Home DOKUMEN GEREJA DIKASTERI Seri Dokumen Gerejawi No. 142: Pedoman Pastoral tentang Pelayanan Migran Lintas Budaya

Seri Dokumen Gerejawi No. 142: Pedoman Pastoral tentang Pelayanan Migran Lintas Budaya

17
Judul PEDOMAN PASTORAL TENTANG PELAYANAN MIGRAN LINTAS BUDAYA
DeskripsiBagian Migran dan Pengungsi Dikasteri untuk Memajukan Perkembangan Manusia Seutuhnya
Tanggal Terbit Dokumen24 Maret 2022
PenerjemahBernadeta Harini Tri Prasasti
HargaRp 25.000,-
Tebal Buku45 halaman
Ukuran Buku15 x 22 cm

PEDOMAN PASTORAL
TENTANG PELAYANAN MIGRAN LINTAS BUDAYA

KATA PENGANTAR

Pedoman Pastoral ini menawarkan usulan untuk pelayanan pastoral lintas budaya, yang secara konkret meneruskan undangan saya dalam Ensiklik Fratelli Tutti untuk mengembangkan suatu budaya perjumpaan. Saya mengundang Anda untuk membahas kembali gambaran polihedron, yang “menggambarkan sebuah masyarakat di mana perbedaan-perbedaan hidup berdampingan dengan saling melengkapi, saling memperkaya, dan saling menerangi […]. Sesungguhnya, kita bisa belajar sesuatu dari semua orang. Tak seorang pun tidak berguna, tak seorang pun tidak diperlukan.” (FT, 215)

“Kita semua berada di perahu yang sama.” Kita semua dipanggil untuk mengabdikan diri kita demi persaudaraan universal. Bagi umat Katolik, hal ini diwujudkan dengan menjadi semakin setia kepada ke-Katolik-an kita. Seperti saya tulis dalam Pesan untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia untuk ke-107, “dengan menjumpai keberagaman orang-orang asing, migran, pengungsi, dan dalam dialog lintas budaya yang dapat timbul dari perjumpaan ini, kita memiliki kesempatan untuk bertumbuh sebagai Gereja dan untuk saling memperkaya.”

Pada masa-masa krisis terbesar, seperti pandemi dan peperangan yang saat ini sedang kita alami, nasionalisme yang tertutup dan agresif (FT, 11) serta individualisme radikal (FT, 105) meretakkan atau memecah belah persatuan kita, baik di dunia maupun di dalam Gereja. Harga tertinggi dibayar oleh mereka yang pada akhirnya dicap sebagai “mereka” versus “kita”: orang-orang asing, para migran, serta kaum marginal yang mendiami pinggiran-pinggiran eksistensial. Dalam konteks ini, pedoman ini menawarkan “kita” yang selalu lebih luas, yang mengacu baik kepada seluruh keluarga manusia maupun kepada Gereja.

“Umat Katolik dipanggil untuk bekerja bersama, masing-masing di tengah-tengah komunitasnya sendiri, untuk membuat Gereja menjadi semakin inklusif.” Pedoman Pastoral ini mengajak kita untuk memperluas cara kita mengalami sebagai Gereja. Pedoman ini mendesak kita untuk melihat tragedi ketercerabutan akar yang panjang, untuk menyambut, melindungi, mengintegrasikan, dan mengembangkan saudara dan saudari kita, serta menciptakan kesempatan-kesempatan untuk bekerja bersama menuju persekutuan. Pedoman ini memberi kita peluang untuk menghayati Pentakosta baru di dalam lingkungan sekitar dan paroki-paroki kita, ketika kita dapat menyadari kekayaan spiritualitas serta tradisi liturgi mereka yang penuh semangat.

Hal ini juga menjadi suatu kesempatan untuk menjadi Gereja sinodal yang autentik, yang berjalan bersama, tidak terpaku pada cara-cara kita sendiri, tidak pernah mandek, tetapi menjadi Gereja yang “tidak membeda-bedakan antara penduduk asli dan orang asing, antara penghuni tetap dan tamu,” karena kita semua adalah para peziarah di bumi ini.

Kita dipanggil untuk bermimpi bersama. Kita tidak boleh takut untuk “bermimpi sebagai satu umat manusia, sebagai sesama pengembara yang memiliki raga manusiawi yang sama, sebagai anak-anak dari bumi yang sama yang menjadi tempat tinggal kita semua, masing-masing dengan kekayaan iman dan keyakinannya, masing-masing dengan suaranya sendiri, semuanya saudara dan saudari” (FT, 8). Usulan-usulan ini mengundang kita untuk memulai impian ini dari kenyataan konkret kita, yang meluas ke ujung-ujung bumi bagaikan sebuah tenda yang sangat besar, yang menyambut para saudara dan saudari migran dan pengungsi serta membangun Kerajaan Allah bersama-sama di dalam semangat persaudaraan universal.

Tuhan Yesus menyampaikan kepada kita bahwa setiap perjumpaan dengan seorang pengungsi atau migran adalah suatu kesempatan untuk menjumpai-Nya (bdk. Mat. 25:35). Roh Kudus-Nya memampukan kita menyambut setiap orang, dengan membina persekutuan dalam keberagaman, dan dengan menyelaraskan perbedaan-perbedaan tanpa pernah memaksakan keseragaman yang menghilangkan identitas pribadi. Komunitas-komunitas Katolik diundang untuk bertumbuh dalam sukacita perjumpaan dan untuk mengenali kehidupan baru yang dibawa oleh para migran.

Fransiskus
Vatikan, 3 Maret 2022

AKRONIM

CMUKomisi Kepausan untuk Reksa Pastoral Migran dan Perantau, The Church and Human Mobility, A Circular Letter to the Episcopal Conferences, 1978.  
EGFransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, Kota Vatikan 2013.  
EMCCDewan Kepausan untuk Reksa Migran dan Perantau, Erga migrantes caritas Christi, Kota Vatikan 2004.  
FTFransiskus, Ensiklik Fratelli Tutti, Kota Vatikan 2020  
LGKonsili Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, Kota Vatikan 1964.  
M&RBagian Migran dan Pengungsi dari Dikasteri untuk Mempromosikan Pengembangan Manusia Seutuhnya.  
PCPMKongregasi untuk Pendidikan Katolik, Pastoral Care of People on the Move in the Formation of Future Priests, Kota Vatikan 1986.  
RCSDewan Kepausan “Cor Unum” and Dewan Kepausan untuk Reksa Migran dan Perantau, Refugees: a Challenge to Solidarity, Kota Vatikan 1992.  
WCRDewan Kepausan “Cor Unum” and Dewan Kepausan untuk Reksa Migran dan Perantau, Welcoming Christ in Refugees and Forcibly Displaced Persons, Kota Vatikan 2013.

