seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling mengasihi! Ini adalah mahakarya!

Sejak saat perkawinan di Kana, banyak hal berubah, tetapi “tanda” Kristus itu tetap mengandung pesan yang selalu valid. Hari ini tampaknya sulit untuk berbicara tentang perkawinan sebagai pesta yang diperbarui setiap waktunya, di berbagai musim kehidupan pasangan. Fakta menunjukkan bahwa semakin hari semakin sedikit orang yang menikah. Fakta juga menunjukkan bahwa: anak muda tidak ingin menikah. Di banyak negara, jumlah perpisahan malah meningkat sementara jumlah anak berkurang. Kesulitan untuk tetap hidup bersama – baik sebagai pasangan maupun sebagai keluarga – menyebabkan ikatan terputus dengan frekuensi dan kecepatan yang semakin meningkat. Dan anak-anak menjadi yang pertama menderita konsekuensinya. Marilah kita renungkan bahwa korban pertama, korban yang paling penting, korban yang paling menderita sebagai konsekuensi dari perpisahan tersebut adalah anak-anak.

Jika sejak kecil anda merasa bahwa perkawinan adalah ikatan “sementara”, maka secara tidak sadar hal itu akan terjadi pada anda. Bahkan, banyak orang muda dituntun untuk menolak rencana membentuk ikatan yang tidak dapat dibatalkan dan membentuk keluarga yang langgeng. Saya percaya bahwa kita harus merenungkan dengan sangat serius mengapa begitu banyak anak muda “tidak merasa” telah menikah. Ada budaya sementara … Semuanya sementara, sepertinya tidak ada yang pasti.

Masalah orang muda yang tidak ingin menikah adalah salah satu kekhawatiran yang muncul saat ini: mengapa orang muda tidak menikah? Mengapa banyak orang muda lebih suka hidup bersama dan memiliki “tanggung jawab yang terbatas”? Mengapa terdapat banyak orang — bahkan di antara yang dibaptis — kurang percaya pada perkawinan dan kehidupan dalam keluarga? Jika kita menghendaki kaum muda menemukan jalan yang benar dan bersedia mengikuti jalan tersebut, maka penting bagi kita untuk mencoba memahami fenomena ini, yaitu: Mengapa mereka tidak percaya pada keluarga?

Kesulitannya tidak hanya terletak dalam masalah ekonomi, meskipun masalah ekonomi juga merupakan masalah serius. Banyak yang percaya bahwa perubahan yang telah terjadi dalam dekade terakhir ini digerakkan oleh emansipasi perempuan. Tetapi bahkan argumen ini tidak valid, itu salah, itu tidak benar! Ini adalah bentuk chauvinisme laki-laki, yang selalu berusaha mendominasi perempuan. Kita membuat kesan buruk mengenai perempuan sebagaimana yang dibuat oleh Adam, ketika Allah bertanya kepadanya: “Mengapa engkau memakan buah dari pohon itu?”, Dan ia berkata: “Perempuan itu memberikannya kepadaku”. Berarti yang bersalah adalah perempuan itu. Perempuan malang! Kita harus membela perempuan! Bahkan, hampir semua laki-laki dan perempuan menginginkan keamanan emosional yang stabil, perkawinan yang solid dan keluarga yang bahagia. Keluarga ternyata menduduki puncak dari semua indeks kesejahteraan di kalangan anak muda; tetapi, karena takut akan kesalahan, banyak orang muda yang bahkan tidak mau memikirkan kemungkinan untuk menikah; bahkan sebagai orang Kristen, mereka tidak menganggap sakramen perkawinan, tanda perjanjian yang tunggal dan tidak dapat diulang, sebagai sebuah kesaksian iman. Ada kemungkinan ketakutan akan kegagalan dalam perkawinan menjadi hambatan terbesar untuk menerima Sabda Kristus, yang menjanjikan rahmat-Nya kepada persatuan suami-istri dan keluarga.

Kesaksian yang paling meyakinkan tentang berkat yang diperoleh dari perkawinan Kristen adalah kehidupan yang baik dari pasangan Kristen beserta keluarganya. Tidak ada cara yang lebih baik untuk berbicara tentang keindahan sakramen! Perkawinan yang dikuduskan oleh Allah untuk melindungi ikatan antara laki-laki dan perempuan yang telah diberkati oleh Allah sendiri sejak penciptaan dunia; dan berkat Allah adalah sumber kedamaian dan kebaikan untuk seluruh kehidupan perkawinan dan keluarga. Misalnya, pada abad-abad pertama Kekristenan, nilai luhur ikatan antara laki-laki dan perempuan ini mengatasi pelecehan yang kemudian dianggap normal, yaitu hak suami untuk menolak istri mereka, bahkan untuk alasan yang didasarkan pada dalih atau untuk mempermalukan. Injil keluarga, Injil yang mewartakan Sakramen ini mengatasi budaya penolakan adat ini.

Kini, benih Kristen yang berakar pada kesetaraan di antara pasangan harus menghasilkan buah baru, tidak seperti dulu lagi seperti yang dijelaskan di atas. Kesaksian tentang martabat sosial dari perkawinan akan menjadi lebih persuasif justru melalui cara ini, melalui cara kesaksian yang menarik, melalui relasi timbal balik di antara pasangan, melalui cara saling melengkapi satu sama lain.

Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, kita harus bersikap lebih tegas. Misalnya: secara tegas mendukung hak mendapatkan upah yang sama bagi pekerjaan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Mengapa diterima begitu saja bahwa perempuan harus berpenghasilan lebih rendah daripada laki-laki? Tidak! Mereka memiliki hak yang sama. Perbedaan ini secara mutlak merupakan sebuah aib! Pada saat yang sama, mengakui peran ibu dari perempuan dan peran ayah dari laki-laki sebagai harta yang berharga, yang harus diupayakan sebaik mungkin demi kebaikan anak-anak mereka di atas segalanya. Demikian juga, keramahtamahan keluarga Kristen saat ini juga memegang peranan sangat penting, terutama dalam situasi yang banyak diwarnai oleh kemiskinan, degradasi, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Saudara dan saudari terkasih, janganlah takut untuk mengundang Yesus ke pesta perkawinan anda, untuk mengundang-Nya ke rumah kita, agar Ia menyertai kita dan menjaga keluarga kita. Dan kita tidak perlu takut untuk mengundang Bunda-Nya – Maria! Ketika orang Kristen menikah “di dalam Tuhan”, mereka diubah menjadi tanda kasih Allah yang efektif. Orang Kristen tidak menikah untuk diri mereka sendiri: mereka menikah di dalam Tuhan, yang ditujukan untuk kebaikan seluruh komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan.

Saya juga akan berbicara tentang indahnya panggilan perkawinan Kristiani ini dalam katekese berikutnya.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 29 April 2015)

14
Perkawinan (II)

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi,

Dalam perjalanan katekese kita tentang keluarga, hari ini kita akan menyentuh langsung mengenai keindahan perkawinan Kristiani. Ini bukan hanya upacara di gereja, dengan hiasan bunga, gaun, foto…. Perkawinan Kristiani adalah sakramen yang terjadi dalam Gereja, dan yang juga membentuk Gereja, dengan munculnya komunitas keluarga baru.

Inilah yang dikatakan Rasul Paulus dalam ungkapannya yang terkenal: “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Ef 5:32). Diilhami oleh Roh Kudus, Paulus mengatakan bahwa kasih di antara pasangan adalah gambaran kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Sebuah nilai yang tak terbayangkan mulianya! Tetapi sebenarnya hal itu sudah tertulis dalam rancangan Allah yang kreatif, dan melalui kasih karunia Kristus, pasangan Kristen yang tak terhitung banyaknya itu, dengan segala keterbatasan dan dosa mereka, telah menyadarinya!

Santo Paulus, yang berbicara tentang hidup baru di dalam Kristus, mengatakan bahwa umat Kristiani – masing-masing dari mereka – dipanggil untuk saling mengasihi seperti Kristus telah mengasihi mereka, yaitu “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain” (Ef 5:21), artinya saling melayani. Di sini, Santo Paulus memperkenalkan sebuah analogi mengenai suami-istri, seperti Kristus-Gereja. Analogi ini jelas tidak sempurna, tetapi kita harus memaknainya dalam arti rohani yang sangat luhur dan revolusioner, sekaligus sederhana. Analogi ini dapat diperuntukkan bagi setiap pria dan wanita yang mempercayakan pasangannya dan dirinya sendiri kepada kasih karunia Allah.

Suami – kata Paulus – harus mengasihi istri mereka “seperti tubuhnya sendiri” (Ef 5:28); mengasihi mereka seperti Kristus “telah mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya” (ayat 25). Anda para suami yang hadir di sini, apakah anda memahaminya? Apakah anda mengasihi istri anda seperti Kristus mengasihi Gereja? Ini bukan lelucon, ini serius! Dampak devosi radikal yang dituntut dari laki-laki, yang karena cinta dan martabat perempuan, kemudian mengikuti teladan Kristus, merupakan hal yang luar biasa dalam komunitas Kristen itu sendiri. Benih kebaruan Injili ini, yang memulihkan relasi timbal balik yang bertolak dari rasa pengabdian dan rasa hormat ini, mengalami proses pematangan di sepanjang sejarah, meskipun berlangsung perlahan tetapi akhirnya menang.

Sakramen perkawinan adalah tindakan iman dan kasih yang besar: sebuah kesaksian tentang keberanian untuk percaya pada keindahan tindakan kreatif Allah dan untuk menghayati kasih yang selalu mendorong kita untuk terus maju, melampaui diri kita sendiri dan bahkan melampaui keluarga kita sendiri. Panggilan Kristiani untuk mengasihi tanpa syarat dan tanpa batas sebetulnya merupakan dasar dari perjanjian bebas untuk membentuk perkawinan, melalui rahmat Kristus.

Gereja sendiri sepenuhnya terlibat dalam setiap kisah perkawinan Kristen: Gereja dibangun di atas keberhasilan mereka dan Gereja menderita ketika terjadi kegagalan dalam perkawinan. Namun demikian kita harus bertanya dengan sungguh: apakah kita sendiri sebagai orang beriman dan sebagai gembala, menerima jauh di lubuk hati akan adanya ikatan sejarah Kristus dan Gereja-Nya yang tak terpisahkan ini serta adanya sejarah perkawinan dan keluarga manusia? Apakah kita benar-benar siap untuk memikul tanggung jawab ini, yaitu, dengan mengimani bahwa setiap perkawinan hendaknya melangkah di jalan kasih Kristus, sebagaimana kasih Kristus bagi Gereja? Jika ya, maka ini hebat!

Di kedalaman misteri penciptaan ini, yang diakui dan dipulihkan dalam kemurniannya, membuka cakrawala besar kedua yang menandai sakramen perkawinan. Keputusan untuk “menikah di dalam Tuhan” juga memerlukan dimensi misioner, yang berarti memiliki kesediaan di dalam hati untuk menjadi perantara berkat Allah serta perantara kasih karunia Tuhan bagi semua orang. Dalam akta, pasangan Kristen berpartisipasi sebagai pasangan dalam misi Gereja. Ini membutuhkan keberanian! Itulah sebabnya ketika saya bertemu pengantin baru, saya berkata: “Inilah orang-orang pemberani!”, Karena dibutuhkan keberanian untuk saling mengasihi seperti Kristus mengasihi Gereja.

Dalam perayaan sakramen harus terkandung kesadaran akan adanya tanggung jawab bersama dari keluarga ini dalam menggalang kehidupan ke depan selaras dengan misi kasih Gereja yang agung. Dan dengan demikian, kehidupan Gereja diperkaya setiap saat oleh keindahan perjanjian suami-istri yang diucapkan dalam sakramen perkawinan. Kehidupan Gereja juga akan memburuk setiap kali perjanjian suami-istri tersebut dilanggar. Gereja, ketika mempersembahkan karunia iman kepada semua orang, ketika memberikan harapan dan kasih, membutuhkan kesetiaan gigih pasangan terhadap rahmat yang terkandung dalam sakramen mereka! Umat Allah dituntut untuk mewujudkan iman, kasih, dan harapan, disertai sukacita dan kerja keras ketika menjalani kehidupan sehari-hari di sepanjang perjalanan dalam perkawinan dan keluarga.

Rute perjalanan ini telah ditandai dengan baik untuk dijalani selamanya. Rute itu adalah rute cinta: untuk mencintai seperti Tuhan mengasihi kita, yang berlaku selamanya. Kristus tidak berhenti merawat Gereja: Ia selalu mencintainya, Ia selalu menjaganya, seperti diri-Nya sendiri. Kristus tidak berhenti menghilangkan noda dan kerut yang terdapat di wajah dari setiap jenis manusia yang ada. Mengharukan dan sangat indah untuk dilihat, pancaran kuasa dan kelembutan Tuhan ini, yang ditularkan dari pasangan ke pasangan, dari keluarga ke keluarga. Santo Paulus benar: ini sungguh-sungguh “misteri besar”! Pria dan wanita, yang cukup berani untuk membawa harta ini dalam “bejana tanah” kemanusiaan kita, adalah – laki-laki dan perempuan yang begitu berani – mereka merupakan sumber daya penting bagi Gereja, juga bagi dunia! Semoga Tuhan memberkati mereka seribu kali lipat untuk ini!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 6 Mei 2015)

15
Tiga Ungkapan

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Katekese hari ini menjadi pintu masuk untuk melakukan serangkaian refleksi tentang kehidupan keluarga dan bagaimana rasanya hidup dalam keluarga hari demi hari. Bayangkan ada tiga ungkapan tertulis di atas ambang pintu; ungkapan yang telah saya sebutkan di sini di Lapangan Santo Petrus beberapa kali sebelumnya. Ungkapan tersebut adalah: “bolehkah saya?”, “terima kasih”, dan “maafkan saya”. Sesungguhnya, ungkapan-ungkapan ini membuka jalan menuju kepada hidup baik dalam keluarga anda, kepada hidup dalam damai. Ketiga ungkapan itu merupakan ungkapan sederhana, tetapi tidak begitu sederhana untuk dipraktikkan! Ketiga ungkapan tersebut mengandung banyak kekuatan: kekuatan untuk menjaga kehidupan rumah tangga supaya tetap utuh bahkan ketika diuji dengan seribu masalah. Jangan lupa juga, bahwa seandainya jika tidak terlihat ada masalah, lubang-lubang kecil bisa membuat retak, terbuka dan bahkan bisa runtuh.

Kami biasanya memilah ungkapan-ungkapan ini ke dalam kelompok “santun”. Oke, orang yang santun meminta izin, mengucapkan terima kasih, dan meminta maaf setelah melakukan kesalahan. Baiklah. Sesungguhnya sopan santun itu benar-benar penting. Seorang Uskup besar, Francis de Sales, pernah mengatakan bahwa “perilaku yang baik itu sebetulnya sudah merupakah setengah jalan menuju kekudusan”. Namun demikian hati-hati: sejarah telah menunjukkan bahwa perilaku baik juga bisa menjadi formalitas belaka, yang menutupi kekeringan jiwa dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Sering dikatakan, “di balik banyak sopan santun tersembunyi banyak kebiasaan buruk”. Bahkan agama pun tidak kebal dan terjebak dalam kebiasaan yang secara formal taat, tetapi tenggelam dalam semangat keduniawian. Iblis, mencobai Yesus, menyombongkan diri dengan sopan santun. Memang, Iblis menampilkan dirinya sebagai seorang pria terhormat, seorang ksatria dengan baju besi yang bersinar. Iblis juga bisa menampilkan dirinya sebagai seorang teolog dengan mengutip Kitab Suci. Iblis tampaknya memiliki segalanya dengan benar dan rapi di luar, tetapi niatnya selalu untuk menyesatkan orang lain dari kasih sejati Tuhan. Bagaimanapun juga, yang kami artikan sebagai “perilaku yang baik” adalah hanya apabila perilaku itu betul-betul autentik, di mana kebiasaan membina hubungan baik berakar kuat dari cinta yang didedikasikan untuk kebaikan disertai sikap hormat untuk orang lain. Rasa cinta yang halus ini biasanya ditemukan dalam kehidupan keluarga.

Mari kita lihat ungkapan-ungkapan berikut ini: ungkapan pertama adalah, “bolehkah saya?” Ketika kita berhati-hati untuk meminta sesuatu yang baik – bahkan sesuatu yang sepengetahuan kita memiliki klaim yang sah – itu berarti kita membantu memperkuat kehidupan bersama yang mendasari perkawinan dan keluarga. Memasuki kehidupan orang lain, bahkan ketika orang itu sudah menjadi bagian dalam hidup kita, menuntut kepekaan untuk bersikap non-invasif di mana harus melibatkan rasa percaya dan rasa hormat. Memang, bila cinta lebih dalam dan lebih intim, maka ia semakin menyerukan penghormatan terhadap kebebasan orang lain dan kemampuan untuk menunggu sampai yang lain membuka hatinya. Pada titik ini, kita dapat mengingat kata-kata Yesus dalam Kitab Wahyu: “Lihatlah, Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk; jika ada yang mendengar suara-Ku dan membuka pintu, Aku akan masuk kepadanya dan makan bersamanya, dan dia bersama-Ku” (Why 3:20). Bahkan Tuhan meminta izin untuk masuk! Janganlah kita lupakan itu. Sebelum melakukan apa pun dalam keluarga, tanyakan: “Apakah anda keberatan jika saya melakukan ini? Apakah anda inginkan untuk saya lakukan?” Cara bertanya ini memang santun, tapi juga penuh cinta. Cara ini sangat baik untuk keluarga.

Ungkapan kedua adalah “terima kasih”. Kadang-kadang kita harus menanyakan apakah peradaban kita sudah berubah ketika perilaku buruk dan kata-kata buruk dianggap sebagai tanda pembebasan diri. Tidak jarang kita mendengar kata-kata buruk diucapkan di depan umum. Kebaikan dan kemampuan untuk mengatakan “terima kasih” sering dianggap sebagai tanda kelemahan dan menimbulkan kecurigaan dalam diri orang lain. Kecenderungan ini ditemui bahkan di dalam inti hidup berkeluarga. Kita harus bertekad kuat untuk mendidik orang lain agar dapat bersyukur dan bersikap menghargai: martabat pribadi dan keadilan sosial harus melewati portal keluarga. Jika kehidupan keluarga mengabaikan gaya hidup ini, kehidupan sosial juga akan menolaknya. Rasa syukur, bagaimanapun, berdiri di inti dari iman orang yang percaya. Seorang Kristen yang tidak tahu bagaimana harus berterima kasih telah kehilangan “bahasa” Allah. Ini mengerikan! Jangan melupakan pertanyaan Yesus setelah Ia menyembuhkan sepuluh penderita kusta dan hanya satu dari mereka yang kembali untuk berterima kasih kepada-Nya (Luk 17:18). Saya ingat bahwa saya pernah mendengarkan orang tua yang sangat bijaksana; sangat sederhana, tetapi dilakukan dengan kebijaksanaan hidup dan kesalehan yang tidak biasa: “Syukur adalah tanaman yang hanya tumbuh di tanah jiwa-jiwa mulia”. Kemuliaan jiwa itu, rahmat Allah di dalam jiwa mendorong kita untuk mengucapkan “terima kasih” dengan rasa syukur. Terima kasih adalah bunga dari jiwa yang mulia. Ini sungguh indah.