PENDAHULUAN

“Sangat perlu memberi perhatian dan mendekatkan diri kepada bentuk-bentuk baru kemiskinan dan kerentanan, di mana kita dipanggil untuk mengenali Kristus yang menderita, bahkan jika hal ini tampaknya tidak memberi kita manfaat nyata dan langsung […] Para migran memberikan tantangan khusus bagi saya, karena saya adalah imam dari sebuah Gereja tanpa perbatasan, Gereja yang menganggap dirinya ibu bagi semua. Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada setiap negara untuk memiliki keterbukaan murah hati yang akan mampu menciptakan bentuk-bentuk sintesis budaya baru tanpa perlu takut kehilangan identitas lokal. […]” (EG, 210)

Kita semakin menyadari bahwa seluruh dunia ditantang untuk bekerja bersama-sama untuk mengatasi kebutuhan dan hak-hak asasi manusia yang mendasar dari orang-orang yang terdampak akibat pemindahan paksa, baik secara internal maupun lintas batas. Saat ini Gereja Katolik diundang untuk menciptakan pendekatan baru bagi relasi manusia. Hal ini berawal dengan pengakuan bahwa kita adalah fratelli tutti, semua bersaudara dan bersaudari.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pesan Hari Migran dan Pengungssi Sedunia tahun 2021, sebagai Gereja kita dihadapkan dengan dua tantangan utama, yang pada saat yang sama menghadirkan kesempatan sekaligus merupakan misi – baik ad intra maupun ad extra.

Tantangan ad intra adalah bagaimana menghidupi katolisitas iman kita: suatu Gereja yang mampu melibatkan setiap orang dan mengakui bahwa setiap pribadi yang dibaptis di dalam Gereja Katolik merupakan anggota penuh darinya, di mana pun ia berada. Hal ini menuntut untuk menyambut kedatangan individu-individu Katolik dari pelbagai belahan dunia dan mengintegrasikan mereka ke dalam komunitas-komunitas lokal sebagai warga dan anggota yang setara, seperti yang kita dengar dengan jelas dari St. Paulus: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Efesus 2:19). Semua orang Katolik memiliki hak sebagai anggota penuh di dalam Gereja, yang dipahami sebagai warga yang aktif: hal ini berarti bertanggung jawab, mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, menjiwai liturgi, dan menjangkau komunitas-komunitas dengan religiositas serta ungkapan-ungkapan budaya khusus mereka masing-masing. Oleh karena itu, langkah pertamanya adalah memberi ruang, memperluas tenda sehingga semua diikutsertakan tanpa pembedaan atau pemisahan kelas-kelas, di mana semua orang dapat mempertahankan perbedaan-perbedaan mereka yang memperkaya komunitas, dengan model kekayaan Tritunggal: keesaan Allah yang di dalamnya terdapat tiga Pribadi.

Tantangan ad extra adalah bagaimana menjadi Gereja misioner yang sesungguhnya: menjangkau mereka yang membutuhkan bantuan, yang dibuang, yang dikucilkan, yang ditindas… semua diakui dan dipedulikan karena inilah perintah Tuhan. Dan melalui amal kasih dan cinta kasih untuk mendorong pertobatan hati, terutama di antara mereka yang berada di luar Gereja, baik karena pilihan yang telah mereka buat, atau karena mereka tidak pernah mendengar pesan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Ini adalah panggilan menjadi Gereja yang inklusif, di mana setiap manusia menerima pesan keselamatan dalam Yesus Kristus.

Ungkapan yang tampak dari kehidupan Gereja di dalam komunitas-komunitas tertentu yang konkret harus menggambarkan keberagaman para anggotanya. Para pendatang baru menantang kita untuk memikirkan kembali paroki: tidak mencontoh sebuah desa di mana setiap orang saling mengenal dan pendatang baru dipandang sebagai tambahan baru dari luar, tetapi menuju Gereja yang bergerak, selalu terbuka untuk menerima orang-orang lain. Hal ini bukanlah soal asimilasi, melainkan pengayaan dan jalan menuju transformasi seluruh anggota komunitas; bagi mereka yang datang di suatu Negara hendaknya tidak merasa seperti warga Negara kelas dua, tetapi sebagai bagian dari komunitas, “kita” yang unik sebagai anggota penuh dari Gereja.

Pedoman Pastoral tentang Pelayanan Migran Lintas Budaya bertujuan untuk menawarkan usulan-usulan dan bimbingan konkret untuk tindakan yang dapat diungkapkan dengan empat kata kerja: menerima, melindungi, mengembangkan dan mengintegrasikan. Dengan keempat kata kerja ini Bapa Suci merangkum komitmen Gereja Katolik terhadap semua orang yang hidup di pinggiran-pinggiran eksistensial. Karena “hal ini bukanlah soal melaksanakan program-program kesejahteraan dari atas ke bawah, melainkan melakukan perjalanan bersama, melalui keempat tindakan ini, untuk membangun kota-kota dan desa-desa yang, sembari melestarikan identitas budaya dan agama masing-masing, terbuka pada perbedaan dan tahu bagaimana mengembangkannya dalam semangat persaudaraan manusiawi.”[1]

1. MENGENALI DAN MENGATASI KETAKUTAN

“Akulah Allah, Allah ayahmu, janganlah takut pergi ke Mesir, sebab Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar di sana.” (Kejadian 46:3)

Rasa takut adalah teman yang paling alami dalam perjalanan manusia dan komunitas menuju situasi dan lingkungan baru. Dapat dipahami bahwa Mesir, yang mewakili hal yang tidak dikenal, membuat Yakub takut meskipun ada banyak peneguhan bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik. Diharapkan bahwa rasa takut, yang dapat menimbulkan persepsi negatif dan penolakan untuk berjumpa dengan orang lain, tidak dibesar-besarkan, tetapi dipertimbangkan dengan baik dan kemudian diatasi berkat campur tangan Allah yang selalu penuh perhatian.

Tantangan

Persepsi negatif tentang para migran dan pengungsi menjadi penghalang untuk secara efektif menerima banyak saudari dan saudari yang rentan, yang sedang berpindah-pindah. Persepsi yang keliru tentang orang asing sebagai ancaman terhadap keamanan politik dan ekonomi sering kali menyebabkan masyarakat lokal merasa takut terhadap orang lain, termasuk para migran dan pengungsi, dengan meningkatkan sikap-sikap intoleran dan xenophobia.

Tanggapan

Gereja Katolik dipanggil untuk membantu masyarakat lokal untuk memahami dengan benar fenomena migrasi dan memastikan lingkungan yang kondusif untuk saling berjumpa. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut:

  1. Menangani ketakutan masyarakat dan membantu mereka untuk mengatasi kekhawatiran mereka dengan meningkatkan pengetahuan mereka tentang migran dan pengungsi, kisah mereka, akar permasalahan, serta dampak migrasi mereka.

Dengan bantuan para pekerja sosial dan pastoral, penduduk lokal hendaklah disadarkan tentang kompleksitas masalah migrasi dan perlunya melawan kecurigaan tanpa dasar serta prasangka yang menyinggung perasaan terhadap orang-orang asing.[2]

  1. Melibatkan media dalam mempublikasikan praktik-praktik baik dalam penerimaan dan keramahtamahan, serta kisah-kisah migran dan pengungsi yang berhasil memberikan sumbangan bagi pengembangan manusia seutuhnya pada komunitas-komunitas tuan rumah.