Ungkapan ketiga adalah “maafkan aku”. Memang, tidak selalu mudah untuk mengatakannya, tetapi sangat perlu dikatakan. Ketika ungkapan ini kurang dinyatakan, retakan kecil mulai terbuka – bahkan ketika kita tidak menginginkan retakan itu timbul – dan retakan itu bahkan bisa menjadi lubang reruntuhan yang sangat besar. Kita jarang menyadari bahwa dalam doa “Bapa Kami” yang diajarkan Yesus kepada kita – doa yang merangkum semua pertanyaan penting kehidupan – kita menemukan ungkapan ini: “Ampunilah kesalahan kami, sama seperti kami mengampuni mereka yang bersalah terhadap kami” (Mat 6:16). Pengakuan bahwa kita telah gagal, keinginan untuk mengembalikan apa yang telah diambil – rasa hormat, ketulusan, cinta – membuat kita layak diampuni. Meminta maaf adalah cara kita menyembuhkan infeksi. Jika kita tidak mampu memaafkan diri kita sendiri, maka kita tidak lagi bisa memaafkan kesalahan yang terjadi di suatu periode tertentu. Sebuah rumah di mana kata-kata “Maafkan aku” tidak pernah diucapkan, maka rumah itu akan terasa seperti kurang udara, dan air banjir mulai mencekik mereka yang tinggal di dalamnya. Banyaknya luka, goresan dan memar muncul sebagai hasil dari kurangnya kata-kata berharga ini: “Saya minta maaf”. Kehidupan perkawinan begitu sering terkoyak oleh perkelahian … “Lempengan-lempengan itu bahkan akan mulai terbang”, tetapi izinkan saya memberi anda nasihat: jangan pernah menyelesaikan hari tanpa berdamai. Dengarkan saya baik-baik: apakah anda bertengkar dengan istri atau suami anda? Anak-anak – apakah anda bertengkar dengan orang tua anda? Apakah anda serius berdebat? Itu bukan hal yang baik, tetapi sebenarnya bukan itu masalahnya: masalah muncul hanya jika perasaan ini menggantung ke hari berikutnya. Jadi jika anda sudah berjuang, jangan biarkan hari berakhir tanpa berdamai dengan keluarga anda. Dan bagaimana saya akan berdamai? Dengan berlutut? Tidak! Hanya dengan gerakan kecil, sedikit berbuat sesuatu, dan keharmonisan dalam keluarga anda akan dipulihkan. Hanya sedikit belaian, tidak perlu kata-kata. Tapi jangan biarkan matahari terbenam pada keluarga anda tanpa memberikan kedamaian dalam hati anda. Kamu mengerti? Ini tidak mudah, tetapi anda harus melakukannya. Ini akan membantu membuat hidup jauh lebih indah.

Jadi tiga ungkapan kunci untuk kehidupan keluarga ini adalah kata-kata yang sangat sederhana; begitu sederhana sehingga mungkin ketiga ungkapan itu menggiring kita untuk tersenyum. Tetapi ketika kita melupakannya, maka tidak ada tawa lagi, bukan? Mungkin kita terlalu sering mengabaikan bahwa sebetulnya kita mampu berperilaku baik. Semoga Tuhan membantu kita untuk mengembalikan perilaku atau ungkapan baik tadi ke tempat asalnya, yaitu: di dalam hati kita, di rumah kita, dan dalam kehidupan sipil kita. Ini adalah kata-kata yang benar-benar bagian dalam cinta keluarga.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 13 Mei 2015)

16.
Pendidikan

Saudara – Saudari terkasih, Selamat Pagi!

Saudara-saudari terkasih, hari ini saya ingin menyambut anda karena saya melihat ada banyak keluarga di antara anda yang hadir di sini. Selamat pagi untuk anda semua! Mari kita terus merenungkan tentang keluarga. Hari ini kita akan rehat sejenak untuk merenungkan karakteristik penting dari keluarga, yakni panggilan alami untuk mendidik anak-anak sehingga mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan orang lain. Apa yang kita dengar dari Rasul Paulus, pada awalnya, sangatlah indah: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena inilah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-Bapa, jangan sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kol 3:20–21). Aturan ini bijaksana: anak-anak dididik untuk mendengarkan orang tua mereka dan taat kepada orang tua mereka. Untuk itu, sebaiknya para orang tua jangan memerintah anak-anak dengan cara yang negatif, agar tidak mengecilkan hati anak-anaknya. Anak-anak selangkah demi selangkah, memang harus tumbuh tanpa menjadi orang yang mudah putus asa. Jika anda sebagai orang tua berkata kepada anak-anak anda: “Mari kita naik tangga ini” dan anda memegang tangan mereka dan, selangkah demi selangkah, membantu mereka memanjat, semuanya akan berjalan dengan baik. Tetapi jika anda berkata: “Naik!” – “Tapi saya tidak bisa” – “Pergi!”, Ini disebut memprovokasi anak-anak, meminta mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka tidak mampu untuk melakukannya. Itulah sebabnya relasi orang tua dan anak-anak harus menjadi salah satu kebijaksanaan, keseimbangan yang besar. Anak-anak, taatilah orang tuamu. Taat kepada orang tua ini menyenangkan Allah. Dan anda, para orang tua, jangan menyakiti hati anak-anak anda dengan memerintahkan mereka melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukannya. Kebijaksanaan ini perlu digenapi agar anak dapat tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain.

Meskipun hal tersebut sudah jelas, namun tampaknya masih ada masalah mengenai hal itu di zaman kita ini. Memang sulit untuk mendidik ketika orang tua hanya melihat anak-anak mereka di malam hari, ketika mereka pulang lelah dari pekerjaan. Nah, namun mereka cukup beruntung karena bisa bekerja! Ada yang lebih sulit situasinya, seperti orang tua yang terpisah, yang terbebani oleh kondisi mereka: orang tua yang miskin, kasihan, mereka mengalami kesulitan yang nyata, mereka telah berpisah dan sering anak disandera oleh situasi di mana ayah berbicara buruk tentang ibu, dan ibu berbicara buruk tentang ayah, dan masih banyak lagi kerugian-kerugian lain yang terjadi. Tetapi saya katakan kepada orang tua yang terpisah: jangan pernah, tidak pernah, jangan pernah menyandera anak anda! Anda berpisah karena banyak kesulitan dan alasan, hidup telah memberi anda cobaan ini, tetapi anak-anak tidak boleh menjadi orang yang memikul beban pemisahan ini, mereka tidak boleh digunakan sebagai sandera terhadap pasangan lain, mereka harus tumbuh dan mendengar Ibu mereka berbicara hal baik tentang ayah mereka, meskipun mereka tidak bersama, dan sang ayah berbicara hal baik tentang ibu mereka. Bagi orang tua yang terpisah ini, hal ini sangat penting meskipun sangat sulit, tetapi mereka bisa melakukannya. Di atas segalanya, pertanyaannya adalah: bagaimana seharusnya kita mendidik anak? Tradisi apa yang kita miliki saat ini yang dapat diteruskan kepada anak-anak kita?

“Kritik” intelektual dari segala ragamnya, telah membungkam orang tua melalui berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya, untuk melindungi generasi muda dari kerusakan yang diakibatkan oleh pendidikan orang tua. Entah, kerusakan akibat pendidikan orang tua merupakan hal nyata atau hanya dugaan saja. Orang tua dituduh, antara lain, bersikap otoriter, pilih kasih, konformisme, melakukan penindasan emosional yang menimbulkan konflik.

Bahkan, telah terdapat keretakan terbuka antara keluarga dan masyarakat, antara keluarga dan sekolah, perjanjian dalam pendidikan hari-hari ini telah rusak; Dan dengan demikian, aliansi pendidikan antara masyarakat dan keluarga berada dalam krisis karena rasa saling percaya telah rusak. Ada banyak gejala yang memperlihatkan hal ini. Misalnya, di sekolah hubungan antara orang tua dan guru berusaha dikompromikan, di mana kadang-kadang terjadi ketegangan dan sikap saling tidak percaya antara orang tua dan guru. Dan tentu saja, konsekuensinya jatuh pada anak-anak. Di sisi lain, jumlah yang disebut “ahli” telah berlipat ganda, dan mereka telah mengambil peran orang tua bahkan dalam aspek pendidikan yang paling intim sekalipun. Berkenaan dengan kehidupan emosional, kepribadian dan pengembangan, hak dan kewajiban, “para ahli” ini dianggap tahu segalanya: tujuan, motivasi, teknik. Dan orang tua hanya harus mendengarkan, belajar, dan beradaptasi. Ketika mereka merasa kehilangan peran dalam pendidikan anak-anaknya sendiri, mereka sering menjadi terlalu khawatir dan posesif terhadap anak-anak mereka, sampai-sampai tidak pernah mengoreksi mereka: “Anda tidak dapat mengoreksi anak”. Mereka cenderung semakin mempercayakannya kepada “para ahli”. Bahkan dalam aspek kehidupan anak-anak yang paling rumit dan pribadi, orang tua menempatkan diri mereka sendirian di sudut, dan dengan demikian orang tua saat ini berisiko mengecualikan diri mereka dari kehidupan anak-anak mereka. Dan ini merupakan masalah yang sangat serius! Hari ini ada kasus seperti ini. Saya tidak mengatakan bahwa kasus itu selalu terjadi, tetapi ada beberapa kasus. Guru akan menegur anak di sekolah dan mengirim catatan kepada orang tua. Saya ingat sebuah anekdot pribadi. Suatu kali, ketika saya di kelas empat, saya mengucapkan kata buruk kepada guru. Sebagai seorang wanita yang baik, guru itu memanggil Ibu saya. Dia datang keesokan harinya, mereka berbicara bersama, dan kemudian saya dipanggil. Dan ibu saya menjelaskan kepada saya di depan guru tersebut bahwa apa yang telah saya lakukan itu buruk, bahwa saya seharusnya tidak melakukannya; Tetapi ibu saya melakukannya dengan sangat manis, dan dia meminta saya untuk meminta maaf kepada guru tersebut di depannya. Saya melakukannya dan kemudian saya senang bahwa saya melakukannya: ceritanya memiliki akhir yang bahagia. Tapi itu baru bab pertama! Ketika saya sampai di rumah, bab kedua dimulai … Bayangkan hari ini jika seorang guru melakukan sesuatu semacam itu, keesokan harinya orang tua, atau salah satu dari keduanya, akan berusaha menasihati si anak, karena “para ahli” mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dicela. Banyak hal telah berubah! Itulah sebabnya orang tua tidak boleh mengecualikan diri dari pendidikan anak-anak mereka.

Jelas bahwa pendekatan ini tidak baik: itu bukan harmoni, itu bukan dialog, dan bukannya membina kerja sama antara keluarga dan lembaga pendidikan lainnya, sekolah, gimnasium … hal itu justru menangkalnya.

Bagaimana kita bisa sampai ke titik ini? Tidak ada keraguan bahwa orang tua atau, lebih baik lagi, model pendidikan tertentu di masa lalu memiliki keterbatasan. Kenyataan ini tidak perlu diragukan lagi. Tetapi juga benar bahwa ada kesalahan yang hanya boleh dilakukan oleh orang tua, karena mereka dapat mengimbanginya dengan cara yang tidak mungkin dilakukan oleh orang lain. Di sisi lain, seperti yang kita ketahui, hidup menjadi pelit dengan waktu untuk berbicara, merenung, dan menghadapi diri sendiri. Banyak orang tua “diasingkan” oleh pekerjaan –Ibu dan Ayah harus bekerja– dan oleh kekhawatiran, tidak nyaman dengan kebutuhan baru dari anak-anak mereka dan dengan kompleksitas kehidupan modern –yang memang demikian adanya dan kita harus menerimanya apa adanya– dan mereka mendapati diri mereka seolah-olah lumpuh oleh rasa takut membuat kesalahan. Masalahnya, bagaimanapun, bukan hanya berbicara. “Dialog” yang dangkal tidak mengarah pada pertemuan pikiran dan hati yang sejati. Mari kita bertanya sebaliknya: apakah kita berusaha memahami “di mana” anak-anak kita sebenarnya berada dalam perjalanan mereka? Di mana jiwa mereka, apakah kita benar-benar tahu? Dan yang terpenting: apakah kita ingin tahu? Apakah kita yakin bahwa mereka, pada kenyataannya, tidak menunggu sesuatu yang lain?

Komunitas Kristen dipanggil untuk menawarkan dukungan kepada misi pendidikan keluarga, dan mereka melakukan ini pertama-tama dengan dinaungi oleh terang Firman Allah. Rasul Paulus mengingatkan hubungan timbal balik kewajiban antara orang tua dan anak-anak: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” (Kol 3:20–21). Dasar dari segala sesuatu adalah kasih, yang diberikan Allah kepada kita, yang “ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1 Kor 13:5–7). Bahkan keluarga terbaik pun membutuhkan dukungan, dan dibutuhkan banyak kesabaran untuk saling mendukung! Namun begitulah hidup ini. Hidup tidak dijalani di laboratorium, tetapi dalam kenyataan. Yesus sendiri mengalami pendidikan keluarga.

Juga dalam hal ini, kasih karunia Kristus menuntun pada penggenapan dari apa yang sudah terdapat dalam sifat manusia. Betapa banyak contoh mencengangkan yang kita jumpai tentang orang tua Kristen yang dipenuhi dengan hikmat manusia! Mereka memperlihatkan bahwa pengasuhan keluarga yang baik merupakan tulang punggung bagi kemanusiaan. Pancarannya dalam masyarakat adalah sumber yang memungkinkan kita untuk mengisi kekosongan, luka dan kekosongan ketika menjadi orang tua yang mempengaruhi anak-anak yang kurang beruntung ini. Cahaya yang dipancarkan oleh pengasuhan keluarga yang baik ke dalam masyarakat, dapat menghasilkan keajaiban nyata. Dan di Gereja mukjizat-mukjizat dapat terjadi setiap hari!

Saya berharap bahwa Tuhan menganugerahkan kepada keluarga-keluarga Kristen, suatu iman, kebebasan dan keberanian yang diperlukan untuk menjalankan misi mereka. Jika pendidikan keluarga menemukan kembali kebanggaannya dalam memimpin, niscaya akan ada banyak hal yang berubah menjadi lebih baik, untuk orang tua yang dihadapkan pada ketidakpastian serta untuk anak-anak yang kecewa. Sudah waktunya bagi ayah dan ibu untuk kembali dari pengasingan mereka –karena mereka telah mengasingkan diri dari pengasuhan kepada anak-anak mereka– dan untuk sepenuhnya melanjutkan peran mereka sebagai pendidik. Kami berharap bahwa Tuhan memberikan rahmat ini kepada para orang tua: untuk tidak mengasingkan diri dari pendidikan anak-anak mereka. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui cinta, kelembutan, dan kesabaran.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 20 Maret 2015)

17.
Pertunangan

Saudara – Saudari terkasih, Selamat Pagi!

Melanjutkan katekese tentang keluarga, hari ini saya ingin berbicara tentang pertunangan. Pertunangan, begitulah yang kita dengar, berkaitan dengan tanggung jawab, keyakinan dan keandalan. Keyakinan akan panggilan dari Allah, karena perkawinan merupakan penemuan panggilan Tuhan yang pertama dan terutama. Sungguh indah bahwa generasi muda sekarang ini menikah atas dasar saling mencintai. Namun kebebasan ikatan itu sendiri memerlukan kesadaran akan keselarasan dalam mengambil keputusan, bukan sekadar pemahaman sederhana tentang ketertarikan atau perasaan sesaat, dalam waktu yang singkat. Panggilan ini adalah sebuah perjalanan.

Dengan kata lain, pertunangan adalah saat di mana mereka berdua diundang untuk melakukan karya cinta yang nyata, suatu karya yang melibatkan pasangan di mana keduanya diandaikan saling berbagi secara lebih mendalam. Di sini mereka saling ‘berjumpa’ satu sama lain sedikit demi sedikit, yang laki-laki “belajar” tentang perempuan dengan mempelajari tentang perempuan tunangannya; dan yang perempuan “belajar” tentang laki-laki dengan mempelajari tentang tunangannya. Janganlah kita meremehkan pentingnya pembelajaran ini: ini adalah upaya yang indah, dan kasih itu sendiri memerlukan pembelajaran, karena ini bukan sekadar soal kebahagiaan tanpa beban atau emosi yang mempesona. Kisah Kitab Suci berbicara tentang seluruh ciptaan sebagai karya kasih Allah yang indah. Kitab Kejadian mengatakan bahwa: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej 1:31). Hanya setelah selesai barulah Tuhan “beristirahat”. Kita memahami dari gambaran ini bahwa kasih Tuhan yang menciptakan dunia bukanlah suatu keputusan yang tiba-tiba. TIDAK! Ini adalah karya yang indah. Kasih Allah menciptakan kondisi konkret bagi perjanjian yang tidak dapat dibatalkan, perjanjian yang kuat dan kekal.

Perjanjian kasih antara laki-laki dan perempuan – perjanjian seumur hidup – tidak dapat diimprovisasi. Tidak dibuat-buat dari hari ke hari. Tidak ada perkawinan yang ekspres atau berlangsung cepat kilat: Yang satu perlu mewujudkan kasih, yang lain perlu mendampingi. Perjanjian kasih antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang dipelajari dan disempurnakan. Saya tegaskan bahwa ini adalah perjanjian yang dibuat dengan hati-hati. Membuat dua kehidupan menjadi satu hampir merupakan keajaiban yang melibatkan kebebasan dan hati yang berserah pada iman. Mungkin kita harus lebih menekankan hal ini, karena “koordinat emosi” kita sudah agak bergeser. Mereka yang mengaku menginginkan segalanya segera, lalu mundur dari segalanya, segera setelah mengalami kesulitan pertama (atau pada kesempatan pertama). Tidak ada harapan untuk hadirnya kepercayaan dan kesetiaan yang merupakan bagian dari pemberian diri, jika terdapat kecenderungan untuk menggunakan cinta sebagai semacam “suplemen” bagi kesejahteraan mental dan fisik. Ini bukanlah kasih/cinta! Fokus dari pertunangan adalah keinginan untuk memelihara sesuatu bersama-sama yang tidak boleh dibeli atau dijual, dikhianati atau ditinggalkan, betapa pun menggiurkannya tawaran tersebut.

Demikian juga Allah, ketika beberapa kali bersabda mengenai perjanjian dengan umat-Nya, Ia beberapa kali mengangkat istilah pertunangan, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Yeremia, ketika Allah berbicara kepada orang-orang yang telah menjauhkan diri dari-Nya, dia mengingatkan orang-orang ketika mereka masih menjadi “tunangan/kekasih” Allah, dan Dia berkata: “Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin” (Yer 2:2). Tuhan mengambil jalan pertunangan ini. Dia kemudian juga membuat perjanjian: kita mendengarnya di awal audiensi, dalam Kitab Hosea: “Aku akan menjadikan engkau istri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia h dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam kesetiaan; sehingga engkau akan mengenal Tuhan” (Hos 2:19–20).

Jalan yang Tuhan tempuh bersama umat-Nya dalam perjalanan pertunangan ini sangatlah panjang. Pada akhirnya, Allah mempersatukan umat-Nya dengan Yesus Kristus. Di dalam Yesus dia menikahi Gereja. Umat ​​Allah adalah Mempelai Wanita Yesus. Tapi jalannya begitu panjang! Dan sebagai orang Italia, dalam literatur, anda memiliki maha karya tentang pertunangan, ya pertunangan. Generasi muda perlu mengetahui dan membacanya. Merupakan sebuah maha karya yang menceritakan tentang sepasang suami istri yang telah bertunangan yang harus menanggung penderitaan yang luar biasa, mereka menempuh jalan yang penuh perjuangan, hingga akhirnya mereka bisa menikah. Jangan kesampingkan mahakarya tentang pertunangan ini, yang diberikan khusus oleh sastrawan Italia kepada anda. Ayo, bacalah dan anda akan melihat keindahan, penderitaan, tapi juga kesetiaan sang tunangan.

Gereja, dalam kebijaksanaannya, menjaga perbedaan antara bertunangan dan menjadi pasangan suami/istri – hal ini tidak sama – terutama apabila mengingat betapa rumit dan dalamnya ujian ini. Marilah kita berhati-hati untuk tidak meremehkan hikmah dari ajaran ini, yang juga berasal dari pengalaman hidup pernikahan yang bahagia. Simbol-simbol kuat dari tubuh memegang kunci-kunci bagi jiwa: Kita tidak dapat menganggap enteng ikatan satu tubuh, tanpa membuka luka lama yang terdapat di dalam hati (lih. 1 Kor 6:15–20).

Tentu saja, budaya dan masyarakat saat ini sudah tidak peduli terhadap kepekaan dan keseriusan langkah ini. Di sisi lain, tidak bisa dikatakan bahwa mereka bermurah hati kepada generasi muda yang bertekad untuk berumah tangga dan bersedia mempunyai anak. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka sering kali memasang banyak rintangan, baik psikologis maupun praktis. Pertunangan adalah jalan kehidupan yang harus dimatangkan seperti buah; ini merupakan cara pendewasaan cinta, hingga sampai pada perkawinan.

Kursus persiapan perkawinan merupakan wujud persiapan yang khusus. Kita melihat begitu banyak pasangan, yang mungkin datang ke kursus dengan agak enggan: “Tetapi para pastor ini memaksa kami untuk mengikuti kursus!” Mereka bertanya, “Tapi kenapa? Kami sudah tahu…” dan mereka mendatangi kursus persiapan perkawinan dengan perasaan terpaksa. Namun setelahnya mereka bahagia dan bersyukur, karena di sana mereka menemukan kesempatan – bahkan terkadang satu-satunya kesempatan – untuk merefleksikan pengalaman mereka dengan cara yang luar biasa. Ya, banyak pasangan yang sudah lama hidup bersama, mungkin juga dalam keintiman, terkadang hidup bersama namun mereka tidak terlalu mengenal satu sama lain. Tampaknya aneh, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal itulah yang terjadi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai pertunangan perlu dievaluasi kembali dengan melihat masa pertunangan sebagai waktu untuk mengenal satu sama lain dan berbagi rencana. Jalan persiapan perkawinan harus dilaksanakan dari sudut pandang ini, juga dengan memanfaatkan kesaksian sederhana dan intens dari pasangan suami istri Katolik. Juga dengan memusatkan perhatian pada hal-hal penting: Kitab Suci, dengan secara sadar bersama-sama melakukan kembali doa bersama dalam dimensi liturginya, juga dalam “doa keluarga” untuk menghayati keluarga, Sakramen, kehidupan Sakramental, Pengakuan Dosa, … di mana Tuhan datang untuk tinggal bersama pasangan yang bertunangan dan mempersiapkan mereka dengan sungguh-sungguh untuk saling menerima satu sama lainnya “dengan kasih karunia Kristus”; dan persaudaraan dengan masyarakat miskin dan yang membutuhkan, yang menuntun kita untuk hidup bijaksana dan mau berbagi.

Pasangan bertunangan yang berkomitmen pada jalan ini akan bertumbuh, dan semua ini mengarah pada persiapan perayaan perkawinan yang indah dengan cara yang berbeda, bukan dengan cara duniawi, namun dengan cara Kristen! Mari kita perhatikan firman Allah yang telah kita dengar, ketika Ia berbicara kepada umat-Nya sebagai mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan-Nya: “Aku akan menjadikan engkau istri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam kesetiaan; dan kamu akan mengenal Tuhan” (Hos 2:19–20). Semoga setiap pasangan yang bertunangan memikirkan hal ini dan berkata satu sama lain: “Aku akan mengambilmu sebagai pengantin perempuanku, aku akan mengambilmu sebagai pengantin laki-lakiku”. Tunggu sampai saat itu terjadi. Ini adalah sebuah momen, ini adalah jalan yang berjalan perlahan, namun ini adalah jalan pendewasaan. Langkah-langkah perjalanannya tidak boleh terburu-buru. Beginilah cara kita menjadi dewasa, selangkah demi selangkah. Masa pertunangan sebenarnya bisa menjadi langkah awal, ke mana? Mendapatkan kejutan. Kejutan akan karunia spiritual bersama Tuhan melalui Gereja, memperkaya cakrawala keluarga baru yang siap untuk hidup dalam berkat-Nya.

Saya mengundang Anda sekarang untuk berdoa kepada Keluarga Kudus Nazareth: Yesus, Yosef dan Maria. Doakan agar keluarga dapat melakukan perjalanan persiapan ini; dan mendoakan pasangan yang akan bertunangan. Mari kita bersama-sama berdoa kepada Bunda Maria, doa Salam Maria untuk semua pasangan yang bertunangan, agar mereka dapat memahami indahnya perjalanan menuju Perkawinan ini.

Kepada pasangan bertunangan yang berada di lapangan Santo Petrus ini: “Selamat menikmati perjalanan pertunangan saudara!”.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 27 Maret 2015)

18.
Kemiskinan

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Beberapa kali di setiap hari Rabu kita sudah merenungkan mengenai keluarga dan akan tetap terus melanjutkan topik ini, merenungkan mengenai keluarga. Saat ini, katekese kita akan membahas/memperhatikan kerentanan keluarga, dalam ujian kondisi kehidupan yang dihadapinya. Begitu banyak masalah yang menguji keluarga.

Salah satu cobaan tersebut adalah kemiskinan. Mari kita renungkan banyaknya keluarga yang tinggal di pinggiran kota-kota besar, maupun di daerah pedesaan. Begitu banyak penderitaan, begitu banyak keterpurukan! Dan yang lebih parah lagi, di beberapa tempat juga terjadi perang. Perang selalu mengerikan. Terutama, perang juga berdampak kepada masyarakat sipil, yaitu keluarga. Sungguh, perang adalah “sumber dari segala kemiskinan”, perang memiskinkan keluarga, memangsa banyak korban, melenyapkan nyawa dan ikatan yang paling suci dan yang dicintai.

Meskipun demikian, banyak keluarga miskin yang berusaha menjalani kehidupan sehari-hari dengan bermartabat. Sering kali secara terbuka mereka mempercayakan diri pada berkat Allah. Namun keadaan ini seharusnya tidak membenarkan ketidakpedulian kita, tetapi malah menambah rasa malu kita atas kenyataan bahwa ada begitu banyak kemiskinan! Hampir merupakan suatu keajaiban bahwa, bahkan dalam kemiskinan, keluarga terus bertambah banyak dan sebisa mungkin melestarikan ikatan kemanusiaan yang istimewa tersebut. Fakta ini mengusik para perencana kesejahteraan yang menganggap keterikatan, prokreasi, dan ikatan kekeluargaan sebagai variabel sekunder terhadap kualitas hidup. Mereka tidak mengerti apa pun! Sebaliknya, kita harus menghormati keluarga-keluarga ini, yang adalah sekolah kemanusiaan sejati dalam menyelamatkan masyarakat dari kebiadaban.

Apa yang tersisa jika kita menyerah pada eksploitasi penguasa dan mammon, menyerah pada kekerasan dan uang, bahkan meninggalkan ikatan keluarga? Etika sipil yang baru hanya akan muncul ketika para pemimpin masyarakat menata ulang ikatan sosial yang dimulai dengan mendukung perjuangan keluarga yang dililit kemiskinan, yang membawa kita ke jurang yang dalam.

Perekonomian sering kali terkonsentrasi pada kenikmatan kesejahteraan individu, namun sebagian besar mengeksploitasi ikatan keluarga. Ini merupakan kontradiksi yang serius! Tentu saja, kerja keras keluarga yang luar biasa banyaknya tidak dicantumkan dalam laporan keuangan! Memang benar bahwa ekonomi dan politik sangat pelit dalam mengakui hal ini. Namun, pembentukan batin seseorang dan aliran kasih sayang sosial mempunyai landasan utama di sana. Jika dihilangkan, semuanya akan berantakan.

Ini bukan sekadar persoalan perut. Kita berbicara tentang pekerjaan, berbicara tentang pendidikan, berbicara tentang kesehatan. Penting agar hal ini dipahami dengan jelas. Kita selalu terharu ketika melihat gambar anak-anak yang sakit dan kekurangan gizi yang ditampilkan di berbagai belahan dunia. Pada saat yang sama, kita juga sangat tersentuh oleh binar mata banyak anak, yang kehilangan segalanya dan berada di sekolah yang dibangun sangat sederhana, yang bangga ketika memamerkan pensil dan buku catatannya. Dan betapa penuh kasih mereka memandang gurunya! Anak-anak sudah tahu bahwa manusia tidak hidup dari roti saja! Juga dari kasih sayang keluarga; ketika berada dalam kemiskinan, anak-anak menderita karena mereka merindukan kasih, ikatan keluarga.

Kita umat Kristiani harus semakin dekat dengan keluarga-keluarga yang mengalami ujian kemiskinan. Coba pikirkan, Anda semua mengetahui ada orang: ayah tanpa pekerjaan, ibu tanpa pekerjaan… dan ini membuat keluarga menderita, ikatan melemah. Ini mengerikan. Memang benar, kemiskinan sosial menimpa keluarga dan terkadang menghancurkannya. Kurangnya pekerjaan, kehilangan atau ketidakstabilan pekerjaan sangat membebani kehidupan keluarga, sehingga memberikan tekanan besar pada relasi dalam keluarga. Kondisi kehidupan di lingkungan termiskin, dengan permasalahan perumahan dan transportasi, serta berkurangnya layanan sosial, kesehatan dan pendidikan, membawa kesulitan lebih lanjut. Ditambah lagi dengan faktor-faktor materialistis ini merupakan penyebab kerusakan yang terjadi pada keluarga akibat model palsu yang disebarkan oleh media massa atas dasar konsumerisme dan pemujaan terhadap penampilan, yang mempengaruhi kelas sosial termiskin dan meningkatkan putusnya ikatan keluarga.

Perhatikan keluarga, jaga kekompakan, ketika kemelaratan menguji keluarga!

Gereja adalah Ibu, dan tidak boleh melupakan drama hidup anak-anaknya ini. Dia juga harus menjadi miskin, agar bisa produktif dan mampu mengatasi begitu banyak kemiskinan. Gereja yang miskin adalah Gereja yang secara sukarela menerapkan kesederhanaan dalam kehidupannya, dalam institusinya, dalam gaya hidup para anggotanya, untuk meruntuhkan setiap tembok pemisah, khususnya bagi kaum miskin. Doa dan tindakan diperlukan. Marilah kita berdoa dengan sungguh-sungguh agar Tuhan menggerakkan kita, untuk menjadikan keluarga Kristen kita, pemimpin dalam revolusi kedekatan kekeluargaan, yang saat ini sangat penting bagi kita! Gereja tercipta dari sini, dari kedekatan kekeluargaan ini. Janganlah kita lupa bahwa penghakiman terhadap orang miskin, orang kecil dan orang miskin menggambarkan penghakiman Allah (Mat. 25:31–46). Jangan lupakan hal ini dan mari kita lakukan semua yang kita bisa untuk membantu keluarga-keluarga agar tetap maju dalam menghadapi cobaan kemiskinan dan kemelaratan yang menghancurkan keterikatan dan ikatan keluarga. Saya ingin membaca sekali lagi pencobaan dalam Kitab Suci yang kita dengar di awal, dan masing-masing dari kita berpikir tentang keluarga-keluarga yang dicobai oleh kemelaratan dan kemiskinan, Kitab Suci mengatakan sebagai berikut: “Anak-Ku, jangan enggan memberikan nafkah kepada orang miskin, dan jangan membuat orang papa rindu dendam. Orang yang kelaparan jangan kau sedihkan, dan jangan memahitkan hati orang yang kekurangan. Jangan keras kepada orang pahit hatinya, dan jangan kau tunda sedekah kepada orang yang kekurangan. Jangan kau tolak permohonan orang yang susah dan jangan membelokkan wajahmu dari orang miskin. Janganlah memalingkan wajahmu dari orang-orang yang melarat, janganlah memberi alasan kepada seseorang untuk mengutuk dirimu” (Sir 4:1–5a). Sebab inilah yang akan Tuhan lakukan, sebagaimana dikatakan dalam Injil, jika kita belum melakukan hal-hal ini.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 3 Juni 2015)

19.
Penyakit

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Kita melanjutkan katekese mengenai keluarga, dan dalam katekese ini saya ingin menyinggung suatu kondisi umum yang terjadi pada semua keluarga, yaitu sakit. Sakit adalah pengalaman kerapuhan kita, yang paling sering kita alami di rumah, dimulai di masa kanak-kanak, dan terutama pada rasa sakit dan penderitaan di usia lanjut. Dalam lingkup ikatan keluarga, ketika orang yang kita cintai jatuh sakit, kita akan merasakan penderitaan dan kesedihan yang lebih besar. Cintalah yang membuat kita bisa merasakan penderitaan yang lebih besar ini. Sering kali seorang ayah atau ibu, lebih sulit menanggung kepedihan yang dialami putra atau putrinya dibandingkan menanggung penderitaannya sendiri. Keluarga, bisa dikatakan, selalu menjadi “rumah sakit” terdekat. Saat ini, di banyak belahan dunia, rumah sakit hanya diperuntukkan bagi segelintir orang yang memiliki hak istimewa, dan sering kali berada di tempat yang jauh. Ibu, ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan dan kakek-nenek-lah yang menjamin perawatan dan membantu supaya sembuh.

Dalam Injil, banyak ditulis kisah perjumpaan Yesus dengan orang sakit dan kesediaan-Nya untuk menyembuhkan mereka. Dia tampil di depan umum sebagai orang yang berjuang melawan penyakit dan datang untuk menyembuhkan umat manusia dari segala kejahatan: kejahatan roh dan kejahatan fisik. Peristiwa yang digambarkan dalam Injil menurut Markus sungguh mengharukan. Dikatakan: “Menjelang malam, sesudah matahari terbenam, dibawalah kepada Yesus semua orang yang menderita sakit dan yang kerasukan setan” (Mrk 1:32). Ketika saya merenungkan keadaan kota-kota besar pada saat ini, saya bertanya-tanya, ke pintu-pintu manakah kita bisa membawa orang sakit untuk disembuhkan! Yesus tidak pernah menolak untuk menyembuhkan mereka. Dia tidak pernah melewatkan, tidak pernah memalingkan wajahnya. Ketika seorang ayah atau ibu, atau bahkan hanya sekadar teman membawa orang sakit untuk dijamah dan disembuhkan, dia tidak pernah menjadikan waktu sebagai halangan; mendahulukan penyembuhan dari pada hukum, bahkan penyembuhan sama sucinya dengan istirahat pada hari Sabat (lih. Mrk 3:1–6). Para ahli hukum mencela Yesus karena Ia menyembuhkan pada hari Sabat, dia berbuat baik pada hari Sabat. Namun kasih Yesus memberikan kesembuhan, berbuat baik: inilah yang selalu menjadi prioritas!

Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk melakukan pekerjaan yang sama dan memberi mereka kuasa untuk menyembuhkan, dengan kata lain, untuk mendekatkan diri kepada orang sakit dan menyembuhkan luka mereka yang paling dalam (lih. Mat 10:1). Kita harus mengingat apa yang Yesus katakan kepada para murid dalam peristiwa orang yang buta sejak lahir (Yoh 9:1–5). Para murid–dengan orang buta di depan mereka!—berdebat tentang siapa yang berdosa, orang ini atau orang tuanya, hingga ia dilahirkan buta, hingga menyebabkan kebutaannya. Tuhan berfirman dengan jelas: bukan dia maupun orang tuanya; Dia melakukannya agar karya Allah menjadi nyata di dalam diri-Nya. Dan Dia menyembuhkannya. Inilah kemuliaan Allah! Ini adalah tugas Gereja! Menolong orang sakit, tidak tersesat dalam gosip, selalu menolong, menghibur, meringankan, dekat dengan orang sakit; inilah tugas tersebut.

Gereja mengajak kita untuk terus berdoa bagi orang-orang yang dikasihinya dan yang sedang menderita. Jangan sampai kita kurang berdoa bagi orang sakit. Sebaliknya, kita harus lebih banyak berdoa, baik secara pribadi maupun dalam komunitas. Mari kita perhatikan peristiwa dalam Injil tentang perempuan Kanaan (lih. Mat 15:21–28). Dia adalah seorang penyembah berhala. Dia bukan dari bangsa Israel, tapi seorang penyembah berhala yang memohon kepada Yesus untuk menyembuhkan putrinya. Untuk menguji imannya, Yesus pada awalnya menjawab dengan kasar: “Saya tidak bisa, saya harus memikirkan domba Israel terlebih dahulu”. Perempuan itu tidak menyerah–seorang ibu yang meminta bantuan untuk anaknya tidak pernah menyerah; kita semua tahu bahwa para ibu berjuang demi anak-anaknya — dan dia menjawab: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya”, seolah-olah mengatakan: “Setidaknya perlakukan aku seperti anjing!” Maka Yesus berkata kepadanya: “Hai Ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki” (Mat 15:28).

Dalam menghadapi penyakit, bahkan di dalam keluarga pun, kesulitan muncul karena kelemahan manusia. Namun pada umumnya, ketika ada yang sakit ikatan kekeluargaan tumbuh lebih kuat. Saya pikir betapa pentingnya mendidik anak-anak, mulai dari masa kanak-kanak, tentang solidaritas saat ada yang sakit. Pendidikan yang menutup diri terhadap kepekaan akan penyakit manusia dapat menumpulkan hati. Hal ini membuat kaum muda “mati rasa” terhadap penderitaan orang lain, tidak mampu menghadapi penderitaan dan mengalami keterbatasan. Seberapa sering kita melihat seorang laki-laki atau perempuan tiba di tempat kerja dengan wajah lesu, wajah lelah, dan ketika kita tanya “Apa yang terjadi?”, mereka menjawab: “Saya hanya tidur dua jam karena kami bergantian di rumah untuk menjaga anak-anak kami yang sedang sakit, kakek kami, nenek kami”. Dan pekerjaan harus terus berlanjut. Ini adalah tindakan heroik, kepahlawanan dalam keluarga! Kepahlawanan yang dilakukan dengan kelembutan dan keberanian, namun tidak pernah diutarakan, ketika ada orang sedang sakit di rumah.

Kelemahan dan penderitaan orang-orang yang kita kasihi, yang terjadi pada anak-anak dan cucu-cucu kita, dapat menjadi sekolah kehidupan. Penting untuk mengajarkan anak-anak dan cucu-cucu agar memahami kedekatan di rumah saat ada yang sakit–dan mereka akan mengalaminya ketika saatnya tiba, sakit disertai doa dan keakraban sanak saudara yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian. Umat ​​Kristiani sangat memahami ketika keluarga dalam cobaan penyakit, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus “bersyukur” kepada Tuhan atas pengalaman indah persaudaraan gerejawi yang membantu keluarga melewati saat-saat sulit dalam sakit dan penderitaan. Kedekatan Kristiani, dari keluarga satu ke keluarga lain, merupakan harta nyata bagi paroki; harta kebijaksanaan, yang membantu keluarga pada saat-saat sulit untuk memahami Kerajaan Allah, adalah lebih baik daripada banyak kata-kata! Semuanya ini merupakan kepedulian kasih Tuhan.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 10 Juni 2015)

20.
Kematian

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Dalam katekese keluarga kali ini, kita mendapatkan inspirasi langsung dari kisah yang diambil dari Injil Lukas, yang baru saja kita dengar (lih. Luk 7:11–15). Ini adalah peristiwa yang sangat mengharukan, yang menunjukkan belas kasih Kristus kepada mereka yang menderita — dalam hal ini seorang janda yang kehilangan anak tunggalnya — dan juga menunjukkan kuasa Yesus atas kematian.

Kematian adalah sesuatu yang akan dialami oleh semua keluarga, tanpa kecuali. Kematian adalah bagian dari kehidupan; namun, dalam konteks kehidupan keluarga yang penuh cinta kasih, peristiwa kematian tidak dihayati sebagai peristiwa yang biasa-biasa saja. Bagi orang tua, berjuang menyelamatkan nyawa seorang anak dapat menjadi peristiwa yang memilukan; dengan kematian semua impian penuh harapan dan sukacita yang tercipta oleh kelahiran anak menjadi berantakan. Sering kali orang tua mengikuti Misa di Santa Marta dengan membawa foto seorang anak laki-laki, anak perempuan, seorang bayi laki-laki atau perempuan, dan mereka berkata padaku: “Dia telah pergi, dia telah pergi.” Dan wajah mereka penuh dengan duka. Kematian anak, dampaknya amat sangat mendalam. Seluruh keluarga terdiam, tanpa kata-kata. Dan anak yang ditinggalkan karena kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya menderita dengan cara yang serupa. Dia bertanya: “Di mana ayahku? Di mana ibuku? Yah, dia ada di surga” — “Mengapa saya tidak bisa melihatnya?”. Pertanyaan ini mencerminkan penderitaan di hati seorang anak yang ditinggalkan. Kesunyian yang timbul karena merasa ditinggalkan dapat semakin parah karena anak belum memiliki pengalaman hidup yang cukup, bahkan untuk “memberi nama” pada apa yang telah terjadi. “Kapan papa pulang?” “Kapan mama pulang?”. Apa yang akan Anda katakan saat seorang anak sedang berduka ini? Inilah gambaran tentang kematian dalam sebuah keluarga.