Media komunikasi memiliki peran dengan tanggung jawab yang sangat besar terkait hal ini: sesungguhnya tergantung pada merekalah untuk mematahkan stereotip dan memberikan informasi yang benar dalam melaporkan kesalahan-kesalahan segelintir orang dan kejujuran, ketulusan serta kebaikan kebanyakan orang. […] Media komunikasi sendiri dipanggil untuk melakukan “perubahan sikap” dan mengembangkan perubahan ini dalam cara-cara memperlakukan para migran dan pengungsi.[3]

  1. Menggunakan bahasa yang positif dalam wacana publik mengenai para migran dan pengungsi serta penyerbarluasan argumen berbasis penelitian yang kuat melawan penyajian yang keliru.

Media informasi memiliki peran penting untuk dimainkan dalam pembentukan pendapat umum dan bertanggung jawab dalam penggunaan terminologi yang tepat, khususnya dalam hal yang menyangkut para pengungsi, pencari suaka, serta bentuk-bentuk migrasi lainnya.[4]

  1. Menumbuhkan empati dan solidaritas dengan para migran dan pengungsi, agar diakui sebagai saudara dan saudari, pembawa martabat manusia yang sama dan mitra pelaku utama dalam membangun kita yang lebih luas di dalam masyarakat serta mendorong ungkapan penuh akan persaudaraan Kristiani di dalam Gereja.

Saya ingin mengajak Anda kepada kesadaran yang semakin mendalam akan misi Anda: melihat Kristus dalam setiap saudara dan saudari yang membutuhkan, untuk mewartakan dan membela martabat setiap migran, setiap orang yang terpaksa pindah serta setiap pengungsi. Dengan demikian, bantuan yang diberikan tidak akan dianggap sebagai amal kasih yang berasal dari kebaikan hati kita, tetapi sebagai tindakan keadilan yang selayaknya bagi mereka.[5]

  1. Melibatkan remaja dan orang muda yang terbiasa berpikiran terbuka serta cenderung memiliki persepsi yang lebih simpatik terhadap para migran dan pengungsi, terhadap perubahan nyata narasi migrasi.

Membantu orang-orang muda untuk bertumbuh dalam budaya dan dalam perjumpaan, agar mampu menjumpai orang-orang yang berbeda, aneka perbedaan, dan bertumbuh dengan perbedaan-perbedaan: inilah cara kita bertumbuh, dengan perbandingan, dengan perbandingan yang baik.[6]

2. MENGEMBANGKAN PERJUMPAAN

“Maka mereka, yang berjalan di depan, menegor dia supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: ‘Anak Daud, kasihanilah aku!’” (Lukas 8:39)

Orang buta dari Yeriko ingin menjumpai Yesus, tetapi ada orang-orang yang berupaya menghentikannya. Ia tidak membiarkan orang-orang ini mematahkan semangatnya untuk melakukan perjumpaan ini, tetapi ia berteriak lebih keras supaya didengar Yesus. Kita hidup dalam konteks di mana perjumpaan sering dihindari; hal ini juga dihalangi oleh orang-orang yang ingin mempertahankan status quo atau, bahkan lebih buruk lagi, untuk menyulut konflik; atau di mana orang-orang berusaha membungkam suara-suara orang-orang yang terpinggirkan, dengan mengucilkan mereka dari perjumpaan-perjumpaan yang membangun komunitas. Mendorong perjumpaan berarti mengupayakannya “lebih keras” dengan menciptakan kesempatan-kesempatan di mana semua suara, terutama suara orang-orang yang paling rentan, dapat didengar.

Tantangan

Komunitas-komunitas Katolik acapkali mendapati diri mereka tidak siap dan bingung karena kedatangan banyak migran dan pengungsi. Sebaliknya, para migran dan pengungsi menemukan kesulitan untuk berintegrasi dengan warga lokal, sehingga terpaksa menciptakan zona nyaman dan ghetto.

Tanggapan

Gereja Katolik dipanggil untuk membangun jembatan antara komunitas-komunitas lokal dan para pendatang, dengan mengembangkan ‘budaya perjumpaan’ sejati. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan seperti:

  1. Melibatkan secara proaktif dalam mengatasi kesenjangan dan mendorong perubahan budaya dari budaya membuang kepada budaya kepedulian dan perjumpaan sebagai unsur penting dari kehidupan komunitas.

Umat Kristiani, yang kuat dalam kepastian iman mereka, harus menunjukkan bahwa dengan menempatkan martabat pribadi manusia dengan segala kebutuhannya di tempat pertama, rintangan-rintangan yang ditimbulkan oleh ketidakadilan akan mulai runtuh.[7]

  1. Menjunjung tinggi pemahaman migrasi sebagai fenomena global yang saling terhubung yang menghasilkan kesempatan-kesempatan untuk memperkaya perjumpaan dan perkembangan budaya bagi semua orang yang terlibat.

Penyejajaran sederhana dari kelompok-kelompok migran dan warga lokal cenderung memicu ketertutupan timbal balik antar budaya, atau terbentuknya relasi, di antara mereka, yang hanya bersifat dangkal atau toleran. Sebaliknya, kita harus mendorong tumbuh suburnya budaya timbal balik. Hal ini mengandaikan pengetahuan dan keterbukaan satu sama lain antar budaya, dalam konteks pemahaman dan kemurah-hatian sejati.[8]

  1. Mempersiapkan orang-orang untuk perjumpaan yang memberi kehidupan, yang bermanfaat bagi semua tempat dalam pendidikan Katolik: sekolah, kelas katekismus, kelompok orang muda, pembinaan iman, dan lain-lainnya.

Orang-orang hidup bakti, komunitas-komunitas, perkumpulan-perkumpulan awam, serta gerakan-gerakan gerejawi serta para pekerja pastoral hendaklah terutama merasa bertanggung jawab mendidik umat Kristiani untuk penerimaan, solidaritas, serta keterbukaan terhadap orang-orang asing, sehingga migrasi dapat menjadi faktor yang semakin “signifikan” bagi Gereja, dan umat beriman dapat menemukan semina Verbi (benih-benih Sabda) yang terdapat di berbagai budaya dan agama.[9]

  1. Mendorong paroki-paroki untuk menciptakan ruang-ruang perjumpaan di mana baik warga lokal maupun para pendatang memiliki kesempatan untuk membagikan pengalaman mereka dan merayakan keragaman budaya mereka: misalnya, acara-acara olah raga, pesta, acara-acara sosial lainnya. Mengingat kepekaan dan kebutuhan khusus mereka, hendaklah dikembangkan program-program pastoral khusus bagi orang muda setempat dan orang muda pendatang.

Dengan demikian, Gereja-gereja partikular dipanggil demi Injil untuk menerima dengan lebih baik para migran melalui prakarsa-prakarsa pastoral yang mencakup pertemuan-pertemuan serta berdialog dengan mereka, juga membantu umat beriman mengatasi prasangka dan bias.[10]

  1. Melatih para petugas pastoral sebagai “para pembangun jembatan,” para penggerak dialog yang memperkaya dan berbagi di antara warga lokal dan para pendatang. Hal ini dapat dimulai dengan menjalin relasi dengan para pendatang di dalam wilayah paroki dan mengajak mereka untuk menjadi para anggota aktif komunitas setempat.