Dalam kasus-kasus seperti ini, kematian bagaikan lubang hitam yang menganga dalam kehidupan keluarga dan yang tidak dapat dijelaskan. Dan terkadang kita bahkan menyalahkan Tuhan. Berapa banyak orang—saya mengerti mereka—marah kepada Tuhan, menghujat: “Mengapa Engkau mengambil anakku? Mengapa Dia melakukan ini?” Pertanyaan seperti ini sering kita dengar.

Namun kemarahan ini pada dasarnya berasal dari hati yang amat terluka; kehilangan seorang putra atau putri, seorang ayah atau seorang ibu, merupakan kesedihan yang tak terperikan. Hal seperti ini terulang terus dalam keluarga. Kasus-kasus seperti ini membuat kematian bagaikan sebuah lubang.

Selain itu, kematian dapat menimbulkan hal-hal lain yang memperparah kepedihan ini. Kondisi ini tidak terkendali oleh pikiran sehat karena pengaruh nafsu: kebencian, iri hati, kesombongan, keserakahan; singkatnya, dosa dunia yang menyebabkan kematian semakin menyakitkan dan tidak dibenarkan. Ikatan keluarga tampaknya tidak dapat menghindar sebagai korban kekuatan jahat yang menyertai ini, yang mengikuti sejarah umat manusia. Mari kita pikirkan tentang “kewajaran gila” ini, yang pada saat-saat dan tempat-tempat tertentu, telah memperberat kesedihan oleh kematian, dipicu oleh kebencian dan keengganan memikirkan orang lain. Semoga Tuhan menjaga kita agar tidak terjatuh dalam kondisi buruk ini!

Di antara Umat Allah, melalui rahmat, kasih karunia belas kasih-Nya yang diberikan dalam diri Yesus, banyak keluarga membuktikan dengan perbuatan mereka bahwa kematian bukanlah kata terakhir: ini adalah tindakan iman yang sejati. Setiap kali sebuah keluarga yang sedang berduka— bahkan duka yang sangat dalam—menemukan kekuatan untuk menjaga iman dan kasih yang mempersatukan kita dengan mereka yang kita kasihi; dengan iman kita mencegah kematian mengambil segala-galanya. Kegelapan kematian harus dihadapi dengan karya kasih yang lebih kuat. “Allahku, terangilah kegelapanku!”, adalah seruan dalam Doa Malam. Dalam terang Kebangkitan Tuhan, yang tidak meninggalkan seorang pun dari mereka yang dipercayakan Bapa kepada-Nya, kita dapat membuang “sengat” kematian, seperti yang dikatakan Rasul Paulus (1 Kor 15:55); Kita dapat mencegah agar tidak meracuni kehidupan, membuat cinta kita sia-sia, dan mendorong kita ke jurang yang paling gelap.

Dalam iman, kita dapat saling menghibur, karena tahu bahwa Tuhan telah menaklukkan kematian untuk selamanya. Orang-orang yang kita kasihi tidak hilang dalam kegelapan palsu: harapan meyakinkan kita bahwa mereka berada di tangan Tuhan yang baik dan kuat. Cinta lebih kuat dari kematian. Jadi, caranya adalah dengan membiarkan cinta bertumbuh lebih kuat, dan cinta akan mengawal kita sampai hari ketika setiap tetes air mata dihapus, ketika “kematian tidak akan ada lagi, tidak akan ada lagi ratapan atau tangisan atau rasa sakit” (Wahyu 21:4). Apabila kita membiarkan diri kita ditopang oleh iman, pengalaman kesedihan dapat menghasilkan ikatan keluarga yang lebih kuat, keterbukaan baru terhadap rasa sakit keluarga lain, persaudaraan baru dengan keluarga yang lahir dan dilahirkan kembali dalam harapan. Dilahirkan dan dilahirkan kembali dalam harapan memberi kita iman. Namun, saya ingin menekankan frasa terakhir dari Injil yang kita dengar hari ini (lih. Luk 7:11–15). Setelah Yesus menghidupkan kembali pemuda itu, anak tunggal seorang janda, Injil mengatakan: “Yesus mengembalikannya kepada ibunya”. Harapan ini adalah harapan kita dan kita akan bersama mereka kembali. Harapan ini tidak mengecewakan! Marilah kita mengingat baik-baik tindakan Yesus ini: “Dan Yesus mengembalikannya kepada ibunya”, demikianlah yang akan dilakukan Tuhan kepada semua orang terkasih kita dalam keluarga! Iman ini melindungi kita dari pandangan negatif tentang kematian, serta dari penghiburan palsu dunia, sehingga kebenaran Kristen “tidak berisiko bercampur dengan mitos-mitos dari berbagai jenis”, menyerah pada kepercayaan takhayul (Benediktus XVI, Angelus, 2 November 2008). Dewasa ini, para Pastor dan semua orang Kristen perlu mengungkapkan secara lebih konkret makna iman sehubungan dengan pengalaman duka dalam keluarga. Kita hendaknya tidak menolak hak mereka untuk menangis—kita harus menangis dalam duka—“Yesus menangis” dan “sangat tersiksa” oleh kehilangan besar dari sebuah keluarga yang dikasihi-Nya (bdk. Yoh 11:33–37). Kita dapat memetik dari kesaksian sederhana dan kuat dari banyak keluarga yang telah mampu memahami, dalam transisi kematian yang paling sulit, jalan aman dari Tuhan, yang Tersalib dan Bangkit, dengan janji-Nya yang tidak dapat ditarik kembali akan kebangkitan orang mati. Karya kasih Allah lebih kuat dari karya kematian. Karya kasih itulah, justru dari kasih itulah, kita dengan bekerja keras harus menjadikan diri kita “kolaborator,” dengan iman kita! Dan marilah kita mengingat perbuatan Yesus: “Dan Yesus mengembalikannya kepada ibunya”, demikianlah yang akan Ia lakukan dengan semua orang yang kita kasihi dan dengan kita saat kita bertemu lagi, ketika kematian secara definitif ditaklukkan dalam diri kita. Kematian ditaklukkan oleh Salib Yesus. Yesus akan mengembalikan kita semua kepada keluarga!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 17 Juni 2015)

21.
Luka-Luka (1)

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Dalam katekese baru-baru ini kita telah berbicara tentang keluarga yang menderita karena kelemahan kondisi manusia, kemiskinan, penyakit, dan kematian. Pada hari ini kita akan merenungkan luka-luka yang terjadi dalam kehidupan keluarga, yaitu, ketika perilaku anggota keluarga saling menyakiti. Hal yang terburuk terjadi!

Kita tahu bahwa dalam setiap sejarah keluarga ada saat-saat ketika dalam keluarga ada yang merusak keakraban karena tersinggung oleh ucapan atau perbuatan serta kelalaian yang, alih-alih mengungkapkan kasih, mengabaikannya atau bahkan mematikan cinta kasih di antara mereka. Ketika luka-luka ini, yang masih dapat diperbaiki, dibiarkan, kondisi menyakitkan semakin menjadi masalah: luka-luka itu berubah menjadi rusaknya relasi: saling menyakiti, menjahati dan memusuhi. Dan pada titik itu luka-luka itu dapat menjadi luka parah yang memisahkan suami dan istri, dan mendorong mereka untuk mencari pengertian, dukungan, penghiburan di tempat lain. Namun, sering kali “dukungan” ini tidak mempertimbangkan kebaikan keluarga!

Hilangnya cinta suami-istri kemudian menyebar menjadi relasi kebencian. Dan sering kali perpecahan ini mengguncangkan perasaan anak-anak.

Nah, anak-anak. Saya ingin merenungkan sedikit tentang hal ini. Meskipun kepekaan kita tampaknya telah berkembang, dan semua analisis psikologis kita telah disempurnakan, saya bertanya pada diri sendiri apakah apa yang kita lakukan kemudian bukannya membohongi diri sendiri atau usaha menutupinya di depan anak-anak. Semakin Anda mencoba untuk mengimbanginya dengan hadiah dan kue-kue serta coklat, semakin tumpul perasaan Anda akan luka-luka spiritual anak-anak ini — yang begitu menyakitkan dan begitu dalam. Kita banyak berbicara tentang masalah perilaku, kesehatan mental, kesejahteraan anak, tentang kecemasan orang tua dan anak-anak mereka…. Tetapi apakah kita benar-benar tahu apa itu luka spiritual? Apakah kita merasakan beratnya gunung yang menghancurkan jiwa seorang anak dalam keluarga-keluarga yang anggotanya memperlakukan dan menyakiti satu sama lain hingga memutuskan ikatan kesetiaan perkawinan. Seberapa besar beban pilihan-pilihan kita—pilihan-pilihan yang salah, misalnya—seberapa besar beban yang membebani pada jiwa anak-anak kita? Ketika orang dewasa kehilangan akal sehatnya, ketika masing-masing hanya memikirkan dirinya sendiri, ketika ayah dan ibu saling menyakiti, apakah ayah dan ibu sadar akan luka jiwa anak-anak mereka: bahwa mereka menangis,  menderita, dan mengalami rasa putus asa. Dan luka-luka ini meninggalkan bekas yang bertahan sepanjang hidup mereka.

Dalam keluarga, semuanya saling terhubung: ketika jiwa yang satu terluka oleh yang lain, dengan cara tertentu, luka ini menular ke seluruh anggota keluarga. Dan ketika seorang pria dan wanita, yang telah berkomitmen untuk menjadi “satu daging” dan membentuk sebuah keluarga, berpikir secara egois tentang kebutuhan mereka sendiri, akan kebebasan dan kepuasan, bias ini memengaruhi hati dan kehidupan anak-anak mereka secara mendalam. Sering kali anak-anak ini bersembunyi untuk menangis sendirian…. Kita perlu memahami ini sepenuhnya. Suami dan istri adalah satu daging. Anak-anak mereka adalah daging dari daging mereka. Jika kita memikirkan tentang ketegasan yang Yesus gunakan untuk menasihati orang dewasa agar tidak membuat anak-anak menjadi skandal — kita mendengar “Tetapi barang siapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” (lih. Mat 18:6) — kita juga dapat lebih memahami kata-katanya tentang tanggung jawab serius untuk menjaga ikatan perkawinan yang melahirkan keluarga manusia, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (lih. Mat 19:6–9). Ketika laki-laki dan perempuan telah menjadi satu daging, maka segala luka dan kelalaian ayah dan ibu akan berdampak pada daging hidup anak-anak mereka.

Di sisi lain, memang benar bahwa ada beberapa kasus di mana perpisahan tidak dapat dihindari. Kadang-kadang perpisahan bahkan menjadi perlu secara moral, tepatnya ketika hal itu menyangkut KDRT dan upaya menyelamatkan pasangan yang lebih lemah atau anak-anak yang masih kecil dari luka-luka paling parah yang disebabkan oleh pelecehan dan kekerasan, oleh penghinaan dan eksploitasi, oleh pengabaian dan ketidakpedulian.

Puji Tuhan, ada orang-orang yang, oleh iman dan kasih kepada anak-anak mereka, memberikan kesaksian tentang kesetiaan mereka pada ikatan yang mereka yakini, meskipun tampaknya mustahil untuk menghidupkannya kembali. Tidak semua orang yang berpisah merasa terpanggil untuk panggilan ini. Tidak semua orang menyadari, dalam kesendirian mereka, Tuhan memanggil mereka. Di sekitar kita, kita menemukan berbagai keluarga dalam apa yang disebut situasi yang tidak teratur — saya tidak begitu menyukai kata ini — dan hal itu membuat kita bertanya-tanya. Bagaimana kita membantu mereka? Bagaimana kita mendampingi mereka? Bagaimana kita mendampingi mereka agar anak-anak tidak disandera oleh ayah atau ibu mereka?

Marilah kita memohon kepada Tuhan iman yang besar, untuk melihat kenyataan melalui mata Tuhan; dan karena kasih amalnya yang besar, dapat mendekati orang-orang dengan hatinya yang penuh belas kasih. amalnya yang besar, dapat mendekati orang-orang dengan hatinya yang penuh belas kasih amalnya yang besar, dapat mendekati orang-orang dengan hatinya yang penuh belas kasih.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 24 Juni 2015)

22.
Keluarga yang terluka (II)

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Dengan katekese ini kita kembali pada refleksi kita tentang keluarga. Setelah berbicara terakhir kali tentang keluarga yang terluka karena kesalahpahaman antara pasangan, hari ini saya ingin memfokuskan perhatian kita pada kenyataan lain: bagaimana merawat mereka yang, setelah kegagalan ikatan perkawinan yang tidak dapat dipulihkan, telah memasuki ikatan baru.

Gereja sepenuhnya menyadari bahwa situasi seperti itu bertentangan dengan Sakramen Kristiani. Namun, sebagai seorang guru, hatinya selalu adalah hati seorang ibu; hati yang, dihidupkan oleh Roh Kudus, selalu mencari kebaikan dan keselamatan umat. Itulah sebabnya ia merasa berkewajiban, “demi kebenaran”, untuk “menjalankan penegasan situasi dengan saksama”. Demikianlah Santo Yohanes Paulus II mengungkapkannya dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (n. 84), dengan memberikan contoh perbedaan antara orang yang mengalami perpisahan dibandingkan dengan orang yang menyebabkan perpisahan. Penegasan atau diskresi ini harus dilakukan.

Jika kita kemudian juga melihat ikatan-ikatan baru ini melalui mata putra-putri muda — dan anak-anak kecil melihat — melalui mata anak-anak, kita menyadari urgensi yang lebih besar untuk menumbuhkan sambutan sejati bagi keluarga-keluarga ini di komunitas kita. Karena alasan ini penting bahwa gaya komunitas, bahasanya, sikapnya, selalu memperhatikan orang-orang, dimulai dengan anak-anak kecil. Mereka adalah orang-orang yang paling menderita dalam situasi ini. Lagi pula, bagaimana kita dapat mendorong para orang tua ini untuk melakukan segala yang mungkin untuk membesarkan anak-anak mereka dalam kehidupan Kristen, untuk memberi mereka contoh iman yang berkomitmen dan dipraktikkan, jika kita menjauhkan mereka dari kehidupan komunitas, seolah-olah mereka dikucilkan? Kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga tidak menambah lebih banyak beban yang sudah dirasakan anak-anak dalam situasi ini! Sayangnya, jumlah anak-anak dan kaum muda ini benar-benar besar. Penting bagi mereka untuk merasakan Gereja sebagai ibu yang penuh kasih bagi semua orang, selalu siap untuk mendengarkan dan bertemu.

Dalam beberapa dekade ini, sesungguhnya, Gereja tidaklah bersikap tidak peka atau malas. Berkat analisis mendalam yang dilakukan oleh para Pastor, yang dipimpin dan dibimbing oleh para Pendahulu saya, kesadaran telah benar-benar tumbuh bahwa perlu adanya sambutan yang penuh persaudaraan dan penuh perhatian, dalam kasih dan kebenaran, terhadap mereka yang telah dibaptis yang telah membangun hubungan hidup bersama yang baru setelah kegagalan sakramen perkawinan; sesungguhnya, orang-orang ini sama sekali tidak dikucilkan — mereka tidak dikucilkan! — dan mereka sama sekali tidak boleh diperlakukan seperti itu: mereka masih merupakan bagian dari Gereja.

Paus Benediktus XVI berbicara tentang pertanyaan ini, menyerukan agar dilakukan pertimbangan yang cermat dan pendampingan pastoral yang bijaksana, dengan menyadari bahwa tidak ada “solusi yang sederhana” (Pidato pada Pertemuan Keluarga Sedunia Ketujuh, Milano, 2 Juni 2012, jawaban no. 5). Di sini, para Pastor dipanggil untuk secara terbuka dan konsisten menunjukkan kesediaan komunitas untuk menyambut mereka dan menyemangati mereka, sehingga mereka dapat semakin menghayati dan mengembangkan keanggotaan mereka di dalam Kristus dan di dalam Gereja melalui doa, dengan mendengarkan Sabda Allah, dengan menghadiri liturgi, melalui pendidikan Kristen bagi anak-anak mereka, melalui amal dan pelayanan kepada orang miskin, melalui komitmen terhadap keadilan dan perdamaian.

Ikon Alkitab tentang Gembala yang Baik (Yoh 10:11–18) merangkum misi yang diterima Yesus dari Bapa: yaitu memberikan hidup-Nya bagi domba-domba-Nya. Sikap ini juga menjadi model bagi Gereja, yang merangkul anak-anaknya sebagai seorang ibu yang memberikan hidupnya bagi mereka. “Gereja disebut sebagai rumah Bapa, dengan pintu-pintu yang selalu terbuka lebar”…. Tidak ada pintu yang tertutup! Tidak ada pintu yang tertutup! “Setiap orang dapat berbagi melalui beberapa cara dalam kehidupan Gereja; setiap orang dapat menjadi bagian dari komunitas”…. Gereja “adalah rumah Bapa, di sana ada tempat bagi setiap orang, dengan semua masalah mereka” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, n. 47).

Dengan cara yang sama, semua orang Kristen dipanggil untuk meniru Sang Gembala yang Baik. Khususnya keluarga-keluarga Kristen dapat bekerja sama dengan-Nya dengan merawat keluarga-keluarga yang terluka, mendampingi mereka dalam kehidupan iman di komunitas. Setiap orang harus melakukan bagiannya dalam mengambil sikap Sang Gembala yang Baik, yang mengenal setiap domba-domba-Nya dan tidak mengecualikan seorang pun dari kasih-Nya yang tak terbatas!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 5 Agustus 2015)

23.
Syukuran

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Hari ini kita akan memulai rangkaian refleksi singkat tentang tiga dimensi yang mengartikulasikan, boleh dikatakan, ritme kehidupan keluarga: syukuran, bekerja, berdoa.

Mari kita mulai dengan syukuran. Hari ini kita akan berbicara tentang syukuran. Dan mari kita katakan langsung bahwa syukuran adalah ciptaan Tuhan. Mari kita ingat kesimpulan dari kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian, yang telah kita dengar: “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Maka Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Allah berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu” (2:2–3). Allah sendiri mengajarkan kepada kita pentingnya mendedikasikan waktu untuk merenungkan dan menikmati apa yang telah dilakukan dengan baik dalam pekerjaan. Saya berbicara tentang pekerjaan, tentu saja, tidak hanya dalam arti pekerjaan dan profesi, tetapi dalam arti yang lebih luas: setiap tindakan yang dengannya kita sebagai pria dan wanita bekerja sama dalam karya kreatif Allah. Maka waktu keluarga bukanlah bermalas-malasan di kursi berlengan, atau euforia pelarian yang sia-sia.

Pertama-tama dan terutama syukuran adalah pandangan penuh kasih dan rasa syukur atas apa saja yang dilakukan dengan baik; kita mensyukuri hidup berkeluarga. Anda juga, para pengantin baru, merayakan hasil karya dari masa pertunangan yang indah: dan ini indah! Inilah saatnya untuk melihat anak-anak Anda, atau cucu-cucu, yang sedang tumbuh dewasa, dan berpikir: betapa indahnya! Inilah saatnya untuk melihat rumah kita, teman-teman yang kita tampung, masyarakat di sekitar kita, dan berpikir: betapa baiknya hal itu! Tuhan melakukan ini ketika Dia menciptakan dunia. Dan Dia melakukannya berulang-ulang, karena Tuhan selalu menciptakan, bahkan pada saat ini!

Mungkin saja syukuran terjadi dalam situasi yang sulit atau menyedihkan, dan mungkin kita mensyukuri dengan “benjolan di tenggorokan”. Namun, bahkan dalam kasus-kasus ini, kita memohon kepada Tuhan agar kita tidak mengosongkannya sepenuhnya. Anda para ibu dan ayah benar-benar memahami hal ini: betapa seringnya, demi cinta kepada anak-anak Anda, Anda mampu menelan kesedihan Anda agar mereka dapat menikmati; menikmati nikmatnya hidup! Ada begitu banyak cinta dalam hal ini!

Di tempat kerja juga, kadang-kadang — tanpa mengabaikan tugas kita — kita mampu “menyusup” secercah perayaan: ulang tahun, pernikahan, kelahiran, seperti perpisahan atau kelahiran bayi…, itu penting. Penting untuk merayakan. Ini adalah momen-momen kekeluargaan dalam kerja internal mesin produksi: itu baik bagi kita!

Momen syukuran yang sesungguhnya membuat pekerjaan berhenti sejenak, dan itu sakral, karena mengingatkan pria dan wanita bahwa mereka diciptakan menurut gambar Allah, yang bukan budak pekerjaan, tetapi Tuhannya, dan dengan demikian kita juga tidak boleh menjadi budak pekerjaan, tetapi “tuannya”. Ada perintah tentang ini, perintah yang menyangkut semua orang, tanpa kecuali! Namun kita tahu bahwa ada jutaan pria dan wanita dan bahkan anak-anak yang menjadi budak kerja! Saat ini ada budak, mereka dieksploitasi, budak kerja dan ini bertentangan dengan Allah dan terhadap martabat manusia! Terlalu memikirkan akan keuntungan ekonomi dan efisiensi teknis yang berlebihan membahayakan ritme kehidupan manusia, karena kehidupan memiliki ritme manusianya sendiri. Waktu untuk beristirahat, terutama pada hari Minggu, ditetapkan bagi kita sehingga kita dapat menikmati apa yang tidak diproduksi dan tidak dikonsumsi, tidak dibeli dan tidak dijual. Sebaliknya kita melihat bahwa ideologi keuntungan dan konsumerisme bahkan ingin memanfaatkan syukur: itu juga kadang-kadang direduksi menjadi “bisnis”, menjadi cara menghasilkan dan menghabiskan uang. Tetapi apakah ini yang kita kerjakan? Keserakahan konsumerisme, yang mengarah pada pemborosan, adalah virus buruk yang, antara lain, membuat kita berakhir lebih lelah dari sebelumnya. Itu merusak kerja sejati dan menghabiskan hidup. Irama syukur yang tidak teratur sering kali menjadikan kaum muda sebagai korban.

Pada akhirnya, waktu untuk syukuran itu sakral karena Tuhan hadir dengan cara yang istimewa. Ekaristi hari Minggu membawa kita ke dalam mensyukuri setiap rahmat Yesus Kristus: kehadiran-Nya, kasih-Nya, pengorbanan-Nya, pembentukan-Nya kita menjadi sebuah komunitas, keberadaan-Nya bersama kita…. Dan seperti ini setiap realitas menerima maknanya yang penuh: pekerjaan, keluarga, kegembiraan dan pencobaan setiap hari, bahkan penderitaan dan kematian; semuanya menjadi berubah rupa oleh rahmat Kristus.

Keluarga dianugerahi kemampuan luar biasa untuk memahami, membimbing, dan mempertahankan nilai autentik dari waktu untuk bersyukur. Betapa indahnya syukuran keluarga, semuanya indah! Terutama hari Minggu. Tentunya bukan kebetulan bahwa syukuran yang melibatkan seluruh keluarga adalah syukuran yang hasilnya paling baik!

Kehidupan berkeluarga itu sendiri, jika dilihat dari kacamata iman, tampak lebih baik bagi kita daripada kerja keras yang telah kita lakukan. Bagi kita, kehidupan berkeluarga tampak seperti mahakarya kesederhanaan, indah justru karena kehidupan berkeluarga tidak dibuat-buat, tidak palsu, tetapi mampu gabungan semua aspek kehidupan nyata di dalamnya. Bagi kita, kehidupan berkeluarga tampak seperti sesuatu yang “sangat baik”, seperti yang dikatakan Allah saat penciptaan manusia laki-laki dan perempuan selesai (lih. Kej 1:31). Jadi, syukuran merupakan karunia Allah yang sangat berharga; karunia yang sangat berharga yang diberikan Allah kepada keluarga manusia: janganlah kita merusaknya!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 12 Agustus 2015)

24.
Pekerjaan

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Setelah merenungkan tentang syukuran dalam kehidupan keluarga, hari ini kita akan merenungkan unsur pelengkap, yaitu pekerjaan. Keduanya merupakan bagian dari rancangan kreatif Allah, syukuran, dan pekerjaan.

Pekerjaan, pada umumnya diperlukan untuk menghidupi keluarga, membesarkan anak-anak, dan memastikan kehidupan yang bermartabat bagi orang-orang yang kita kasihi. Berbicara tentang orang yang serius dan jujur, hal terindah yang dapat dikatakan adalah: “dia adalah seorang pekerja”, seseorang yang bekerja, yang dalam suatu komunitas tidak hanya hidup dari orang lain. Saya melihat banyak orang Argentina saat ini, dan saya akan mengatakan apa yang kita katakan: “No vive de arriba” [Jangan hidup dari angan-angan].

Dan memang pekerjaan, dalam berbagai bentuknya, dimulai dengan pekerjaan di rumah, juga berkaitan dengan kebaikan bersama. Di mana seseorang mempelajari gaya hidup kerja keras ini? Pertama-tama, seseorang mempelajarinya dalam keluarga. Keluarga mengajarkan kerja melalui teladan orang tua: ayah dan ibu yang bekerja untuk kebaikan keluarga dan masyarakat.

Dalam Injil, Keluarga Kudus dari Nazaret muncul sebagai keluarga pekerja, dan Yesus sendiri disebut sebagai “anak seorang tukang kayu” (Mat 13:55) dan bahkan “sang tukang kayu” (Mrk 6:3). Dan Santo Paulus tidak akan gagal memperingatkan orang-orang Kristen: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10) — itu adalah resep yang bagus untuk menurunkan berat badan, Anda tidak bekerja, Anda tidak makan! Rasul Paulus secara eksplisit merujuk pada spiritualisme palsu dari beberapa orang yang memang hidup dari saudara-saudari mereka “tanpa melakukan pekerjaan apa pun” (2 Tes 3:11). Komitmen untuk bekerja dan kehidupan rohani, dalam konsepsi Kristen, sama sekali tidak bertentangan satu sama lain. Penting untuk memahami hal ini dengan benar! Doa dan pekerjaan dapat dan harus harmonis, seperti yang diajarkan Santo Benediktus. Tidak adanya pekerjaan merusak jiwa, sama seperti tidak adanya doa merusak aktivitas praktis.

Pekerjaan — saya ulangi, dalam berbagai bentuknya —adalah hak asasi manusia. Pekerjaan mengungkapkan martabat sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah. Karena itu, dikatakan bahwa pekerjaan itu sakral. Jadi, mengelola pekerjaan seseorang adalah tanggung jawab manusia dan sosial yang besar, yang tidak dapat diserahkan kepada segelintir orang atau dilimpahkan kepada “pasar” yang didewakan. Menyebabkan hilangnya pekerjaan berarti menyebabkan kerugian serius bagi masyarakat. Saya sedih melihat orang-orang tanpa pekerjaan, yang tidak mendapatkan pekerjaan dan tidak memiliki martabat untuk membawa pulang makanan. Dan saya sangat bersukacita ketika saya melihat pemerintah berusaha keras untuk mencari pekerjaan dan berusaha memastikan bahwa setiap orang memiliki pekerjaan. Kita harus berdoa agar tidak ada keluarga yang tidak memiliki pekerjaan.

Oleh karena itu, pekerjaan juga, seperti syukuran, adalah bagian dari rencana kreatif Allah. Dalam Kitab Kejadian, tema bumi seperti halaman belakang, yang dipercayakan kepada pemeliharaan dan pengelolaan manusia (2, 8:15), diantisipasi oleh suatu bagian yang sangat mengharukan: “Pada waktu Tuhan Allah menjadikan bumi dan langit, belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebab Tuhan Allah belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu; tetapi ada kabut naik dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu” (2:4–6). Itu bukan romantisme, itu adalah wahyu Tuhan; dan kita bertanggung jawab untuk memahami dan menerapkannya. Ensiklik Laudato Si’, yang mengusulkan ekologi integral, juga memuat pesan ini: keindahan bumi dan martabat kerja diciptakan untuk dipersatukan. Keduanya berjalan beriringan: bumi menjadi indah ketika digarap oleh manusia. Ketika kerja dipisahkan dari perjanjian Tuhan dengan pria dan wanita, dan dipisahkan dari kualitas rohaninya, ketika terpisah dari kualitas spiritualnya, ketika kerja disandera oleh logika keuntungan semata dan kehidupan manusia diabaikan, degradasi jiwa mencemari segalanya: bahkan udara, air, rumput, makanan … kehidupan masyarakat rusak dan habitatnya hancur. Dan konsekuensinya terutama jatuh pada orang miskin dan keluarga miskin. Organisasi kerja modern terkadang menunjukkan kecenderungan berbahaya untuk menganggap keluarga sebagai beban, beban, tanggung jawab atas produktivitas kerja. Tetapi mari kita bertanya pada diri sendiri: produktivitas apa? Dan untuk siapa? Apa yang disebut “kota cerdas” tidak diragukan lagi kaya akan layanan dan organisasi; tetapi, misalnya, sering kali tidak bersahabat dengan anak-anak dan orang tua. Kadang-kadang mereka yang bertanggung jawab tertarik untuk mengelola individu sebagai tenaga kerja, mengumpulkan dan memanfaatkan mereka atau membuang mereka atas dasar keuntungan ekonomi. Keluarga adalah meja kerja yang hebat. Ketika organisasi kerja menyanderanya, atau bahkan menghalangi jalannya, maka kita dapat yakin bahwa masyarakat manusia telah mulai bekerja melawan dirinya sendiri!

Dalam situasi ini, keluarga Kristen dihadapkan pada tantangan besar dan misi besar. Mereka membawa fondasi Ciptaan Tuhan ke lapangan: identitas adalah ikatan antara pria dan wanita, prokreasi anak-anak, pekerjaan yang memanfaatkan bumi dan membuat dunia layak huni. Hilangnya fondasi ini adalah masalah yang sangat serius dan sudah ada terlalu banyak keretakan di rumah bersama! Ini bukan tugas yang mudah. ​​Kadang-kadang mungkin tampak bagi asosiasi keluarga seolah-olah mereka seperti Daud menghadapi Goliat … tetapi kita tahu bagaimana tantangan itu berakhir! Dibutuhkan iman dan kelicikan. Di masa sulit dalam sejarah kita ini, semoga Tuhan memberi kita kemampuan untuk menerima dengan sukacita dan berharap akan panggilan Allah bagi kita untuk berkarya demi martabat bagi diri kita dan keluarga.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 19 Agustus 2015)

25.
Doa

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Setelah merenungkan bagaimana keluarga menjalani saat syukuran dan saat bekerja, marilah kita sekarang membahas tentang waktu berdoa. Keluhan yang paling sering dilontarkan umat kristiani sebenarnya berkaitan dengan waktu: “Saya harus lebih banyak berdoa…; Saya ingin berdoa tetapi sering kali saya tidak punya waktu”. Kami mendengar keluhan semacam ini sepanjang waktu. Penyesalan yang tulus tentu saja ada, karena pada dasarnya hati manusia selalu ingin berdoa, meskipun tidak disadari; dan jika hati tidak menemukannya, maka hati tidak merasakan kedamaian. Namun untuk menemukannya, kita perlu memupuk dalam hati kita: kasih yang “berkobar” kepada Allah, kasih yang penuh kasih sayang.

Mari kita mengajukan pertanyaan yang sangat sederhana. Alangkah baiknya apabila kita beriman kepada Allah dengan sepenuh hati. Alangkah baiknya apabila kita berharap agar Ia menolong kita dalam kesulitan, alangkah baiknya pula apabila kita merasa harus mengucap syukur kepada-Nya. Semua ini merupakan upaya yang tidak seberapa; tapi apakah kita mengasihi Allah, meski hanya sedikit saja? Apakah permenungan tentang Allah mampu menggerakkan kita, membuat kita terpesona, melunakkan hati kita?

Marilah kita merenungkan kata-kata Perintah Utama, yang menjadi dasar bagi semua firman lainnya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5; Mat. 22:37). Rumusan ini menggunakan bahasa cinta yang mendalam, yang ditujukan kepada Allah. Lihatlah, di sinilah roh doa tinggal bersemayam di atas segalanya. Dan selama roh doa itu bersemayam, maka roh doa itu akan tetap bersemayam selamanya dan tidak akan pernah hilang. Mampukah kita merenungkan Allah sebagai pribadi yang peduli dan membuat kita hidup, dan bahwa di hadapan-Nya tidak ada apa pun yang lebih penting? Suatu bentuk kepedulian, di mana tidak ada satu hal pun yang dapat memisahkan kita dari-Nya, bahkan kematian sekalipun? Ataukah kita hanya merenungkan-Nya sebagai yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa yang menciptakan segala sesuatu, Sang Hakim yang memantau setiap tindakan kita? Tentu saja semuanya itu benar; tetapi hanya Allah sebagai cinta kasih yang mengatasi kecintaan kita, itu berarti bahwa kata-kata ini menemukan kepenuhannya. Lalu kita merasa bahagia, meskipun mungkin tetap ada rasa bimbang yang meliputi diri kita, karena kita percaya bahwa Ia memperhatikan kita dan terutama Dia mengasihi kita! Bukankah hal ini sangat mengagumkan? Tidakkah sungguh luar biasa bahwa Allah memeluk kita dengan kasih seorang Bapa? Ini sangat indah! Dia bisa saja hanya menampakkan diri-Nya sebagai Yang Maha Tinggi, memberikan perintah-Nya, dan menunggu hasilnya. Namun, Allah telah bekerja dan akan bekerja jauh lebih dari ini. Ia menemani kita sepanjang perjalanan hidup ini. Ia senantiasa melindungi kita. Ia mengasihi kita.

Jika cinta kita kepada Allah tidak menyala, semangat kita untuk berdoa juga tidak akan berkobar. Kita hanya bisa menggandakan kata-kata kita, “seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah,” kata Yesus; atau bahkan melakukan kebiasaan kita, “seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi” (lih. Mat 6:5,7). Hati yang penuh kasih kepada Allah dapat menjadikan doa seperti pikiran yang tak terucapkan, atau panggilan di hadapan gambar suci, atau ciuman kepada Gereja. Sungguh indah ketika seorang ibu mengajari anak-anaknya yang masih kecil untuk memberikan ciuman kepada Yesus atau kepada Bunda Maria. Betapa lembutnya momen ini! Saat itu, hati anak itu berubah menjadi tempat berdoa. Dan peristiwa ini merupakan karunia Roh Kudus. Jangan pernah lupa untuk memohon karunia ini untuk masing-masing dari kita! Karena Roh Allah memiliki cara khusus untuk mengatakan dalam hati kita “Abba” — “Ya Bapa”. Dia mengajar kita untuk mengatakan “Bapa” seperti yang dikatakan Yesus, suatu cara yang tidak akan pernah kita temukan sendiri (lih. Gal. 4:6). Keluarga adalah tempat di mana orang belajar meminta dan menghargai karunia Roh ini. Jika orang belajar mengucapkannya dengan spontanitas yang sama seperti ketika belajar mengucapkan “Ayah” dan “Ibu”, maka berarti ia telah mempelajarinya untuk selamanya. Ketika peristiwa ini terjadi, maka pada saat itulah seluruh kehidupan keluarga terbungkus dalam rahim kasih Allah, dan secara spontan akan mencari waktu untuk berdoa.

Kita sangat paham bahwa momen bersama keluarga merupakan momen yang kompleks dan padat, sibuk dan menyita perhatian. Meskipun demikian, selalu ada sedikit waktu untuk momen itu, tidak pernah cukup, karena ada begitu banyak hal yang harus dilakukan. Mereka yang memiliki keluarga harus segera belajar untuk memecahkan persamaan yang bahkan ahli matematika besar pun tidak tahu bagaimana cara memecahkannya, yaitu: dalam 24 jam mereka bisa melakukan dua kali lipat lebih banyak! Tidak tertutup kemungkinan bahwa ada Ibu dan Ayah yang bisa memenangkan Hadiah Nobel untuk hal ini. Dari 24 jam mereka melakukan sesuatu seperti memiliki waktu 48 jam: Saya tidak tahu bagaimana cara mereka melakukannya tetapi mereka benar melakukannya! Tidak dapat disangkal bahwa ada begitu banyak pekerjaan di dalam keluarga!

Roh doa memberikan waktu kembali kepada Allah, menjauhkan diri dari obsesi terhadap kehidupan yang selalu kurang waktu, menghidupkan kembali kedamaian dengan cara memberikan perhatian kepada hal-hal yang memang perlu diberi perhatian, dan menemukan kegembiraan ketika memperoleh sesuatu yang tidak terduga. Dua contoh yang baik tentang doa ini adalah Marta dan Maria, yang disebut dalam Injil yang baru saja kita dengar; mereka belajar dari Allah tentang ritme kehidupan di dalam keluarga: keindahan dalam perayaan, ketenangan dalam bekerja, semangat dalam berdoa (lih. Luk 10:38–42). Kedatangan Yesus, sosok yang mereka cintai, merupakan perayaan bagi mereka. Namun, suatu hari Marta belajar bahwa pekerjaan rumah tangga, meskipun penting, bukanlah segalanya, tetapi mendengarkan Tuhan, seperti yang dilakukan Maria, adalah hal yang sungguh penting, “hal yang terbaik” yang dapat dilakukan dalam waktu yang ada. Doa mengalir saat mendengarkan Yesus, dan saat membaca Injil. Janganlah kita lupa untuk membaca satu perikop dari Injil setiap hari. Doa mengalir dari kedekatan dengan Firman Allah. Apakah ada kedekatan seperti ini di keluarga kita? Apakah kita memiliki Injil di rumah? Apakah kita hanya membukanya kadang-kadang saja dan membacanya bersama dalam keluarga? Apakah kita merenungkan Injil sewaktu berdoa Rosario? Injil yang dibaca dan direnungkan bersama sebagai keluarga adalah bagaikan roti yang baik yang menyehatkan hati setiap orang. Pada pagi dan petang, dan ketika kita duduk di sekitar meja makan, kita belajar untuk berdoa bersama dengan sangat sederhana: Yesus yang datang di tengah-tengah kita, sebagaimana. Ia ada bersama dengan keluarga Martha, Maria, dan Lazarus. Ada sesuatu yang sangat menyentuh hati saya; karena saya telah melihatnya secara jelas di kota: ada anak-anak yang belum belajar membuat Tanda Salib! Tetapi anda, ibu, ayah, apakah anda sudah mengajarkan kepada anakmu cara berdoa, membuat Tanda Salib: ini adalah tugas yang indah bagi seorang ibu dan seorang ayah!

Dalam doa keluarga, baik dalam momen-momen yang penting maupun dalam masa-masa yang sulit, kita saling percaya, agar setiap anggota keluarga dilindungi oleh kasih Allah.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 26 Agustus 2015)

26.
Evangelisasi

Selamat pagi saudara dan saudari terkasih!

Dalam katekese keluarga ini, kita akan berbicara mengenai kewajiban kita untuk mengkomunikasikan iman.