Setiap upaya yang dibuat untuk membangun jembatan antara komunitas gerejawi, paroki dan keuskupan, serta antara konferensi-konferensi episkopal Anda, akan menjadi suatu gestur kenabian di pihak Gereja, yang, di dalam Kristus, menjadi “tanda dan sarana persekutuan dengan Allah dan persatuan seluruh bangsa manusia” (Lumen Gentium 1).[11]

3. MENDENGARKAN DAN BERBELA RASA

“Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis.” (Roma 12:15)

Mendengarkan dengan benar selalu merupakan latihan simpati dan empati, yang berarti bahwa pribadi yang mendengarkan harus belajar memperhatikan orang yang membagikan pengalamannya, dan bahwa pengalaman manusiawi itu harus menggema di dalam hati orang. Sikap merasakan dan peduli terhadap dan dengan sesama inilah yang menghubungkan orang-orang dan menciptakan komunitas manusiawi yang berbela rasa.

Tantangan

Karena kecurigaan atau ketidaksiapan, komunitas Katolik setempat bisa gagal mendengarkan pengalaman dan kebutuhan, ketakutan dan aspirasi para migran dan pengungsi, yang menghalangi empati dan belarasa yang dibutuhkan agar membuat perjumpaan dengan mereka menjadi bermakna dan memperkaya.

Tanggapan

Mengingat setiap kesempatan untuk menjumpai para migran dan pengungsi yang membutuhkan sebagai kesempatan unik untuk menjumpai Yesus Kristus sendiri (bdk. Mat. 25:32) dan melaksanakan perintah kasih, Gereja Katolik dipanggil untuk bersemangat mendengarkan mereka dan tumbuh dalam belarasa. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan berikut ini:

  1. Mengembangkan di dalam komunitas-komunitas Katolik setempat budaya kepedulian terhadap para migran dan pengungsi yang sangat terluka, dengan perhatian khusus kepada anak-anak.

“Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Mrk. 9:37; bdk. Mat. 18:5; Luk. 9:48; Yoh. 13:20). Dengan kata-kata ini, para pewarta Injil mengingatkan komunitas Kristiani akan ajaran Yesus, yang menginspirasi sekaligus menantang. Kalimat ini menelusuri jalan pasti yang menuntun kepada Allah.[12]

  1. Mengajak umat paroki, teristimewa remaja dan orang muda, untuk secara personal terlibat dalam program-program bantuan yang melayani para migran dan pengungsi yang membutuhkan, untuk memupuk empati dan bela rasa.

Para imam, para religius laki-laki dan perempuan, umat awam, dan terutama orang-orang muda harus peka dalam memberikan dukungan kepada banyak saudari dan saudara mereka yang, setelah melarikan diri dari kekerasan, harus menghadapi gaya hidup baru dan kesulitan berintegrasi. Warta keselamatan di dalam Yesus Kristus akan menjadi sumber penghiburan, pengharapan dan “sukacita penuh” (bdk. Yoh 15:11).[13]

  1. Memasukkan keterampilan konseling dan mendengarkan sebagai bagian dari pelatihan para petugas pastoral untuk pelayanan migran.

Oleh karena itu, perlulah agar sejak awal di seminari-seminari, “pembinaan spiritual, teologis, hukum dan pastoral… diarahkan menuju permasalahan yang timbul dari reksa pastoral bagi orang-orang yang berpindah.”[14]

  1. Mendorong para profesional kesehatan dan sosial Katolik untuk mengembangkan pelayanan khusus bagi para migran dan pengungsi yang membutuhkan dan menawarkan pelatihan bagi petugas pastoral sebagai bagian dari misi mereka.

Para sosiolog, psikolog, antropolog, ekonom, ahli hukum dan kanonis, moralis, serta teolog akan berkumpul bersama dan – dengan membandingkan pengetahuan serta pengalaman mereka bersama dengan mereka yang memelihara jiwa-jiwa – akan berkontribusi pada pemahaman lebih jauh tentang fenomena tersebut dan mengusulkan cara-cara yang sesuai untuk mengatasinya.[15]

4. MENGHIDUPI KATOLISITAS KITA

“Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.” (Kis. 10:28)

Petrus, didorong oleh Roh dan atas undangan perwira Romawi Kornelius, secara terbuka mengakui anggapannya bahwa orang-orang yang berasal berbagai bangsa dan agama harus dihindari. Namun, ia juga secara terbuka mengakui bahwa Allah telah menunjukkan kepadanya suatu jalan yang baru dan berbeda: jalan yang mengundang bangsa bukan Yahudi untuk mengambil bagian dalam keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus dan dihayati dalam kekatolikan sepenuhnya di dalam Gereja. Inilah jalan yang dari sejak saat itu Gereja, yang ditopang oleh Roh, dipanggil untuk mengikutinya.

Tantangan

Kecenderungan terhadap keseragaman dan retorika nasionalistik yang sudah diatur sebelumnya di beberapa komunitas Katolik lokal bertentangan dengan makna sejati Gereja, yang pada dasarnya bersifat universal, yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai bahasa dan tradisi. Kecenderungan ini menyebabkan perpecahan dan membahayakan upaya-upaya untuk mengembangkan ungkapan autentik persekutuan universal Gereja.

Tanggapan

Gereja Katolik dipanggil untuk memahami keberagaman para anggotanya sebagai sebuah kekayaan yang harus dihargai, sebagai kesempatan untuk semakin tampak “katolik” dan juga sebagai karunia yang harus dirayakan dengan liturgi-liturgi semarak yang menghargai berbagai tradisi budaya. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan dan perenungan seperti berikut ini:

  1. Meningkatkan pemahaman Gereja sebagai persekutuan dalam keberagaman, dalam gambaran Allah Tritunggal, serta memupuk pemahaman Gereja sebagai ibu dari semua, satu rumah dan satu keluarga bagi semua orang yang dibaptis.

Berkat ciri kekatolikan itu setiap bagian Gereja menyumbangkan kepunyaannya sendiri kepada bagian-bagian lainnya dan kepada seluruh Gereja. Dengan demikian, Gereja semesta dan tiap-tiap bagiannya berkembang, karena semuanya saling berbagi dan serentak menuju kepenuhannya dalam kesatuan.[16]

  1. Merangkul keberagaman ungkapan budaya dan agama yang autentik dalam komunitas-komunitas Katolik setempat sebagai suatu kesempatan untuk belajar dari tradisi-tradisi yang berbeda dan menumbuhkan penghargaan lintas budaya melalui komunikasi yang kreatif.

Gereja, sakramen persatuan, mengatasi rintangan-rintangan dan perpecahan-perpecahan ideologis atau rasial serta menyatakan kepada semua bangsa dan semua budaya perlunya memperjuangkan kebenaran dalam perspektif untuk menghadapi perbedaan-perbedaan secara benar melalui dialog dan saling menerima. Identitas budaya yang berbeda-beda, dengan demikian, harus membuka diri terhadap jalan pemahaman universal, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur positifnya sendiri, tetapi menempatkannya untuk melayani seluruh umat manusia. Meskipun logika ini melibatkan setiap Gereja partikular, hal itu menegaskan dan mengungkapkan bahwa persatuan dalam keberagaman yang dikontemplasikan di dalam Tritunggal yang, pada gilirannya, mengacu pada persekutuan semuanya demi kepenuhan kehidupan pribadi setiap orang.[17]

  1. Menjamin adanya ruang-ruang yang memadai untuk perayaan liturgi dan mengajak umat beriman untuk mengambil bagian dalam pelbagai perayaan supaya menghargai kekayaan spiritualitas dan tradisi-tradisi Katolik.

Persatuan Gereja tidak diberikan oleh asal usul dan bahasa yang sama, tetapi oleh Roh Pentakosta yang, dengan menyatukan laki-laki dan perempuan dari bahasa dan bangsa yang berbeda ke dalam satu umat, menganugerahkan kepada mereka semua iman dalam Tuhan yang sama dan panggilan kepada pengharapan yang sama.[18]

  1. Penyediaan reksa pelayanan pastoral yang memadai – pelayan-pelayan, struktur-struktur, serta program-program untuk semua umat beriman dari berbagai latar belakang etnis – harus selalu dipahami sebagai langkah pertama dari proses integrasi jangka panjang yang bertujuan membangun persekutuan dalam keberagaman.

Konferensi-konferensi episkopal diminta agar, mengingat banyaknya jumlah migran dan orang-orang dalam perjalanan pada saat ini, mereka menugasi seorang imam yang ditunjuk untuk tujuan ini atau sebuah komisi khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan studi dan arah pelayanan rohani orang-orang ini.[19]

  1. Menyelenggarakan pelatihan khusus untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi para pelayan dan petugas pastoral demi mendukung pelaksanaan poin-poin di atas.

Persiapan khusus merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari, karena sifat maupun keampuhan karya pastoral semacam ini. […]  Kita melihat dengan makin jelas perlunya pembinaan rohani, teologis, yuridis dan pastoral di seminari-seminari serta berbagai novisiat bagi para imam masa depan agar diarahkan pada masalah-masalah yang timbul dari reksa pelayanan pastoral orang-orang yang berpindah-pindah.[20]

  1. Melatih para seminaris untuk melayani Gereja yang bersifat katolik dan semakin universal dalam ungkapan penghayatannya, dengan memasukkan modul-modul khusus dalam studi teologi mereka untuk meningkatkan kemahiran mereka dalam bahasa-bahasa yang digunakan oleh umat beriman, serta mendorong pengalaman pastoral mereka di negara-negara asal para migran.

Pelayanan kepada orang-orang yang bermigrasi sungguh akan berhasil jika hal itu dilakukan oleh orang-orang yang mengenal mereka semua dengan baik (antara lain: mentalitas, pemikiran, budaya, serta kehidupan rohani) dan yang sepenuhnya mahir berbahasa masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, ditegaskan manfaat yang sudah jelas dari memperhatikan orang-orang yang bermigrasi melalui para imam yang berbahasa mereka sendiri dan hal ini menunjukkan kegunaannya sejauh ini.[21]

5. MEMAHAMI PARA MIGRAN SEBAGAI SUATU BERKAT

“Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” (Ibrani 13:2)

Rahmat Allah sering kali dialami dalam cara-cara yang mengejutkan dan tak terduga. Surat kepada orang-orang Ibrani yang merujuk kepada perjumpaan Abraham dan Sarah dengan tiga orang di Mamre (Kejadian 18), menegaskan kembali bahwa para peziarah dan orang-orang asing bisa menjadi wadah dan pembawa rahmat Allah, Maka, pentinglah menyambut orang-orang yang berpindah-pindah dan para migran agar terhubung dengan saluran berharga ini yang melaluinya Allah ingin memperkaya dan menyegarkan kembali komunitas-komunitas kita.

Tantangan

Di negara-negara dengan arus masuk imigrasi yang besar, banyak komunitas Katolik memiliki jumlah migran yang besar. Dalam beberapa kasus, hampir semua umat paroki adalah para pendatang. Terlebih lagi, di beberapa keuskupan, keberlangsungan pelayanan sakramental dan pastoral sudah bergantung pada para imam yang datang dari luar negeri. Meskipun demikian, jarang hal ini dipahami sebagai sebuah berkat, sebagai kesempatan yang tepat untuk membangkitkan kembali kehidupan gerejawi, terutama di mana, karena sekularisme, kekeringan rohani meningkat dengan sangat buruk.

Tanggapan

Gereja Katolik dipanggil untuk memahami dan menghargai peluang-peluang yang ditawarkan para migran Katolik sebagai cara untuk membawa kehidupan baru bagi komunitas-komunitas lokal. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut:

  1. Mengakui kehadiran para migran di komunitas-komunitas Katolik dan meningkatkan pemahaman akan kehadiran semacam itu sebagai berkat dan kesempatan untuk membuka rahmat Allah yang dapat menggairahkan kehidupan menggereja, karena para migran dapat menjadi para pelaku/pembawa dinamika baru yang menyegarkan.

Kekhasan para migran merupakan seruan bagi kita untuk menghidupi kembali persaudaraan Pentakosta, ketika perbedaan-perbedaan diselaraskan oleh Roh dan cinta kasih menjadi autentik dengan menerima satu sama lain. Dengan demikian, pengalaman migrasi dapat menjadi pewartaan misteri Paskah, di mana kematian dan kebangkitan menciptakan umat manusia baru yang di dalamnya tidak ada lagi hamba atau orang asing (bdk. Galatia 3:28).[22]

  1. Memberdayakan para migran agar mampu mengenali kekayaan mereka sendiri sebagai sumbangan berharga bagi kehidupan komunitas-komunitas lokal, dengan menawarkan keterampilan-keterampilan serta keahlian yang diperoleh di komunitas-komunitas asal mereka.

[…] Banyak migran telah memainkan peran penting dalam misi ini sejak awal mula. Para migran merupakan para misionaris pertama yang mendukung karya para rasul di wilayah-wilayah Yudea dan Samaria. Migrasi telah selalu berfungsi sebagai alat untuk meneruskan iman sepanjang sejarah Gereja dan di dalam evangelisasi ke seluruh Negara. Sering kali berkembangnya komunitas-komunitas Kristiani berawal sebagai koloni-koloni kecil migran yang, di bawah kepemimpinan seorang imam, berkumpul di bangunan-bangunan sederhana untuk mendengarkan Sabda Allah dan untuk memohon kepada-Nya keberanian untuk menghadapi pencobaan serta pengorbanan kehidupan mereka yang sulit.[23]

  1. Menyiapkan para migran Katolik untuk menjadi para misionaris sesungguhnya di negara-kegara kedatangan, menjadi saksi-saksi iman mereka dan para pewarta Injil. Misi semacam itu harus diketahui, dikembangkan, serta didukung melalui kerja sama efektif antar gereja.