Pertama, mungkin kita bertanya-tanya mengapa beberapa pernyataan Yesus dalam Injil seolah bertentangan dengan ajaran tentang relasi keluarga dan bagaimana mengikuti Kristus. Misalnya, kata-kata yang keras yang kita sering dengar: “Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barang siapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. (Mat. 10:37–38)

Tentu saja, Yesus tidak bermaksud untuk membatalkan perintah keempat, yang merupakan perintah penting pertama mengenai relasi antar manusia. Tiga perintah yang pertama (lihat 10 perintah Allah) adalah perintah mengenai relasi antara manusia dengan Allah. Bukankah Yesus baru saja membuat mukjizat dalam pesta pernikahan di Kana, setelah menguduskan ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, dan setelah menghidupkan kembali anak laki-laki dan anak perempuan, mustahil Tuhan meminta kita untuk tidak peka terhadap cinta antar keluarga. Yang benar adalah ketika menetapkan pentingnya mengimani Allah, Yesus belum menemukan contoh yang tepat. Tentu saja, Yesus tidak bermaksud untuk membatalkan perintah keempat, yang merupakan perintah penting pertama mengenai relasi antar manusia. Tiga perintah yang pertama adalah perintah mengenai relasi antara manusia dengan Allah. Bukankah Yesus baru saja membuat mukjizat dalam pesta pernikahan di Kana, setelah menguduskan ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, dan setelah menghidupkan kembali anak laki-laki dan anak Perempuan, mustahil Tuhan meminta kita untuk tidak peka terhadap cinta antar keluarga. Yang benar adalah ketika menetapkan pentingnya mengimani Allah, Yesus belum menemukan contoh yang tepat; tidak seperti pada saat Ia berbicara mengenai ikatan keluarga dalam iman dan kasih Allah. Selain itu, ikatan kekeluargaan dalam iman dan kasih Allah ini diubah dengan makna yang lebih luas yaitu dengan makna bapak dan ibu serta persaudaraan seperti yang dinyatakan Tuhan Ketika suatu hari dikatakan kepadanya bahwa ayah dan ibunya mencarinya. Tanggapan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Di sini ada ibu dan saudara-saudara-Ku! Barang siapa melaksanakan kehendak Allah adalah saudaraku laki-laki, saudaraku perempuan, dan ibu-Ku. (Mk. 3:34-35)

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 2 September 2015)

27.
Komunitas

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Hari ini saya ingin memusatkan perhatian kita pada hubungan antara keluarga dan komunitas Kristiani. Ikatan ini bisa dikatakan bersifat alami karena Gereja adalah keluarga rohani dan keluarga adalah Gereja rumah tangga (lih. Lumen Gentium, no. 9).

Komunitas Kristen adalah rumah bagi mereka yang percaya kepada Yesus sebagai sumber persaudaraan di antara semua manusia. Gereja melakukan perjalanan di antara umatnya, dalam sejarah pria dan wanita, ayah dan ibu, putra dan putri: sejarah ini amat penting bagi Tuhan. Peristiwa-peristiwa besar dari kekuatan-kekuatan duniawi ditulis dalam buku-buku sejarah, dan di sana mereka akan tetap ada. Tetapi sejarah perasaan manusia ditulis langsung di hati Tuhan; dan itulah sejarah yang akan bertahan selamanya. Di sinilah kehidupan dan iman berada. Keluarga adalah tempat inisiasi kita yang tak tergantikan dan tak terhapuskan ke dalam sejarah ini… ke dalam sejarah kehidupan ini dalam kepenuhannya, yang akan mencapai puncaknya di surga dengan perenungan akan Tuhan untuk selamanya, tetapi yang dimulai dalam keluarga! Dan itulah sebabnya keluarga begitu penting.

Allah Putra mempelajari kisah manusia dengan cara ini, dan Ia menjalaninya sampai akhir (lih. Ibr 2:18; 5:8). Sungguh indah merenungkan Yesus dan tanda-tanda ikatan ini! Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga dan di sana “Ia belajar tentang dunia”: satu toko, sekitar empat rumah, sebuah dusun mungil. Namun, selama 30 tahun hidup di sana, Yesus menyerap kondisi manusia, menerimanya dalam persekutuan-Nya dengan Bapa dan dalam misi kerasulan-Nya. Kemudian, ketika Ia meninggalkan Nazaret dan memulai pelayanan publik-Nya, Yesus membentuk di sekelilingnya sebuah komunitas, sebuah “jemaat”, yaitu, sebuah pertemuan orang-orang dalam tugas. Inilah arti dari kata “gereja”.

Dalam Injil, jemaat Yesus mengambil bentuk keluarga dan keluarga yang ramah, bukan sekte yang eksklusif dan tertutup: di sana kita menemukan Petrus dan Yohanes, tetapi juga orang yang lapar dan haus, orang asing dan yang teraniaya, orang berdosa dan pemungut cukai, orang Farisi dan orang banyak. Dan Yesus tidak pernah berhenti menerima dan berbicara kepada semua orang, bahkan mereka yang tidak lagi berharap untuk berjumpa dengan Tuhan dalam hidup ini. Itu adalah pelajaran penting bagi Gereja! Para murid dipilih untuk merawat jemaat ini, untuk keluarga tamu Tuhan ini.

Agar realitas perkumpulan Yesus ini tetap terjaga dalam situasi saat ini, sangat penting untuk memperbarui perjanjian antara keluarga dan komunitas Kristiani. Kita dapat mengatakan bahwa keluarga dan paroki adalah dua tempat di mana persekutuan kasih, yang sumber utamanya adalah Allah, terjadi. Gereja yang benar-benar sesuai dengan Injil tidak dapat tidak mengambil bentuk rumah yang ramah, dengan pintu-pintu yang selalu terbuka. Gereja, paroki, lembaga dengan pintu tertutup tidak boleh disebut gereja, melainkan harus disebut museum!

Dan sekarang, perjanjian ini sangat penting. “Melawan ‘pusat-pusat kekuasaan’ yang bersifat ideologis, finansial, dan politik, kita menaruh harapan kita pada pusat-pusat kasih yang mewartakan Injil, yang kaya akan kehangatan manusiawi, yang didasarkan pada solidaritas dan partisipasi” (Dewan Kepausan untuk Keluarga, Ajaran J.M. Bergoglio-Paus Fransiskus tentang Keluarga dan Kehidupan 1999-2014, LEV 2014, 189), dan juga pada pengampunan di antara kita.

Mempererat ikatan antara keluarga dan komunitas Kristen dewasa ini sangat penting dan mendesak. Tentu saja, diperlukan iman dengan wawasan luas agar dapat menemukan kembali pemahaman dan keberanian untuk memperbarui perjanjian ini. Keluarga terkadang menarik diri, dengan mengatakan bahwa mereka tidak dapat memenuhinya: “Bapa, kami adalah keluarga miskin dan bahkan sedikit lebih dari cuma miskin”, “Kami tidak mampu”, “Kami sudah memiliki begitu banyak masalah di rumah”, “Bukan untuk kami…”. Ini benar. Namun, tidak seorang pun yang layak, tidak seorang pun yang mampu memenuhinya, tidak seorang pun memiliki kekuatan! Tanpa kasih karunia Allah, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Segala sesuatu diberikan kepada kita, diberikan dengan cuma-cuma! Dan Tuhan tidak pernah datang ke dalam keluarga baru tanpa melakukan mukjizat. Mari kita ingat apa yang Dia lakukan pada pernikahan di Kana! Ya, jika kita menyerahkan diri kita ke dalam tangan-Nya, Tuhan akan melakukan mukjizat bagi kita — tetapi itu adalah mukjizat kehidupan sehari-hari! — ketika Tuhan hadir di sana, hadir dalam keluarga.

Tentu saja, komunitas Kristen juga harus melakukan bagiannya. Misalnya, mengatasi sikap yang terlalu banyak memberi nasihat atau terlalu manajerial, untuk menumbuhkan dialog antar pribadi dan kesadaran serta saling menghargai. Semoga keluarga mengambil inisiatif dan merasa bertanggung jawab untuk membawa karunia mereka yang berharga bagi komunitas. Kita semua harus menyadari bahwa iman Kristen dimainkan di lapangan kehidupan terbuka yang dibagikan kepada semua orang. Keluarga dan paroki harus melakukan mukjizat kehidupan yang lebih komunal bagi seluruh masyarakat.

Di Kana, ada Bunda Yesus, “Bunda Penasihat yang Baik”. Marilah kita mendengarkan kata-katanya: “Apa pun yang dikatakan-Nya kepadamu: Lakukan apa yang dikatakan-Nya kepadamu.” (bdk. Yoh 2:5). Keluarga-keluarga terkasih, komunitas-komunitas paroki terkasih, marilah kita membiarkan diri kita terinspirasi oleh Bunda ini, marilah kita melakukan apa pun yang Yesus katakan kepada kita dan kita akan menemukan sumber dari semua mukjizat, dari mukjizat-mukjizat setiap hari! Terima kasih!

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 9 September 2015)

28.
Bangsa

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Refleksi ini menjadi penutup katekese tentang perkawinan dan keluarga. Kita berada di ambang dua peristiwa yang indah dan menantang, yang secara langsung terkait dengan tema penting ini: Pertemuan Keluarga Sedunia di Filadelfia dan Sinode Para Uskup di Roma ini. Keduanya memiliki makna penting bagi seluruh dunia, sesuai dengan dimensi universal Kekristenan serta cakupan universal tentang hal yang sifatnya mendasar dan tak tergantikan dalam hidup bersama manusia. Apakah itu? Jawabannya adalah: keluarga.

Transisi peradaban saat ini tampaknya ditandai oleh dampak jangka panjang kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh teknokrasi ekonomi. Subordinasi etika terhadap logika keuntungan ini seakan menuntut tersedianya sumber daya substansial dan tersedianya dukungan dari media secara luas. Dalam konteks ini, perjanjian baru antara pria dan wanita, tidak hanya diperlukan, tetapi juga penting untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan uang. Perjanjian ini sekali lagi harus memandu politik, ekonomi dan koeksistensi sipil! Kondisi ini menentukan kelayak-hunian bumi, penerusan cinta untuk hidup, keterkaitan antara ingatan dan harapan.

Dalam perjanjian ini, persekutuan keluarga antara pria dan wanita merupakan tata bahasa generatif, atau dapat dikatakan sebagai “simpul emas”. Iman mengalir dari kebijaksanaan ciptaan Allah, yang telah mempercayakan kepada keluarga, bukan menjadikan intimitas sebagai akhir tujuan penciptaan itu sendiri, melainkan suatu proyek untuk menjadikan dunia ini sebagai dunia “domestik” atau dunia yang terdiri dari keluarga-keluarga. Pada awalnya adalah keluarga, di akar budaya dunia yang menyelamatkan kita … menyelamatkan kita dari banyak, banyak serangan, dari begitu banyak kehancuran, dari begitu banyak “penjajahan”, seperti uang atau ideologi yang mengancam begitu banyak dunia. Keluarga adalah dasar pertahanan kita!

Kita telah memperoleh inspirasi penting tentang keluarga pada refleksi rabu ini tentang keluarga dari Kisah Penciptaan Kitab Suci. Dari Firman ini kita dapat dan bahkan harus menimba kembali makna yang melimpah dan mendalam yang terkandung di dalamnya. Usaha besar dan sangat menarik sedang menanti kita. Ciptaan Allah bukanlah premis filosofis belaka: itu adalah cakrawala universal kehidupan dan iman! Tidak ada rencana ilahi selain penciptaan dan keselamatannya. Adalah untuk keselamatan makhluk – dari setiap makhluk – bahwa Allah menjadi manusia: “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”, seperti yang dikatakan Syahadat. Dan Yesus yang bangkit adalah “yang sulung dari segala ciptaan” (Kol. 1:15).

Dunia ciptaan dipercayakan kepada laki-laki dan perempuan: apa yang terjadi di antara mereka menandai segalanya. Penolakan mereka terhadap berkat Allah secara mendasar membawa mereka ke delirium kemahakuasaan yang menghancurkan segalanya. Itulah yang kita sebut sebagai “dosa asal”. Dan kita semua menanggung warisan penyakit ini sejak lahir.

Namun demikian, kita tidak dikutuk, juga tidak ditinggalkan. Catatan kuno tentang kasih Allah yang pertama bagi laki-laki dan perempuan sudah tertulis di halaman-halaman berikut! “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan itu, dan antara keturunanmu dan keturunannya” (Kej 3:15a). Firman ini ditujukan Allah kepada si penipu ular, si pawang ular! Melalui kata-kata ini Allah memperhatikan perempuan dengan menetapkan pembatas yang melindungi perempuan terhadap kejahatan, yang kepadanya dia dapat berpaling – jika dia mau – di setiap generasi. Itu berarti bahwa perempuan membawa di dalam dirinya sebuah rahasia dan berkat khusus, untuk mempertahankan ciptaan-Nya dari si jahat! Seperti perempuan dalam Kitab Wahyu, yang bergegas menyembunyikan anak itu dari Naga. Dan Allah melindunginya (Why 12:6).

Ada aneka makna yang terkandung di sini! Ada banyak stereotip, beberapa agak menyinggung perempuan, dengan menyebut perempuan sebagai penggoda yang mengilhami munculnya kejahatan. Sebaliknya, juga terdapat ruang bagi teologi perempuan sebagai sosok yang layak menerima berkat Allah ini bagi dirinya sendiri dan bagi setiap generasi!

Perlindungan Allah yang penuh belas kasihan kepada pria dan wanita, dalam setiap masalah, tidak pernah mengecewakan. Janganlah kita melupakan ini! Bahasa simbolis Kitab Suci memberitahu kita bahwa sebelum mengasingkan mereka dari Taman Eden, Allah membuat pakaian untuk pria dan wanita dari kulit, dan mengenakannya (lih. Kej 3:21). Tindakan lembut ini mengandung arti bahwa meskipun kita menerima konsekuensi menyakitkan akibat berdosa, Allah tidak ingin membiarkan kita telanjang dan merasa ditinggalkan dalam nasib kita sebagai orang berdosa.

Kelembutan Allah ini, perhatian-Nya kepada kita, dapat kita lihat dalam inkarnasi Yesus dari Nazaret, putra Allah yang “lahir dari seorang perempuan” (Gal 4:4). Dan Santo Paulus berkata berulang kali: “oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm. 5:8). Kristus, lahir dari perempuan, dari seorang perempuan. Itu adalah belaian lembut Allah atas luka, kesalahan, dan dosa-dosa kita. Allah mengasihi kita apa adanya dan ingin membawa kita berjalan dalam rencana ini, dan perempuan adalah orang yang lebih kuat yang membawa rencana ini ke depan.

Janji yang diberikan Allah kepada laki-laki dan perempuan, pada awal sejarah, meluas ke semua manusia, sampai akhir zaman. Jika kita memiliki cukup iman, keluarga-keluarga semua bangsa di bumi akan mengenali diri mereka sendiri sebagai yang memperoleh berkat ini. Dalam segala hal, semua orang yang merasa tergerak oleh visi ini, siapa pun orang itu, apa bangsa atau agama dari mana mereka berasal, biarkan mereka melakukan perjalanan bersama kami. Mereka semua akan menjadi saudara laki-laki dan saudara perempuan kita, tanpa harus menyebarkan agama. Marilah kita berjalan bersama dalam berkat ini dan dalam rencana Allah untuk menjadikan kita semua saudara dan saudari dalam kehidupan dunia yang bergerak maju dan yang lahir dari keluarga, dari persatuan pria dan wanita.

Semoga Allah memberkati anda, dan memberkati keluarga yang terdapat di setiap sudut dunia! Semoga Allah memberkati anda semua!

Ajakan untuk menempatkan ikatan kekeluargaan dalam konteks kepatuhan akan iman dan perjanjian dengan Allah tidak bermaksud mengurangi keduanya; sebaliknya, Yesus berusaha mempertahankan keduanya dari egoisme, dari merosotnya nilai-nilai, dan melindungi kehidupan yang tidak mengenal kematian. Gaya hidup kekeluargaan yang dibangun dari relasi manusiawi merupakan berkat bagi masyarakat. Ketika kasih sayang keluarga diubah menjadi kesaksian Injil, kasih sayang itu dapat melakukan hal-hal yang tak terbayangkan, yang membuat karya-karya Allah menjadi nyata, karya-karya yang Allah lakukan dalam sejarah, seperti yang Yesus lakukan bagi para pria, wanita, dan anak-anak yang Ia jumpai. Hanya satu senyuman yang secara ajaib muncul dari seorang anak yang putus asa karena ditelantarkan akan menolong bukan hanya dirinya tetapi juga anak-anak yang lain. Dan di mana saja ada kasih sayang kekeluargaan seperti itu, di sana juga muncul gerakan sepenuh hati yang lebih fasih daripada kata-kata. Gerakan cinta…. Ini membuat kita berpikir.

Keluarga yang menanggapi panggilan Yesus menyerahkan pengelolaan dunia kembali kepada perjanjian antara pria dan wanita dengan Tuhan. Bayangkan mengembangkan kesaksian ini hari ini. Mari kita bayangkan bahwa kemudi sejarah (masyarakat, ekonomi, politik) dipercayakan — akhirnya! — kepada perjanjian antara pria dan wanita, agar mereka menjaganya dengan pandangan mereka diarahkan kepada generasi yang akan datang. Tema-tema tentang bumi dan rumah, ekonomi dan pekerjaan, akan menyanyikan lagu yang sangat berbeda!

Apabila kita – dimulai dari Gereja – memusatkan perhatian kita kepada keluarga yang mendengarkan dan mengamalkan Sabda Allah, maka kita akan menjadi seperti anggur yang baik dalam pesta perkawinan di Kana, kita akan berkembang seperti ragi Allah.

Sesungguhnya, sekarang ini, perjanjian keluarga dengan Allah diutus untuk melawan terjadinya kekeringan dalam komunitas di kota modern. Namun, kurangnya kasih dan senyuman telah mengubah kota-kota kita menjadi tidak subur. Begitu banyak hiburan, banyak hal dipakai untuk membuang-buang waktu, untuk membuat tawa, tetapi di semua itu tidak ada kasih. Senyum sebuah keluarga dapat mengatasi kota-kota kita menjadi gersang. Inilah kemenangan kasih keluarga. Tidak ada rekayasa ekonomi dan politik yang dapat menggantikan kontribusi keluarga ini. Proyek Babel membangun gedung pencakar langit yang gersang. Roh Allah sebaliknya membuatnya menjadi subur (lih. Yes 32:15). Kita harus keluar dari menara-menara dan dari kubah-kubah berlapis baja kaum elite, untuk kembali menghabiskan waktu di rumah-rumah dan ruang-ruang terbuka bagi banyak orang, terbuka bagi kasih keluarga.

Persekutuan karisma — yang dianugerahkan dalam Sakramen Perkawinan dan yang diberikan pada saat konsekrasi melalui Kerajaan Allah — dimaksudkan untuk mengubah Gereja menjadi tempat yang benar-benar penuh relasi kekeluargaan melalui perjumpaan dengan Allah. Marilah kita melangkah maju di jalan ini, janganlah kita kehilangan harapan. Di mana pun ada keluarga yang penuh kasih, keluarga itu dengan kesaksian kasihnya mampu menghangatkan hati seluruh kota.

Doakan saya. Mari kita saling mendoakan agar kita dapat mengenali dan mendukung kehadiran Allah dalam keluarga. Roh Allah akan membawa kebahagiaan bagi keluarga Kristiani, dan kediaman kita diselamatkan dari depresi.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 16 September 2015)

29.
Semangat Keluarga

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Beberapa hari yang lalu Sinode para Uskup dibuka dengan tema: “Panggilan dan misi keluarga dalam Gereja dan di dunia kontemporer”. Keluarga yang berjalan di jalan Tuhan merupakan hal mendasar bagi kesaksian kasih Allah dan karenanya layak mendapatkan semua pengabdian yang mampu diberikan Gereja. Sinode dipanggil untuk menafsirkan perhatian dan kepedulian Gereja ini untuk masa kini. Marilah kita menyertai seluruh perjalanan Sinode, pertama-tama dengan doa dan perhatian kita. Dalam periode ini refleksi katekese akan mengambil inspirasi dari aspek-aspek tertentu mengenai relasi — yang mungkin kita sebut tak terpisahkan! — antara Gereja dan keluarga, dengan wawasan terbuka untuk kebaikan seluruh komunitas Kristen.