Para pengungsi dan orang-orang yang terpaksa pindah memiliki potensi besar untuk evangelisasi […] sehingga perlulah membangun kesadaran dan menyediakan bagi mereka pembinaan yang diperlukan, pertama-tama dengan menerangkan kepada mereka nilai kesaksian, tanpa mengesampingkan pewartaan eksplisit yang mempertimbangkan situasi dan keadaan, yang sepenuhnya menghormati orang lain dalam segala hal.[24]

  1. Mendorong peran serta aktif para migran Katolik dalam kehidupan paroki-paroki setempat, dengan melibatkan mereka dalam dewan-dewan pastoral paroki, dewan-dewan keuangan, serta tanggung jawab pastoral lainnya.

Para migran hendaklah memandang diri mereka sendiri tidak hanya sebagai penerima perhatian Gereja, tetapi juga sebagai penyumbang aktif terhadap misinya. Pada saat Gereja berusaha mengurangi kesulitan-kesulitan yang mereka jumpai dalam menghidupi komitmen mereka kepada Kristus di lingkungan yang baru, terutama pada tahap awal pemukiman mereka, hal itu mendorong mereka untuk terlibat dalam kehidupan dan misi Gereja.[25]

  1. Mengusulkan struktur-struktur pastoral baru untuk menanggapi secara lebih efektif bertambahnya kehadiran para migran, yaitu, paroki-paroki lintas budaya, di mana program-program pastoral bertujuan untuk membangun satu komunitas yang diperkaya dengan keberagaman.

Pelayanan pastoral yang terpadu di sini harus dipahami terutama sebagai persekutuan yang mengetahui bagaimana menghargai keanggotaan berbagai budaya dan bangsa. […] berdasarkan hal ini kita dapat mengusulkan paroki lintas budaya dan lintas etnis atau lintas ritual, yang menyediakan bantuan pastoral bagi penduduk lokal maupun orang asing yang tinggal di wilayah yang sama. Dengan demikian, paroki teritorial tradisional akan menjadi tempat istimewa dan stabil bagi pengalaman lintas etnis dan lintas budaya, sedangkan kelompok-kelompok individu tetap dapat mempertahankan otonomi tertentu.[26]

  1. Mengembangkan program-program kateketik dan pastoral yang inovatif yang memperhitungkan kehadiran penting anak-anak dan orang muda generasi kedua serta dinamika antar budaya yang dapat mereka tingkatkan di dalam komunitas-komunitas lokal.

Kami berharap agar anak-anak dan orang muda migran dan imigran mendapat perhatian khusus karena mereka berdiri di antara dua budaya, terutama dengan memberi mereka kesempatan untuk memimpin dan melayani di dalam komunitas dan mendorong panggilan khusus di antara mereka.[27]

  1. Menawarkan pelatihan khusus bagi para imam asing yang melayani komunitas-komunitas setempat untuk memberdayakan mereka agar menjadi para pendamping yang terampil untuk pengintegrasian yang menyegarkan antara umat beriman setempat dan pendatang baru.

Kerja sama yang hati-hati dan murah hati antar keuskupan penting untuk menyediakan para imam dan para religius yang cocok untuk pelayanan vital ini. Pedoman-pedoman untuk pelatihan dan penerimaan mereka oleh keuskupan tuan rumah harus dikembangkan secara bersama-sama dengan keuskupan yang mengutus mereka. Selama mereka tinggal di keuskupan tuan rumah, para imam serta para religius internasional layak mendapat arahan yang menyeluruh dan hati-hati serta penerimaan yang ramah.[28]

  1. Melatih para pelayan dan para seminaris agar mampu melaksanakan poin-poin di atas.

Persiapan ini harus berdasarkan pada ungkapan penerimaan yang profetis, prinsip injili tentang persaudaraan Kristiani, landasan teologis tentang hak-hak asasi manusia dan keyakinan mutlak akan martabat manusia. Maka, jelaslah bahwa pelatihan yang termotivasi tersebut menjadi cara terbaik yang memungkinkan untuk menjamin bahwa petunjuk-petunjuk Gereja yang berpihak pada para emigran, dari agama, budaya serta latar belakang sosial apa pun mereka, harus dilaksanakan dengan segera dan dengan semangat imamat sejati.[29]

6. MEMENUHI MISI EVANGELISASI

“Jadi jika Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus, bagaimanakah mungkin aku mencegah Dia?” (Kis. 11:17)

Allah Bapa, melalui Roh Kudus, menawarkan kepada semua orang, tanpa kecuali, karunia-karunia iman, harapan dan kasih yang memberi kehidupan di dalam Yesus. Gereja tidak boleh menghalangi misi Allah dengan mempersempit tawaran universal ini atas nama prinsip-prinsip agama atau etnosentris yang menyimpang. Misi ini milik Allah, dan Dia telah memberikan misi ini kepada Gereja. Gereja memenuhi misinya ketika ia mengikuti bimbingan Roh Kudus dalam mewartakan Injil kepada segala bangsa.

Tantangan

Banyak komunitas Katolik memandang kedatangan para migran dan pengungsi yang beriman lain atau tanpa iman sebagai suatu ancaman bagi identitas religius dan budaya mereka yang sudah mapan. Hal ini acapkali menimbulkan sikap-sikap ketidakpercayaan dan kecurigaan yang menghambat setiap interaksi yang penuh arti dengan mereka.

Tanggapan

Gereja Katolik dipanggil untuk memandang kehadiran banyak migran dan pengungsi yang beriman lain atau tanpa iman sebagai kesempatan yang tepat dan menguntungkan untuk memenuhi misi penginjilannya melalui kesaksian dan cinta kasih. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan semacam berikut ini:

  1. Mendorong refleksi misiologis tentang migrasi sebagai sebuah tanda zaman dan sebagai kesempatan untuk memikirkan bagaimana Gereja dapat merangkul setiap orang, dan menyerbarluaskan hasil-hasil refleksi tersebut di antara umat beriman.

Untuk memberikan “dasar pemikiran” kepada reksa pastoral migran dan pengungsi, saya mengundang Anda untuk mendalami refleksi teologis tentang migrasi sebagai sebuah tanda zaman.[30]

  1. Menyiapkan umat beriman setempat untuk berjumpa dengan para migran dan pengungsi dari agama lain atau tanpa agama karena hal itu merupakan kesempatan nyata untuk memberi kesaksian penuh sukacita yang dapat memperdalam dan memperkuat iman Katolik.

Orang-orang Kristiani dipanggil untuk bersaksi tentang dan mempraktikkan, tidak hanya semangat toleransi – yang merupakan suatu pencapaian besar, secara politik dan budaya, belum lagi secara agama –, tetapi juga menghormati identitas orang lain. Oleh karena itu, bilamana dimungkinkan dan tepat, mereka dapat membuka jalan untuk berbagi dengan orang-orang dari beragam asal-usul dan budaya, juga dalam rangka “pewartaan penuh hormat” tentang iman mereka sendiri.[31]

  1. Menumbuhkan sikap penerimaan dan pelayanan penuh kasih kepada semua migran dan pengungsi dalam komunitas-komunitas lokal sebagai cara yang tepat untuk mewartakan kasih Allah yang berbelas kasihan dan keselamatan dari Yesus Kristus.

Oleh sebab itu, kehadiran para migran dan pengungsi – serta orang-orang rentan pada umumnya – merupakan suatu undangan untuk memulihkan beberapa dari dimensi hakiki keberadaan Kristiani kita dan kemanusiaan kita yang berisiko diabaikan dalam masyarakat sejahtera. […] Melalui karya-karya amal kasih, kita menunjukkan iman kita (bdk. Yak. 2:18). Dan bentuk tertinggi amal kasih adalah yang ditunjukkan kepada mereka yang tidak dapat membalas atau mungkin bahkan untuk berterima kasih pada kita sebagai balasannya.[32]

  1. Meningkatkan kapasitas komunitas-komunitas lokal untuk terlibat dalam dialog lintas agama, mulai dengan memberikan pengetahuan yang sehat dan seimbang tentang agama-agama lain, melampaui generalisasi dan prasangka.

“Satu keluarga umat manusia,” satu keluarga yang terdiri dari saudara dan saudari dalam masyarakat yang menjadi semakin multietnis dan lintas budaya, di mana juga orang-orang dari pelbagai agama didesak untuk ikut serta dalam dialog, sehingga dapat ditemukan hidup berdampingan yang tenang dan bermanfaat dengan menghormati perbedaan-perbedaan yang sah.[33]

  1. Memasukkan misi kepada para migran dan pengungsi dalam program-program pastoral di tingkat keuskupan dan paroki.

Migrasi dapat menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk evangelisasi baru, membuka pandangan bagi tumbuhnya umat manusia baru yang dinubuatkan dalam misteri Paskah: umat manusia di mana setiap Negeri asing menjadi tanah air dan setiap tanah air menjadi Negeri asing.[34]

  1. Melatih para pelayan dan para seminaris agar mampu melaksanakan poin-poin di atas.

“Kerasulan migran bukanlah sekadar karya ‘para misionaris’ yang terpisah-pisah ini: ini adalah karya seluruh Gereja lokal, para imam, para religius serta umat awam”[35] dan begitu penting sehingga hal itu harus menjadi objek upaya terus-menerus untuk dipelajari dan dipahami dengan lebih baik dari sudut pandang teologis, pastoral dan organisasi.[36]

7. BEKERJA SAMA MENUJU PERSEKUTUAN

“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” (Yoh. 10:16)

Panggilan kita sebagai para murid misioner, para anggota Gereja yang dibaptis, adalah untuk memupuk dan memperkuat persekutuan dan persatuan dalam keberagaman dengan mengikuti teladan Yesus. Dia adalah Gembala yang memedulikan tidak hanya mereka yang biasanya dianggap sebagai “domba-domba-Nya,” tetapi juga seluruh umat manusia. Maka, jalan menuju persekutuan kemudian menjadi perjalanan menuju persaudaraan universal.

Tantangan

Tindakan-tindakan untuk membantu para migran dan pengungsi oleh berbagai entitas Katolik sering kali terpisah-pisah dan tidak terkoordinasi. Hal ini dapat membahayakan keefektifan kerasulan, menimbulkan perpecahan internal, serta mengakibatkan hilangnya sumber-sumber daya. Ketidakcakapan serupa mempengaruhi karya entitas-entitas lainnya yang terlibat dalam membantu para migran dan pengungsi.

Tanggapan

Gereja Katolik dipanggil untuk memajukan kerja sama efektif di antara semua entitas Katolik, dan di antara mereka serta seluruh entitas lainnya. Hal ini dapat dilaksanakan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut:

  1. Memastikan koordinasi daya upaya seluruh entitas Gereja yang terlibat dalam pelayanan para migran melalui pertemuan-pertemuan rutin di mana setiap orang dipanggil untuk membagikan visi dan rencana-rencana demi tindakan yang efektif dalam persekutuan dengan Gereja setempat.

Oleh karenanya, perlulah menentukan cara memperkuat Gereja lokal sehingga ia mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang timbul karena sebagian kesinambungan komitmen. Untuk tujuan ini, organisasi-organisasi amal kasih Katolik setiap saat hendaknya bekerja sama secara erat dengan struktur keuskupan/eparkia setempat di bawah bimbingan uskup diosesan/eparkia. Dalam hal organisasi-organisasi internasional, dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang berwenang dapat memberikan nasihat dan bantuan.[37]

  1. Memupuk kerja sama di antara Gereja-gereja lokal di Negara-negara keberangkatan, transit dan kedatangan dari para migran dan pengungsi, yang didasarkan atas tanggung jawab pastoral bersama. Pada akhirnya Gereja yang esa adalah Gereja yang memperhatikan para migran dan pengungsi.

Di pihak mereka, Gereja asal, Gereja transit dan Gereja yang menerima arus migrasi harus menemukan cara-cara untuk meningkatkan kerja sama mereka demi kebaikan bagi mereka yang berangkat maupun yang datang, dan dalam hal apa pun, kebaikan bagi mereka yang, dalam perjalanan, membutuhkan untuk berjumpa dengan wajah Kristus yang berbelas kasihan dalam penerimaan yang diberikan oleh sesamanya.[38]

  1. Meningkatkan kerja sama ekumenis, baik dalam doa maupun dalam tindakan, yang dimulai dari mengembangkan perencanaan pastoral bersama di antara para pemimpin Kristiani yang melayani dalam wilayah yang sama.

Kerja sama di antara berbagai Gereja Kristen dan berbagai agama non-Kristen dalam karya amal kasih ini akan membawa kemajuan-kemajuan baru dalam pencarian dan pelaksanaan kesatuan yang lebih dalam dari keluarga manusia.[39]

  1. Mendorong lebih banyak pertemuan lintas agama di tingkat lokal dan di manapun, yang bertujuan untuk merenungkan bersama-sama tentang migrasi, menjunjung tinggi hak-hak para migran dan pengungsi, serta menyebarluaskan pesan persaudaraan universal.

Dialog semacam itu, yang berawal dari kesadaran akan identitas iman masing-masing, dapat membantu masyarakat untuk masuk dalam hubungan dengan agama-agama lain. Dialog artinya bukan hanya sebatas bercakap-cakap, melainkan mencakup segala hubungan lintas agama yang bermanfaat dan konstruktif, baik dengan individu maupun komunitas berkeyakinan lain, sehingga mencapai pemahaman timbal balik.[40]

  1. Mendorong tindakan-tindakan bersama dan kerja sama di antara berbagai organisasi yang berdasarkan iman yang berbeda, organisasi-organisasi masyarakat sipil, pemerintah-pemerintah, serta badan-badan internasional untuk memperjuangkan bersama-sama ‘kita yang lebih luas.’