Pandangan yang cermat terhadap kehidupan sehari-hari pria dan wanita masa kini segera menunjukkan kebutuhan yang ada di mana-mana akan suntikan “semangat kekeluargaan” yang sehat. Memang, bentuk hubungan tersebut — sipil, ekonomi, hukum, profesional, kewarganegaraan — tampak cukup rasional, formal, terorganisasi, tetapi juga sangat “dehidrasi”, gersang, anonim. Kadang-kadang menjadi sulit diterima. Sementara berusaha untuk menjadi inklusif dalam bentuknya, pada kenyataannya hal itu membuat semakin banyak orang menjadi kesepian dan tersingkirkan.

Itulah sebabnya, keluarga membuka prospek yang jauh lebih manusiawi bagi seluruh masyarakat: keluarga membuka mata putra dan putri mereka — dan bukan hanya penglihatan tetapi juga semua indra lainnya — terhadap kehidupan, mewakili visi relasi kemanusiaan yang dibangun atas perjanjian cinta kasih yang bebas. Keluarga mensyaratkan perlunya ikatan kesetiaan, ketulusan, kepercayaan, kerja sama, dan rasa hormat. Keluarga mendorong para anggotanya untuk merencanakan dunia yang layak huni dan keyakinan dalam relasi yang saling mempercayai, bahkan dalam kondisi yang sulit; keluarga mengajarkan mereka untuk menghormati kata-kata seseorang, untuk menghormati keterbatasan setiap individu, untuk berbagi dalam keterbatasan pribadi dan orang lain. Kita semua menyadari perhatian keluarga yang tak tergantikan bagi anggota yang paling kecil, paling rentan, paling terluka, dan bahkan yang paling lemah, dalam menjalani hidup mereka. Dalam masyarakat, mereka yang mempraktikkan sikap-sikap ini pasti telah mengambilnya dari semangat keluarga, dan bukan melalui persaingan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.

Nah, meskipun mengetahui semua ini, keluarga tidak diberi perhatian yang semestinya — atau pengakuan, atau dukungan — dalam organisasi politik dan ekonomi masyarakat kontemporer. Lebih jauh, saya ingin mengatakan: keluarga tidak hanya tidak menerima pengakuan yang memadai, tetapi juga tidak lagi menghasilkan pembelajaran!

Kadang-kadang dapat dikatakan bahwa, dengan semua ilmu dan teknologi, masyarakat modern tidak lagi mampu menerjemahkan pengetahuan ini ke dalam bentuk-bentuk kerja sama yang lebih baik dengan Masyarakat sipil. Tidak hanya organisasi kehidupan sehari-hari semakin dikecilkan oleh birokrasi yang sama sekali tidak relevan dengan ikatan manusia yang mendasar, tetapi, bahkan adat istiadat sosial dan politik sering menunjukkan tanda-tanda degradasi — agresivitas, vulgaritas, penghinaan — yang jauh di bawah ambang batas pendidikan keluarga yang minimal sekalipun. Dalam keadaan seperti itu, ekstrem yang berlawanan dari kehinaan hubungan ini — yaitu pembodohan teknologi dan kekeluargaan yang amoral — bergabung dan saling menghasut. Ini adalah sebuah paradoks.

Sekarang Gereja, pada titik yang tepat ini, mengidentifikasi makna historis misinya berkenaan dengan keluarga dan semangat keluarga yang sejati: dimulai dari tinjauan hidup yang cermat, yang memeriksa dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa “semangat keluarga” adalah piagam konstitusional bagi Gereja: beginilah seharusnya cara Kekristenan muncul, dan memang beginilah seharusnya. Ditulis dengan huruf tebal: “kamu yang dahulu jauh” — kata Santo Paulus — […] “bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan seperjalanan orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Ef 2:17, 19). Gereja adalah dan harus menjadi keluarga Allah. Gereja adalah dan harus menjadi keluarga Allah.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 7 Oktober 2015)

30.
Janji kepada anak-anak

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Hari ini karena cuaca agak tidak menentu dan diperkirakan akan turun hujan, Audiensi ini diadakan secara serentak di dua tempat: di sini di Lapangan Santo Paulus dan di Aula Paulus VI di mana 700 orang sakit menonton melalui video layar jumbo (jumbotron). Mari kita semua bergabung dan menyambut mereka dengan bertepuk tangan.

Sabda Yesus sangat kuat hari ini: “Celakalah dunia karena skandal-skandalmu”. Yesus realistis dan berkata: “Tidak dapat dielakkan bahwa skandal-skandal muncul, tetapi celakalah orang yang menyebabkan skandal terjadi”. Sebelum memulai katekese, atas nama Gereja, saya ingin memohon maaf atas skandal-skandal yang telah terjadi akhir-akhir ini baik di Roma maupun di Vatikan. Saya mohon maaf kepada Anda.

Hari ini kita akan merenungkan topik yang sangat penting: janji-janji yang kita buat kepada anak-anak. Saya tidak berbicara banyak tentang janji-janji yang kita buat sesekali, sepanjang hari, untuk membuat mereka bahagia atau membuat mereka menjadi baik (mungkin dengan beberapa tipu muslihat kecil yang tidak berbahaya: Saya akan memberikan Anda janji-janji yang manis dan serupa…), untuk mendorong mereka belajar keras di sekolah atau membujuk mereka agar tidak keras kepala. Saya berbicara tentang janji-janji lainnya, janji-janji amat penting, yang berkenaan dengan harapan mereka mengenai kehidupan, untuk kepercayaan mereka terhadap sesama manusia, untuk kapasitas mereka demi memahami Nama Allah sebagai berkat. Ini adalah janji-janji yang kita buat kepada mereka.

Kita, orang dewasa, siap berbicara tentang anak-anak sebagai janji kehidupan. Kita semua berkata: anak-anak adalah janji kehidupan. Dan kita juga cenderung merasa sedikit emosional saat memberi tahu orang muda bahwa mereka adalah masa depan kita, itu benar. Namun, terkadang saya bertanya-tanya apakah kita serius tentang masa depan mereka, tentang masa depan anak-anak, dan tentang masa depan orang muda! Sebuah pertanyaan yang harus lebih sering kita tanyakan kepada diri sendiri adalah: seberapa tuluskah kita dengan janji-janji yang kita buat kepada anak-anak, setelah membawa mereka ke dunia kita? Kita membuat mereka datang ke dunia dan ini adalah sebuah janji. Apa yang kita janjikan kepada mereka?

Sambutan dan kepedulian, kedekatan dan perhatian, kepercayaan dan harapan, juga merupakan janji-janji mendasar, yang dapat diringkas dalam satu kata: kasih. Kita menjanjikan kasih, yaitu kasih yang diungkapkan dalam sambutan, perhatian, kedekatan, perhatian, kepercayaan dan harapan, tetapi janji yang sesungguhnya adalah kasih. Inilah cara terbaik untuk menyambut manusia yang datang ke dunia, dan kita semua mempelajarinya, bahkan sebelum menyadarinya. Saya sangat senang melihat ayah dan ibu, ketika saya berada di antara kalian, membawa seorang bayi laki-laki, seorang bayi perempuan dan saya bertanya: “Berapa umurnya?” — “tiga minggu, empat minggu… saya mohon berkat Tuhan”. Ini juga disebut kasih. Kasih adalah janji yang dibuat oleh seorang pria dan wanita kepada setiap anak: sejak saat ia dikandung dalam pikiran mereka. Anak-anak datang ke dunia dan mereka mengharapkan janji ini untuk diteguhkan: mereka mengharapkannya dengan pasah, penuh kepercayaan, dan tak berdaya. Cukup dengan melihat mereka: apa pun suku. bangsa, budaya, dan semua kondisi kehidupan! Ketika yang sebaliknya terjadi, anak-anak terluka oleh sebuah “skandal”, oleh skandal yang tak tertahankan, yang lebih serius lagi karena mereka tidak memiliki sarana untuk menafsirkannya. Mereka tidak mampu memahami apa yang sedang terjadi. Allah waspada terhadap janji ini, sejak saat pertama. Apakah Anda ingat apa yang Yesus katakan? “Malaikat anak-anak mencerminkan tatapan Allah, dan Allah tidak pernah melupakan anak-anak” (lih. Mat 18:10). Celakalah mereka yang mengkhianati kepercayaan mereka, celakalah! Pengabaian mereka yang penuh kepercayaan terhadap janji kita, yang kepadanya kita berkomitmen sejak saat pertama, menghakimi kita.

Saya ingin menambahkan hal lain, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada semua orang tetapi juga dengan terus terang. Kepercayaan spontan anak-anak kepada Allah seharusnya tidak boleh mengecewakan, terutama ketika mungkin karena pra-anggapan tertentu (kurang lebih tidak sadar) bahwa kita (orang tuanya) sendirilah yang akan menggantikan-Nya. Relasi dengan Allah yang lembut dan misterius dengan jiwa anak-anak tidak boleh dilanggar. Relasi ini nyata, yang Allah kehendaki dan jaga. Sejak awal dilahirkan, anak-anak siap untuk merasa dicintai oleh Allah, mereka siap untuk ini. Begitu anak-anak dapat merasakan bahwa mereka dicintai, mereka juga merasa bahwa ada Allah yang mengasihinya.

Anak-anak, bayi yang baru lahir, mulai menerima karunia kualitas rohani cinta, bersamaan dengan makanan dan perawatan. Tindakan cinta melampaui pemberian nama pribadi, berbagi bahasa, niat di balik tatapan, serta senyuman. Dengan demikian mereka belajar bahwa keindahan relasi antar manusia berfokus pada jiwa kita, meminta kebebasan kita, menerima perbedaan orang lain, mengakui dan menghormati mereka sebagai lawan bicara. Mukjizat kedua, janji kedua: kami – Ibu dan ayah – memberikan diri kami kepada anak-anak, masing-masing kepada diri anda sendiri! Dan inilah kasih, yang mengandung percikan kasih Allah! Tetapi anda, para ayah dan ibu, yang memiliki percikan dari Tuhan ini yang anda berikan kepada anak-anak anda, anda adalah sarana cinta Allah dan ini indah, indah, indah!

Hanya apabila kita memandang anak-anak dengan mata Yesus, kita dapat benar-benar memahami bagaimana, dengan melindungi keluarga, kita menyelamatkan umat manusia! Sudut pandang anak-anak adalah sudut pandang Allah Putra. Gereja sendiri, dalam Baptisan, membuat janji besar kepada anak-anak. Dengan baptis, Gereja mempersatukan orang-tua dengan komunitas Kristiani. . Semoga Bunda Yesus yang kudus — yang melahirkan Allah Putra bagi kita, dikasihi dan dilahirkan sebagai seorang anak — membuat Gereja mampu mengikuti jalan keibuan dan iman. Semoga Santo Yosef — seorang pria saleh, yang menyambut dan melindungi, dengan berani menghormati berkat dan janji Allah — membuat setiap orang mampu dan layak untuk menyambut Yesus dalam setiap anak yang diutus Allah ke bumi.

Sabda Yesus hari ini sangat keras: “Celakalah dunia, karena skandal”. Yesus bersikap realistis dan berkata: “Tidak dapat dihindari bahwa skandal muncul, tetapi celakalah orang yang menyebabkan skandal itu terjadi.” Saya berharap bahwa sebelum memulai katekese, atas nama Gereja, saya memohon pengampunan atas skandal yang telah terjadi belakangan ini baik di Roma maupun di Vatikan. Saya memohon pengampunan dari anda.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 14 Oktober 2015)

32.
Kesetiaan pada Janji Cinta

Saudara dan Saudari terkasih, Selamat pagi!

Dalam renungan terakhir, kita merenungkan janji-janji penting orang tua kepada anak-anak, sejak mereka pertama kali dipikirkan dengan cinta dan dikandung di dalam rahim.

Setelah dicermati lebih dekat, kita dapat menambahkan bahwa seluruh kenyataan hidup keluarga didasarkan pada janji itu. Perhatikan dengan cermat: identitas keluarga didasarkan pada janji. Orang dapat mengatakan bahwa keluarga hidup di atas janji cinta dan kesetiaan yang dinyatakan oleh seorang pria dan seorang wanita. Janji ini termasuk komitmen untuk menyambut dan membesarkan anak-anak mereka; tetapi juga untuk merawat orang tua lanjut usia, melindungi dan merawat anggota keluarga yang paling lemah, saling membantu mengembangkan kualitas mereka dan menerima keterbatasan masing-masing. Janji suami-istri meluas hingga mereka dapat berbagi dalam suka dan duka, sebagai ayah, ibu, anak-anak, dengan sikap terbuka dan murah hati dalam kebersamaan hidup dan demi kebaikan bersama. Sebuah keluarga yang menutup diri itu sebuah kontradiksi, mematikan janji untuk melahirkan keluarga dan memungkinkan keluarga tersebut untuk hidup. Jangan pernah lupa: identitas keluarga selalu merupakan janji yang berkembang, dan janji itu meluas ke seluruh keluarga dan juga ke seluruh umat manusia.

Di zaman kita, menghormati kesetiaan pada janji kehidupan berkeluarga tampaknya sangat melemah. Di satu sisi, karena adanya pemahaman yang keliru menerapkan hak yang bertujuan untuk mencari kepuasan sendiri dengan cara apa pun dan dalam relasi apa pun. Pemahaman ini diagungkan sebagai prinsip kebebasan yang tidak dapat diubah. Di sisi lain, karena kendala yang dijumpai dalam kehidupan relasional dan komitmen untuk kebaikan bersama, maka terdapat sejumlah hal yang dipercayakan secara eksklusif pada persyaratan hukum. Namun pada kenyataannya, tidak ada yang ingin dicintai hanya karena aset mereka atau karena memiliki kendala. Cinta, serta persahabatan, berhutang pada kekuatan dan keindahan yang terkandung pada kenyataan ini: bahwa cinta dan persahabatan merupakan jalinan ikatan yang tidak mengekang kebebasan. Cinta itu cuma-cuma, janji keluarga itu cuma-cuma, dan inilah keindahannya. Tanpa kebebasan tidak ada persahabatan, tanpa kebebasan tidak ada cinta, tanpa persetujuan bebas tidak ada pernikahan. Dengan demikian, kebebasan dan kesetiaan tidak saling bertentangan, melainkan, keduanya saling mendukung, baik dalam relasi antar pribadi maupun relasi sosial. Sungguh marilah kita mencermati kerusakan yang ditimbulkan oleh eskalasi janji-janji yang tidak ditepati, yang banyak terjadi dalam konteks komunikasi budaya global, di berbagai bidang, serta pembenaran atas ketidaksetiaan terhadap janji yang telah dinyatakan dan komitmen yang sudah dibuat!

Saudara saudari terkasih, benar bahwa kesetiaan adalah janji komitmen yang terpenuhi dengan sendirinya, bertumbuh dalam ketaatan bebas terhadap kata yang sudah diberikan. Kesetiaan adalah bentuk kepercayaan yang “ingin” benar-benar dibagikan, dan harapan yang “ingin” dipupuk bersama. Berbicara tentang kesetiaan, terlintas dalam pikiran saya tentang apa pernah dikatakan oleh orang tua kita, kakek-nenek kita kepada kita: ‘Pada masa itu, ketika seseorang membuat kesepakatan, jabat tangan sudah cukup, karena ada kesetiaan pada janji yang dibuat.’ Dan ini juga, yang merupakan fakta sosial, berasal dari keluarga, dalam jabat tangan pria atau wanita, terkandung keinginan dan harapan untuk maju bersama, untuk menepatinya di sepanjang hidup mereka.

Kesetiaan pada janji adalah mahakarya kemanusiaan yang sejati! Jika kita melihat keindahan yang dinyatakan secara kuat dari kesetiaan pada janji, kita akan takut. Akan tetapi jika kita mengabaikan keuletan dan keberanian untuk setia pada janji, maka kita akan kalah. Tidak ada relasi cinta – tidak ada persahabatan, tidak ada bentuk cinta, tidak ada kebahagiaan yang diupayakan demi kebaikan bersama – dapat tercapai sesuai keinginan dan harapan kita, jika keajaiban ini tidak datang dan tinggal di dalam jiwa kita. Saya mengatakan “mukjizat” karena kuasa dan alasan untuk tetap setia, apa pun situasi dan kondisinya, pada akhirnya tidak membuat kita terpesona atau takjub. Sesungguhnya, menghormati janji yang diberikan, kesetiaan pada janji, tidak dapat dijualbelikan. Kesetiaan pada janji tidak dapat dipaksakan atau dilindungi tanpa pengorbanan.

Tidak ada sekolah lain yang bisa mengajarkan kebenaran cinta, jika keluarga tidak mengajarkannya. Tidak ada hukum yang dapat memaksakan keindahan dan warisan harta martabat manusia ini, jika ikatan pribadi antara cinta dan prokreasi tidak tertulis dalam daging kita.

Saudara saudari, perlu bagi kita untuk memulihkan kehormatan sosial kepada kesetiaan kasih: memulihkan kehormatan sosial pada kesetiaan kasih! Perlu bagi kita untuk menghilangkan penutupan mukjizat harian jutaan pria dan wanita yang mengulangi fondasinya dalam keluarga, yang darinya setiap masyarakat hidup, tanpa dapat menjaminnya dengan cara lain. Bukan kebetulan bahwa prinsip kesetiaan pada janji kasih dan kehidupan ini ditulis dalam ciptaan Allah sebagai berkat abadi, yang dipercayakan kepada dunia.

Jika Santo Paulus dapat menegaskan bahwa dalam ikatan keluarga secara misterius juga terungkap kebenaran yang menentukan dalam ikatan antara Tuhan dan Gereja, yang berarti bahwa Gereja sendiri menemukan bahwa dalam ikatan keluarga terdapat sebuah berkat yang harus dijaga, yang darinya kita harus selalu belajar, bahkan sebelum mengajarkannya dan mengaturnya. Kesetiaan kita pada janji selalu dipercayakan kepada kasih karunia dan belas kasihan Allah. Cinta untuk keluarga manusia, baik atau buruk, adalah titik kehormatan bagi Gereja! Semoga Allah membuat kita layak menerima janji ini. Marilah kita juga berdoa bagi para Bapa Sinode: Semoga Allah memberkati pekerjaan mereka, yang mereka kerjakan dengan kesetiaan yang kreatif, dengan keyakinan bahwa Ia, yang pertama, yang adalah Tuhan – Ia yang pertama! — setia pada janji-janji-Nya. Terima kasih.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 21 Oktober 2015)

33.
Ampunilah kami atas kesalahan kami

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Sidang Sinode Para Uskup, yang baru saja berakhir, merenungkan secara mendalam panggilan dan misi keluarga dalam kehidupan Gereja dan masyarakat kontemporer. Sinode para Uskup sungguh merupakan peristiwa penuh rahmat. Pada akhirnya, para Bapa Sinode menyerahkan kepada saya teks berikut kesimpulan mereka. Saya ingin teks ini diterbitkan, sehingga semua orang dapat membantu dalam pekerjaan yang telah kita tekuni selama dua tahun. Ini bukan saatnya untuk menganalisis kesimpulan ini, yang juga harus saya renungkan.

Namun, sementara itu, kehidupan tidak berhenti, khususnya kehidupan keluarga tidak berhenti! Anda, keluarga-keluarga terkasih, selalu melakukan perjalanan dan Anda terus-menerus menuliskan keindahan Injil keluarga dalam kehidupan nyata. Di dunia yang terkadang tandus akan kehidupan dan cinta, Anda berbicara setiap hari tentang pernikahan dan keluarga sebagai anugerah besar.

Seseorang tidak dapat hidup tanpa mencari pengampunan, atau setidaknya, seseorang tidak dapat hidup dengan damai, khususnya dalam keluarga. Kita melakukan kesalahan setiap hari. Kita harus memperhitungkan kesalahan-kesalahan ini, karena kelemahan dan keegoisan kita. Namun, yang diminta untuk kita lakukan adalah segera menyembuhkan luka-luka yang kita buat, untuk segera menjalin kembali ikatan yang putus dalam keluarga. Jika kita menunggu terlalu lama, segalanya menjadi lebih sulit. Ada rahasia sederhana untuk menyembuhkan luka dan menghindari saling menyalahkan. Rahasianya adalah: jangan biarkan hari berakhir tanpa meminta maaf, tanpa berdamai antara suami dan istri, antara orang tua dan anak-anak, antara saudara laki-laki dan perempuan… antara anak perempuan dan ibu mertua! Jika kita belajar untuk segera meminta maaf dan saling memaafkan, luka-luka itu akan sembuh, pernikahan akan tumbuh lebih kuat, dan keluarga akan menjadi rumah yang semakin kuat, yang dapat menahan guncangan dari kesalahan-kesalahan kita yang kecil atau besar. Itulah sebabnya tidak perlu berbicara panjang lebar, karena kepedulian saja sudah cukup: satu pelukan dan semuanya akan berakhir dan kita dapat memulai yang baru. Namun jangan akhiri hari dengan perang!

Jika kita belajar untuk hidup seperti ini dalam keluarga, kita juga dapat melakukannya di luar, di mana pun kita berada. Mudah untuk bersikap skeptis. Banyak orang — bahkan orang Kristen — menganggapnya berlebihan. Dikatakan: ya, itu adalah kata-kata yang bagus, tetapi tidak mudah untuk mempraktikkannya. Namun syukur kepada Tuhan, tidak demikian. Sesungguhnya, justru dengan menerima pengampunan dari Tuhan, kita pada gilirannya mampu mengampuni orang lain. Itulah sebabnya Yesus meminta kita untuk mengulang kata-kata ini setiap kali kita mengucapkan doa Bapa Kami, yaitu, setiap hari. Dan sangat penting bahwa, dalam masyarakat yang terkadang tidak kenal ampun-mengampuni, ada tempat, seperti keluarga, di mana kita belajar untuk saling mengampuni.

Sinode juga menghidupkan kembali harapan kita dalam hal ini: misalnya, bahwa kemampuan mengampuni dan mencari pengampunan merupakan bagian dari panggilan dan misi keluarga. Mempraktikkan pengampunan tidak hanya menyelamatkan keluarga dari perpecahan, tetapi juga membuat mereka mampu membantu masyarakat untuk tidak terlalu beku hatinya dan tidak terlalu kejam. Ya, setiap perbuatan mengampuni memperbaiki keretakan di dalam rumah dan memperkuat tembok-temboknya. Keluarga-keluarga terkasih, Gereja selalu berada di samping anda untuk membantu Anda membangun rumah Anda di atas batu karang yang Yesus bicarakan. Janganlah kita melupakan kata-kata ini yang langsung mendahului perumpamaan tentang rumah: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.” Dan Ia menambahkan: “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu…? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu” (Mat 7:21-23). Tidak diragukan lagi seruan itu adalah kata yang kuat, dengan tujuan mengguncang kita dan memanggil kita untuk bertobat.

Saya meyakinkan Anda, keluarga-keluarga terkasih, bahwa jika Anda mampu berjalan semakin teguh di jalan Sabda Bahagia, belajar dan mengajar untuk saling mengampuni, kapasitas untuk memberi kesaksian tentang kekuatan pembaruan pengampunan Allah akan tumbuh dalam seluruh keluarga besar Gereja. Sebaliknya, kita bahkan dapat menyampaikan khotbah-khotbah yang indah, dan mungkin mengusir beberapa setan, tetapi pada akhirnya Tuhan tidak akan mengakui kita sebagai murid-murid-Nya, karena kita tidak memiliki kapasitas untuk mengampuni dan meminta orang lain untuk mengampuni kita!

Keluarga-keluarga Kristen sejati dapat berbuat banyak bagi masyarakat masa kini, dan juga bagi Gereja. Karena alasan ini saya berharap agar dalam Yubileum Kerahiman, keluarga-keluarga dapat menemukan kembali harta karun berupa saling memaafkan. Marilah kita berdoa agar keluarga-keluarga semakin mampu mengalami dan membangun jalan rekonsiliasi yang praktis, di mana tidak seorang pun merasa terabaikan oleh beban utang-utangnya.

Dengan niat ini, marilah kita bersama-sama mengucapkan: “Bapa kami, ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni yang bersalah kepada kami”. [Marilah kita bersama-sama mengucapkan: “Bapa kami, ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga telah mengampuni orang yang bersalah kepada kami”].

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 4 November 2015)

34.
Keguyuban

Saudara-saudari terkasih, Selamat pagi!

Hari ini kita akan merenungkan tentang kualitas khas kehidupan keluarga yang dipelajari sejak tahun-tahun pertama kehidupan: Guyub, dengan kata lain sikap senang berbagi milik atau makanan pribadi serta menciptakan suasana kebersamaan yang menyenangkan.

Berbagi dan mengetahui cara berbagi adalah kebajikan yang sangat berharga! Simbolnya, “ikonnya”, adalah keluarga Ketika acara makan malam bersama. Berbagi makanan — dan dengan demikian, selain makanan, juga kasih sayang, cerita, dan peristiwa — adalah pengalaman yang umum. Ketika ada perayaan, ulang tahun, hari jadi, kita berkumpul di sekitar meja makan. Dalam beberapa budaya, hal itu juga merupakan kebiasaan untuk melakukannya pada saat-saat berkabung, agar dekat dengan mereka yang sedang kehilangan anggota keluarga.

Keguyuban adalah alat ukur bagi kesehatan relasi: jika dalam sebuah keluarga ada yang tidak beres, atau ada luka tersembunyi, hal itu langsung terlihat di meja makan. Keluarga yang jarang makan bersama, atau yang tidak berbicara di meja makan tetapi menonton televisi, atau melihat telepon pintar, adalah keluarga yang “hampir tidak memiliki kekeluargaan”. Ketika anak-anak asyik dengan komputer di meja makan, atau telepon genggam, dan tidak berbicara satu sama lain, ini bukan keluarga, ini seperti rumah kos.

Kekristenan memiliki karunia khusus untuk suasana, semua orang tahu ini. Tuhan Yesus dengan senang hati mengajar di meja makan, dan terkadang menggambarkan Kerajaan Allah sebagai perjamuan yang meriah. Yesus juga memilih waktu makan untuk menyerahkan kepada para pengikutnya kesaksian rohaninya — ia melakukannya saat makan malam — yang diwujudkan dalam gerakan peringatan Pengorbanan-Nya: pemberian Tubuh dan Darah-Nya sebagai Makanan dan Minuman yang menyelamatkan, yang memelihara kasih sejati dan abadi.

Dalam perspektif ini kita secara tepat dapat mengatakan bahwa keluarga ada di “rumah” karena Ekaristi membawa kesan tersendiri dengan keguyuban yang universal, cinta kasih Allah bagi seluruh dunia. Dengan ikut merayakan Ekaristi, dan memperluas ikatan persaudaraan bersama Kristus.

Di zaman kita, yang ditandai dengan begitu banyak ketertutupan dan terlalu banyak tembok, keguyuban yang diciptakan oleh keluarga dan diperluas oleh Ekaristi, menjadi sangat penting. Ekaristi dan keluarga yang terawat dengan baik dapat mengatasi ketertutupan dan membangun jembatan persatuan dan kasih. Ya, Ekaristi Gereja keluarga, yang mampu memulihkan ragi keguyuban dan keramahtamahan timbal balik yang efektif bagi komunitas, adalah sekolah inklusi manusia yang tidak takut akan konfrontasi! Tidak ada anak kecil, yatim piatu, yang tidak berdaya, terluka dan kecewa, putus asa dan terlantar, yang tidak dapat dipelihara, disegarkan, dilindungi, dan ditampung oleh keakraban ekaristi keluarga.

Mengingat kembali keutamaan keluarga membantu kita untuk memahaminya. Kita juga telah mengetahui dan masih tahu, keajaiban apa yang dapat terjadi ketika seorang ibu memusatkan pandangan dan perhatian, perlindungan dan perhatiannya kepada anak-anak orang lain, selain kepada anak-anaknya sendiri. Hingga saat ini, seorang ibu sudah cukup untuk semua anak di halaman! Sungguh, kita sangat menyadari kekuatan apa yang diperoleh oleh suatu bangsa ketika ayah-ayah siap untuk melindungi anak-anak siapa saja karena mereka menganggap anak-anak sebagai anugerah yang tidak terbagi, yang dengan senang hati dan bangga mereka lindungi.

Dewasa ini banyak konteks sosial yang menciptakan masalah bagi terciptanya suasana guyub dalam keluarga. Memang benar, saat ini hal itu tidak mudah. ​​Kita harus menemukan cara untuk memulihkannya. Di meja makan kita berbicara, di meja makan kita mendengarkan. Tidak ada keheningan; keheningan itu bukan keheningan pertapaan, tetapi keheningan egoisme, di mana setiap orang berfokus pada dirinya sendiri, atau televisi, atau komputer … dan tidak berbicara. Tidak, bukan keheningan. Penting untuk memulihkan suasana guyub keluarga itu dan menyesuaikannya dengan zaman. Saat guyub tampaknya telah menjadi sesuatu yang diperjualbelikan, tetapi dengan cara ini ia adalah sesuatu yang lain. Makanan tidak selalu mewakili bagi-bagi barang yang adil, yang dapat menjangkau mereka yang tidak memiliki roti atau kasih sayang. Di negara-negara kaya, kita diminta untuk membeli makanan secara berlebihan, dan sekarang kita perlu memperbaikinya sekali lagi. Dan “urusan” yang tidak berarti ini mengalihkan perhatian kita dari rasa lapar sejati tubuh dan jiwa. Ketika tidak ada keguyuban; yang ada keegoisan, setiap orang memikirkan dirinya sendiri. Terlebih lagi karena iklan telah mengarahkan orang untuk mendambakan makanan ringan dan menginginkan makanan manis. Sementara itu, begitu banyak saudara-saudari tidak memiliki akses ke meja makan. Sungguh memalukan!

Marilah kita melihat misteri Perjamuan Ekaristi. Tuhan memecah-mecah Tubuh-Nya dan mencurahkan Darah-Nya bagi semua orang. Sungguh, tidak ada perpecahan yang dapat menahan Kurban persekutuan ini; hanya sikap kepalsuan, keterlibatan dengan si jahat yang dapat menyingkirkan seseorang darinya. Tidak ada celah lain yang tidak dapat dipertahankan yang dapat menahan kekuatan Roti yang dipecah-pecahkan ini dan Darah yang tertumpah ini, Sakramen Tubuh Tuhan yang Satu. Perjanjian yang hidup dan penting dari keluarga-keluarga Kristen, yang mendahului, mendukung, dan merangkul dalam dinamika keguyuban, kerja keras dan sukacita setiap hari dan bekerja sama dengan rahmat Ekaristi, yang mampu menciptakan persekutuan yang selalu baru dengan kekuatannya yang mencakup dan menyelamatkan.

Justru dengan cara inilah keluarga Kristiani akan menunjukkan keluasan cakrawala sejatinya, yaitu cakrawala Gereja, Ibu seluruh umat manusia, semua yang terabaikan dan terpinggirkan, dalam semua bangsa. Marilah kita berdoa agar guyub keluarga ini dapat tumbuh dan matang dalam masa rahmat Yubileum Kerahiman yang akan datang.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 11 November 2015)

35.
Pintu yang Menyambut

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

Dengan renungan ini kita tiba di ambang pintu Yubelium, pintu itu sudah dekat. Pintu itu ada di hadapan kita, bukan hanya Pintu Suci, tetapi pintu lain: pintu agung Kerahiman Allah — dan itu adalah pintu yang indah! — yang merangkul pertobatan kita, menawarkan rahmat pengampunan-Nya. Pintu itu terbuka lebar, dibutuhkan sedikit keberanian dari pihak kita untuk melewati ambang pintu itu. Kita masing-masing memiliki beban di dalam diri kita sendiri. Kita semua adalah orang berdosa! Marilah kita memanfaatkan momen yang akan datang ini dan melewati ambang pintu kerahiman Allah yang tidak pernah lelah mengampuni, tidak pernah lelah menunggu kita! Dia mengawasi kita, Dia selalu berada di samping kita. Bersemangatlah! Marilah kita masuk melalui pintu ini!

Dari Sinode Para Uskup, yang kita rayakan bulan Oktober, semua keluarga dan seluruh Gereja menerima dorongan besar untuk bertemu di ambang pintu yang terbuka ini. Gereja didorong untuk membuka pintu-pintunya, untuk pergi keluar bersama Tuhan guna menemui putra-putrinya di jalan, terkadang tidak pasti, terkadang cemas, di masa-masa sulit ini. Keluarga-keluarga Kristen khususnya didorong untuk membuka pintu bagi Tuhan yang sedang menunggu untuk masuk, membawa berkat-Nya dan persahabatan. Dan sebagaimana pintu kerahiman Allah selalu terbuka, demikian pula pintu-pintu gereja kita, komunitas-komunitas kita, paroki-paroki kita, lembaga-lembaga kita, keuskupan-keuskupan kita, harus terbuka, karena dengan cara inilah kita semua dapat keluar untuk membawa kerahiman Allah ini. Yubelium menandakan pintu besar kerahiman Allah tetapi juga pintu-pintu kecil gereja-gereja kita, terbuka untuk memungkinkan masuknya Tuhan — atau sering kali keluarnya Tuhan — yang merupakan tawanan dari struktur-struktur kita, dari keegoisan kita dan begitu banyak hal.

Tuhan tidak pernah memaksa membuka pintu; Dia juga meminta izin untuk masuk. Kitab Wahyu mengatakan: “Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” (3:20). Mari kita bayangkan Tuhan sedang mengetuk pintu hati kita! Dalam penglihatan besar terakhir dari Kitab Wahyu, Kota Allah dinubuatkan seperti ini: “pintu-pintu gerbangnya tidak akan pernah ditutup pada siang hari”, yang berarti selamanya, karena “malam tidak akan ada lagi di sana” (21:25). Ada tempat-tempat di dunia di mana pintu-pintu tidak terkunci, masih ada. Tetapi ada begitu banyak tempat di mana pintu-pintu berlapis baja telah menjadi norma. Kita tidak boleh menyerah pada gagasan bahwa kita harus menerapkan sistem ini pada seluruh hidup kita, pada kehidupan keluarga, kota ini, masyarakat, apalagi pada kehidupan Gereja. Yang demikian akan mengerikan! Gereja yang tidak ramah, seperti keluarga yang tertutup dalam dirinya sendiri, mematikan Injil dan melenyapkan dunia. Tidak ada pintu berlapis baja di Gereja, tidak ada! Terbuka sepenuhnya!

Pengelolaan simbolis “pintu-pintu” — ambang pintu, lorong-lorong, batas-batas — telah menjadi sangat penting. Pintu tentu saja harus melindungi, tetapi tidak menolak. Pintu tidak boleh dipaksakan, tetapi sebaliknya, seseorang meminta izin, karena keramahtamahan bersinar dalam kebebasan menyambut, dan meredup dalam kesombongan penyerbuan. Pintu sering dibuka, untuk melihat apakah ada seseorang yang menunggu di luar, mungkin tanpa keberanian atau, kekuatan untuk mengetuk. Berapa banyak orang yang telah kehilangan iman, tidak memiliki keberanian untuk mengetuk pintu hati kita orang Kristen, di pintu-pintu gereja kita… Dan mereka ada di sana, mereka tidak memiliki keberanian, kita telah mengambil kepercayaan mereka: tolong, semoga ini tidak pernah terjadi. Sebuah pintu mengatakan banyak hal tentang rumah, dan juga tentang Gereja. Menjaga pintu membutuhkan penegasan (diskresi) yang cermat dan, pada saat yang sama, harus mengilhami iman yang besar. Saya ingin menyampaikan kata terima kasih kepada semua porter: dari kondominium kita, lembaga-lembaga sipil, Gereja-gereja itu sendiri. Sering kali keterampilan dan keahlian serta kesopanan seorang porter dapat memberikan gambaran tentang kemanusiaan dan sambutan hangat bagi seluruh rumah, langsung dari pintu masuk. Ada sesuatu yang dapat dipelajari dari para laki-laki dan perempuan ini, yang menjadi penjaga di tempat-tempat pertemuan dan sambutan hangat di kota manusia! Kepada kalian semua penjaga di banyak pintu, baik pintu rumah maupun pintu gereja, terima kasih banyak! Selalu dengan senyuman, selalu menunjukkan penerimaan terhadap rumah itu, Gereja itu, sehingga orang-orang merasa senang disambut di tempat itu!

Sebenarnya, kita amat sadar bahwa kita juga adalah penjaga dan pelayan Pintu Tuhan, dan apakah nama pintu Tuhan itu? Yesus! Dia menerangi semua pintu kehidupan bagi kita, termasuk pintu kelahiran dan kematian kita. Dia sendiri menegaskannya: “Akulah pintu; barang siapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh 10:9). Yesus adalah pintu yang memperbolehkan kita masuk dan keluar. Karena kandang domba Tuhan adalah tempat berlindung, bukan penjara! Rumah Tuhan adalah tempat berlindung, bukan penjara, dan pintu itu disebut Yesus! Jika pintunya tertutup, kita berkata: “Tuhan, bukalah pintunya!” Yesus adalah pintu dan memperbolehkan kita masuk dan keluar. Mereka yang mencoba menghindari pintu adalah pencuri: anehnya, pencuri selalu mencoba masuk melalui jalan lain, melalui jendela, melalui atap, tetapi mereka menghindari pintu, karena mereka memiliki niat jahat, dan mereka menyelinap ke dalam kandang domba untuk menipu domba dan memanfaatkan mereka. Kita harus masuk melalui pintu dan mendengarkan suara Yesus: jika kita mendengar nada suara-Nya, kita yakin, kita diselamatkan. Kita dapat masuk tanpa rasa takut dan keluar tanpa bahaya. Dalam wacana yang indah ini Yesus juga berbicara tentang penjaga gerbang, yang tugasnya adalah membuka pintu bagi Gembala yang Baik (lih. Yoh 10:2). Jika penjaga gerbang mendengar suara Gembala, ia membuka dan membiarkan masuk semua domba yang dibawa Gembala, semuanya, termasuk yang hilang di hutan, yang Gembala yang Baik pergi untuk mendapatkannya kembali. Domba-domba tidak dipilih oleh penjaga gerbang, mereka tidak dipilih oleh sekretaris paroki atau administrator paroki; semua domba dipanggil, mereka dipilih oleh Gembala yang Baik. Penjaga gerbang — ia juga — menaati suara Gembala. Dengan demikian, kita dapat mengatakan dengan baik bahwa kita harus seperti penjaga gerbang itu. Gereja adalah penjaga gerbang rumah Tuhan, ia bukanlah pemilik rumah Tuhan.

Keluarga Kudus dari Nazaret memahami dengan tepat apa arti pintu yang terbuka atau tertutup, bagi mereka yang sedang menantikan kelahiran seorang anak, bagi mereka yang tidak memiliki tempat berteduh, bagi mereka yang perlu melarikan diri dari bahaya. Keluarga-keluarga Kristiani menjadikan ambang pintu rumah mereka sebagai tanda besar Pintu kerahiman dan sambutan Tuhan. Begitulah tepatnya Gereja harus diakui, di setiap sudut bumi: sebagai penjaga Tuhan yang mengetuk, sebagai sambutan Tuhan yang tidak menutup pintu di hadapan Anda dengan alasan bahwa Anda bukan bagian dari keluarga itu. Dengan semangat ini marilah kita mendekati Yubileum: akan ada Pintu Kudus, tetapi ada Pintu Kerahiman Allah yang besar. Semoga juga ada pintu hati kita agar semua orang menerima pengampunan Tuhan dan memberi, pada gilirannya, pengampunan kita, menyambut semua orang yang mengetuk pintu kita.

(Audiensi Umum Lapangan Santo Petrus, Rabu 18 November 2015)