Sejalan dengan tradisi pastoralnya, Gereja siap berkomitmen untuk mewujudkan semua prakarsa yang diusulkan di atas. Namun demikian, untuk mencapai hasil yang diharapkan, kontribusi dari komunitas-komunitas politik dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan, masing-masing seturut dengan tanggung jawab mereka sendiri.[41]

KESIMPULAN

Tumbuh dalam kebebasan dari segala ketakutan, terutama ketakutan yang dilandasi oleh persepsi yang keliru, komunitas-komunitas Katolik dipanggil untuk membangun jembatan dengan para pendatang baru, dengan mendorong ‘budaya perjumpaan’ yang nyata. Kami benar-benar berharap agar buku kecil ini dapat membantu para pembacanya untuk sungguh-sungguh menjadi para pembangun jembatan, yang tertarik untuk memperdalam kesadaran mereka akan kekayaan yang dihadirkan oleh para migran dan pengungsi ke dalam komunitas-komunitas kita, melalui berbagai pengalaman.

Dengan menganggap setiap kesempatan untuk menjumpai para migran dan pengungsi yang membutuhkan sebagai kesempatan untuk menjumpai Yesus Kristus sendiri (bdk. Mat. 25:35), komunitas-komunitas Katolik diajak untuk memahami dan menghargai peluang-peluang yang ditawarkan para migran untuk membawa kehidupan baru ke dalam komunitas-komunitas mereka, dan untuk bertumbuh dalam penghargaan terhadap orang lain dengan merayakan liturgi-liturgi yang semarak yang menghormati pelbagai tradisi budaya.

Komunitas-komunitas Katolik diajak untuk memandang kehadiran banyak migran dan pengungsi yang beragama lain atau tidak beragama sebagai kesempatan yang tepat dan baik untuk memenuhi misi evangelisasi Gereja melalui kesaksian dan amal kasih.

Dengan melakukan hal ini, komunitas-komunitas Katolik akan secara alami memajukan kerja sama efektif di antara semua entitas, dengan berkontribusi pada gambaran dan ajakan yang disampaikan oleh nabi Yesaya kepada jemaat Allah: “Dan orang-orang asing yang menggabungkan diri kepada TUHAN …mereka akan Kubawa ke gunung-Ku yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku… sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” (Yes. 56:6-7).

Penuh rasa syukur atas kesadaran yang, oleh rahmat Allah, berkembang di antara komunitas-komunitas Katolik akan kehadiran para migran dan pengungsi, Gereja akan terus menggarisbawahi keberagaman para anggotanya sebagai kekayaan yang patut dihargai, dan sumbangan orang-orang yang berpindah-pindah sebagai suatu kesempatan untuk mengungkapkan katolisitas iman kita secara lebih kuat dan jelas.

Bagi para anggota Gereja Katolik, seruan ini menuntut komitmen untuk semakin setia menjadi “katolik” (…) Roh Kudus memampukan kita untuk merangkul setiap orang, untuk membangun persekutuan dalam keberagaman, untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tanpa memaksakan keseragaman yang menghilangkan identitas pribadi. Dalam menjumpai keragaman orang-orang asing, para migran dan pengungsi, dan dalam dialog lintas budaya yang dapat timbul dari perjumpaan ini, kita memiliki kesempatan untuk bertumbuh sebagai Gereja dan saling memperkaya. Semua orang yang dibaptis, di mana pun mereka berada, berhak menjadi anggota baik komunitas gerejawi setempat maupun Gereja yang esa, para penghuni dalam satu rumah dan bagian dari satu keluarga.[42]

Tentu saja, Pedoman Pastoral ini bertujuan agar kita memulai dari bawah dan memperluasnya hingga jangkauan-jangkauan terjauh dari negara-negara kita untuk menerima, melindungi, memajukan, serta mengintegrasikan saudara dan saudari migran dan pengungsi kita, dengan membangun Kerajaan Allah dalam persaudaraan dan universalitas, dan bergabung dengan Zakaria ketika ia menyanyikan: “yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita, supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya seumur hidup kita.” (Lukas 1: 73–75).


[1]     Paus Fransiskus, Audiensi Umum, 3 April 2019.

[2]     EMCC, 41.

[3]     Fransiskus, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2014.

[4]     WCR, 42.

[5]     Yohanes Paulus II, Pidato kepada para Peserta dalam Sidang Dewan Komisi Migrasi Katolik Internasional (ICMC), 2001.

[6]     Fransiskus, Dialog Antara Yang Mulia Paus Fransiskus dengan para Murid, para Guru, serta para Orangtua Kolese San Carlo Milan, Ruang Audiensi Paulus VI, 6 April 2019.

[7]     RCS, 25.

[8]     Yohanes Paulus II, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2005.

[9]     EMCC, 96.

[10]   EMCC, 100.

[11]    Fransiskus, Perjalanan Apostolik ke Panama pada Kesempatan Perayaan Hari Orang Muda Sedunia ke-34, Pertemuan dengan para Uskup Amerika Tengah (SEDAC), 24 Januari 2019.

[12]   Fransiskus, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2017.

[13]   Benediktus XVI, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2011.

[14]   WCR, 101.

[15]   CMU, 40.

[16]   LG, 13.

[17]   EMCC, 34.

[18]   Bdk. EMCC, 103.

[19]   Paulus VI, Instruksi De Pastorali Migratorum Cura: Tentang Reksa Pastoral Orang-orang yang Bermigrasi, Kota Vatikan 1969.

[20]   CMU, 33.

[21]   Paulus VI, Instruksi De Pastorali Migratorum Cura: Tentang Reksa Pastoral Orang-orang yang Bermigrasi, Kota Vatikan 1969.

[22]   EMCC, 18.

[23]   Yohanes Paulus II, Karena Migrasi, Orang-orang yang Belum Mendengar Kabar Baik, Belajar Tentang Iman dan Sering Menghargai dan Memeluknya, Pesan pada Hari Migran Sedunia 1989, 10 September 1989.

[24]   WCR, 88.

[25]   Konferensi para Uskup Katolik Australia, Tentang Reksa Pastoral para Migran dan Pengungsi, Pernyataan, 2000.

[26]   EMCC, 93.

[27]   Konferensi para Uskup Amerika Serikat, Bukan lagi Orang-orang Asing: Bersama-sama Berjalan Menuju Pengharapan, 2003.

[28]   Konferensi para Uskup Amerika Serikat, Bukan lagi Orang-orang Asing: Bersama-sama Berjalan Menuju Pengharapan, 2003.

[29]   PCPM, 5.

[30]   Fransiskus, Pidato kepada para Anggota Federasi Internasional Universitas-Universitas Katolik, 4 November 2017.

[31]   EMCC, 9.

[32]   Fransiskus, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2019.

[33]   Benediktus XVI, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2010

[34]   Fransiskus, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2014.

[35]   Yohanes Paulus II, Pidato kepada Kongres Dunia tentang Migrasi, Kota Vatikan, 15 Maret 1979.

[36]   PCPM, 5.

[37]   RCS, 102.

[38]   Benediktus XVI, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia Ke-98, Kota Vatikan 2012.

[39]   RCS, 34.

[40]   Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, Mendidik untuk Dialog Antar Budaya di Sekolah-sekolah Katolik. Hidup dalam Keselarasan demi Peradaban Kasih, Kota Vatikan 2013, 13.

[41]   Fransiskus, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, Kota Vatikan 2018

[42]   Fransiskus, Pesan pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia Ke-98, Kota Vatikan 2021